RSS

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud al-Dzahiri serta Karakteristik Hukum Islam Keduanya




BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubaligh ini akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Dawud al-Dzahiri, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta politik pada masa mereka dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.



B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.    Bagaimana karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.    Bagaimana biografi Imam Dawud al-Dzahiri?
4.    Bagaimana karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?
C.       Tujuan Pembahasan
1.    Untuk mengetahui biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.    Untuk mengetahui karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.    Untuk mengetahui biografi Imam Dawud al-Dzahiri?
4.    Untuk mengetahui karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Imam Ahmad bin Hanbal
1.   Kelahiran Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-Mawarzi. Kelahiran Baghdad tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H di Baghdad. Kedua orang tuanya keturunan Arab dari kabilah Syaiban, ia berjumpa nasab dengan Nabi saw. pada Nazar.[1]
Imam Ahmad hidup di Baghdad yang merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan nomor satu pada saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu pengetahuan. Sejak kecil Imam Ahmad menghafal al-Qur’an, belajar Bahasa Arab, hadits, dan Sejarah. Ketika beranjak dewasa, Imam ahmad memilih untuk menekuni ilmu hadits yang menuntutnya untuk mengembara ke berbagai kota untuk mencari hadits. Dalam pengemabaraannya, Imam Ahmad juga mengkaji Fiqih. Karenanya ia dapat memadukan hadits dan fiqih sekaligus.[2]
Sebagai pecinta hadits, Imam Ahmad harus rela untuk mengembara ke berbagai kota, sebab para ulama’ hadits telah terpencar ke kota-kota. Ia mulai mencari hadits ke Baghdad selama tujuh tahun, pada tahun berikutnya ke Hijaz, kemudian ke Basrah, Kufah, dan Yaman.[3]
Pengembaraan mencari hadits tersebut dalam rangka bertemu dengan para perawi hadits yang masih hidup. Ia pergi ke Basrah lima kali dan ke Hijaz lima kali juga. Pada saat itu, ia bertemu dengan Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Makkah. Kemudian ia bertemu lagi dengannya di Baghdad ketika Imam Syafi’i menyebarkan madzhabnya. Pertemuannya dengan Imam Syafi’i yang mementahkan fiqih rasional memberikan pengaruh pada pemikiran Imam Ahmad. Ia pun mengembangkan fiqih tradisional dengan lebih banyak mempergunakan al-Sunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa.
Imam Ahmad hidup amat sederhana, tidak mempunyai mata pencaharian tetap sebagaimana Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sumber keuangan yang sering mendatangkan hasil baginya adalah warisan rumah dan tanah serta peralatan penyulaman yang sering disewakan. Seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan analisis terhadap hadits-hadits Nabi, ia juga menyusun hadits berdasarkan sistematika sanad, sehingga lahir karya besarnya “Musnad Ahmad bi hanbal”. Karya ini ditulis dengan bantuan murid-muridnya, terutama Abdullah, putranya sendiri.[4]
Namun perlu dicatat bahwa yang dicari dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad bukan sekedar hadits-hadits Nabi, tetapi juga fatwa dan putusna hukum sahabat, serta fatwa dan putusan hukum murid sahabat Nabi. Riwayat-riwayat tersebut disamping merupakan sunnah juga fiqih yang sangat mendalam. Oleh karena itu, riwayat-riwayat Imam Ahmad tidak terlepas dari fiqih dan fatwa. Bagaimanapun juga ia telah belajar fiqih rasionalis kepada Imam Abu Yusuf yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada pemikiran hukumnya. Pemikirannya semakin matang ketika ia berguru kepada Imam Syafi’i di Makkah dan Baghdad. Dengan keterpaduan hadits dan fiqih dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia dipandang sebagai ahli ijtihad , ahli hadits, bahkan ahli ilmu kalam, mengingat ia dianggap sebagai pendiri aliran salaf.[5]
2.   Guru dan Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah (1) Abu Yusuf, (2) Muhammad bin idris al-Syafi’i, (3) Hasyim, (4) Ibrahim bin Sa’ad, (5) Sufyan bin ‘Uyainah.
Ahmad bin hanbal mempunyai beberapa murid yang meneruskan dan mengembangkan ajarannya, diantaranya:
a.    Shalih bin Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin Hanbal), w. 266 H.
b.    Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin hanbal), w. 290 H.
c.    Ahmad bin Muhammad bin Hani Abu Bakr al-Atsrami (salah seorang teman Ahmad bin Hanbal), w. 261 H.
d.   Abd al-Malik bin Abd al-Hamid bin Mahran al-Maimanui (salah seorang sahabat Ahmad bin Hanbal), w. 271 H.
e.    Ahmad bin Muhammad bin al-Hajaj atau lebih dikenal dengan Abu Bakar al-Mawardzi, w. 275 H.
f.       Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang pakar bahasa Arab, w. 285 H.[6]
Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadits pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya. Imam Ahmad memang tidak suka mencatat dan menulis, kecuali menulis hadits nabi. Al-Musnad yang ditulis sepanjang hidupnya berserakan di berbagai bahan.
Pada saat merasa ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan anak-anak dan murid pilihannya. Ia mendiktekan kepada mereka hadits-hadits yang dicatatnya hingga menjadi sebuah kumpulan catatan hadits, namun belum tersusun secara sistematis. Karena itu, penyusun al-Musnad yang diterima hingga saat ini adalah putera Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Ahmad.[7]
3.   Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Sebenarnya sebelum umur tersebut ia sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip bahwa ia tidak akan meriwayatkan hadits atau berfatwa ketika gurunya masih hidup. Oleh karena itu, ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H, tepat tahun ketika Imam Syafi’i meninggal.
Imam Ahmad bin Hanbal membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya, yait di rumah dan di masjid. Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya sendiri dan para muridnya, kajian di masjid diikuti oleh masyarakat umum dan para muridnya.
Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an dan al-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal daripada perkataan para sahabat Nabi saw, termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut. Sebagai contoh, Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta non-muslim sesuai dengan hadits Nabi. Ia tidak mengikuti pendapat Mu’adz bin Jabal dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpendapat sebaliknya.
b.    Pendapat sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat sahabat lainnya. jika ada perbedaan pendapat, maka diadakan seleksi dengan menganalisi kedekatannya terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
c.    Hadits Mursal (perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya, karena hadits mursal tergolong hadits yang lemah. Bagi Imam Ahmad, meski sahabat yang tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya, sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Oleh sebab itu, sebelum melakukan Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadits-hadits Nabi, termasuk hadits mursal. Hadits yamg lemah diterima oleh Imam Ahmad, selama hadits tersebut bukan merupakan hadits yang batil dan munkar, serta tidak diceritakan oleh perawi yang diduga tidak dipercaya.
d.   Fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurutnya, jika seseorang tidak menemukan hukum di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka ia wajib mengambil fatwa murid sahabat Nabi.
e.    Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni jika semua rujukan di atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum atau persoalan-persoalan yang dihadapi. Cakupan Qiyas dalam madzhab hambali sangat luas, yakni mencakup penggalian hukum di luar sumber hukum al-Quran dan al-Sunnah, serta pendapat sahabat Nabi dan muridya, jadi, istihsan, mashlahah, dan sebagainya disebut sebagai kelompok Qiyas.[8]
4.   Fiqih Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 dirham. Menurutnya, pencuri yang kadar curiannya mencapai ¼ dinar harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan 3 dirham. Begitu juga pencuri yang kadar curiannya mencapai 3 dirham harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan ¼ dinar. Adapun nishab bagi pencuri selain barang tambang adalah seharga ¼ dinar atau 3 dirham.
Dalam bidang pemerintahan, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khalifah harus dari kalangan Quraisy. Sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak meskipun khalifah termasuk fajir. Berdasarkan pertimbangan tersebut, orang yang tidak taat kepada iamm dianggap telah berlaku maksiat, dan apabila seseorang meninggal dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, ia termasuk mati dalam keadaan jahiliyah.
Dalam bidang muamalah, terutama tentang khiyar majlis, Iamma Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim meskipun telah terjadi ijab qabul. Apabila penjual dan pembeli masih berada dalam satu tempat dimana akad itu dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (sudah berpisah), maka akad sudah lazim. Alasannya ialah hadits Nabi Muhammad saw yang artinya: “setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah.”[9]
B.   Imam Dawud al-Dzahiri
1.    Kelahiran Imam Dawud al-Dzahiri
Madzhab Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud dinisbatkan kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari al-Dzahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah dengan menggunakan makna dzahir.[10]
Imam Dawud pada mulanya penganut fanatik Madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut madzhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam Syafi’i, tetapi kepada murid sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun ketika Imam Syafi’i wafat.
Ia pernah mempelajari hukum Islam madzhab Syafi’i di Baghdad, tetapi kemudian ia mengkritik madzhab yang ia pelajarinya itu. Ia pun melahirkan teori-teori baru dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya ialah pemikiran rasionalis Imam Syafi’i yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan. Inilah yang dianggap tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas dan istihsan adalah sama-sama rasionalitas.
Imam Dawud pun bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk belajar hadits kepadanya. Namun ia pun diusir oleh imam Ahmad karena mengemukakan pendapat bahwa al-Quran adalah hal yang baru (muhdats). Imam Dawud berkata: “al-Qur’an yang ada di Lauh mahfudz bukan makhluk, sedangkan al-Qur’an yang ada di manusia adalah makhluk”. Setelah keluar dari pengajian Imam Ahmad, Imam dawud membuat pemikirannya sendiri. Imam Dawud belajar hadits kepada para pakar hadits di Baghdad dan Nisabur, Iran.
Imam Dawud memiliki banyak perbendaharaan hadits. Akan tetapi, tidak banyak ulama’ yang meriwayatkan hadits darinya. Penyebabnya adalah pendapatnya bahwa al-Qur’an di manusia itu makhluk. Pada masanya, pendapat demikian ini dianggap bid’ah, dan hadits tidak boleh diriwayatkan oleh orang yang melakukan bid’ah.[11]
2.    Guru dan Murid Imam Dawud al-Dzahiri
Di antara guru Imam Dawud adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Adapun murid-muridnya adalah:
a.    Abu Bakar Muhammad (putra Imam Dawud), ia wafat tahun 297 H. Salah satu kitabnya adalah  al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul.
b.    Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi
c.    Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid Katsir bin Ghalib al-Thabari.[12]
Pemikiran Imam Dawud tentang al-Qur’an sulit diterima oleh kalangan ulama’. Karenanya, madzhab Dzahiri sulit untuk berkembang. Setelah hampir redup, madzhab Dzahiri dihidupkan kembali oleh murid Mas’ud bin Sulaiman, yaitu Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm.[13]
Ibnu Hazm sangat cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. ia juga begitu gigih membela pemikiran gurunya. Usahanya diwujudkan dalam beberapa karyanya tentang hukum Islam, antara lain : al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla. Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus, Spanyol, maka madzhab dzahiri berkembang pesat di sana. Ketika Islam di Spanyol jatuh, saat itu pula madzhab Dzahiri musnah. Penting dicatat bahwa madzhab Dzahiri juga pernah menjadi madzhab resmi di Marokko.
Selain memiliki pengikut yang cemerlang seperti Ibnu Hazm, Imam Dawud juga memili sejumlah karya, antara lain: Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilmi, Kitab al-Khushush wa al-‘Umum, Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, Kitab Ibthal al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-Wahid. Karya-karya Imam Dawud saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi.[14]
3.    Pemikiran Hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri
Imam Dawud mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada pemahaman literalis. Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Pemikiran demikian disebutnya sebagai istidlal. Karena pendekatannya yang bertumpu pada makna teks sumber hukum yang tampak, maka madzhabnya populer dengan nama Madzhab Dzahiri.[15]
Secara garis besar, pemikiran Abu Dawud dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an dan al-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum utama. Hanya saja, Imam dawud berkutat pada makna yang tampak darti teks-teks sumber hukum tersebut. Ia menghindari makna-makna yang lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
b.    Ijma’ sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya. Pada masa sahabat, ijma’ dimungkinkan, karena kesepakatannya melibatkan sedikit orang dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian, ijma’ sahabat Nabi tidak dipandang sebagai hasil penalaran. Adapun ijma’ generasi setelah sahabat Nabi tidak diakui.
c.    Qiyas tidak diterima oleh Imam Dawud, karena terkait dengan penalaran. Meski demikian, prinsip makna yang difahami (mafhum) dari teks al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana diajukan Imam Dawud sebagai pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda dengan Qiyas. Imam Dawud memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yaitu alasan hukumnya (Illat) harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan digali dari pemikiran manusia.
d.   Imam Dawud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap muslim harus bisa berpikir sendiri, setidaknya jika tidak mengerti, ia harus bertanya kepada orang yang telah memahami. Tidak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh diikuti.[16]
4.    Fiqih Imam Dawud al-Dzahiri
Di antara pendapat Imam Dawud al-Dzahiri adalah sebagai berikut:[17]
a.    Seseorang yang junub boleh menyentuh al-Qur’an
Berkenaan dengan fiqih, Imam Abu Dawud berpendapat bahwa kitab al-Qur’an yang tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci ialah al-Qur’an yang berada di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis di kertas dan beredar di kalangan manusia adalah makhluk, ia (mushaf) boleh disentuh oleh orang yang sedang haidl atau junub.
b.    Pemimpin harus dari kalangan Quraisy
Imam Dawud al-Dzahiri berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kalangan Quraisy. Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalanagna sunni yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Abu Dawud al-Dzahiri orang yang meninggal dalam keadaan tidak bai’at kepada imam, dianggap mati dalam keadaan jahiliyah, dan manusia tidak boleh taat kepada pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
c.    Bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat ketika dipinang
Menurut Imam Dawud al-Dzahiri, seluruh tubuh perempuan yang dipinang boleh dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, karena Nabi Muhammad saw menganjurkan laki-laki yangg meminang melihat perempuan yang dipinangnya secara mutlak, tanpa dirinci tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
d.   Menikah dengan perempuan yang dipinang laki-laki lain.
Dalam dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw melarang umat Islam meminang perempuan yang berada dalam pinangan orang lain, sebagaiamna seseorang tidak diperbolehkan membeli benda yang sudah dibeli oleh orang lain, karena umat Islam dengan lainnya adalah bersaudara.
Ulama’ berbeda pendapat dalam memahami cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut. Menurut imam al-Khuthabi, cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut adalah li ta’dib (bertujuan mendidik), bukan li tahrim (mengharamkan). Dalam pandangan jumhurul ulama’, menikah dengan perempuan yang sedang berada dalam pinangan laki-laki lain adalah sah, meskipun hukum peminangannya haram. Sedangkan menurut Imam Dawud al-Dzahiri, pernikahan tersebut dianggap fasakhm baik sudah melakukan persetubuhan maupun belum.


[1]Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 115.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 281.
[3]Ibid., h. 283.
[4]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 213-214.
[5]Ibid., h. 216.
[6]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 118.
[7]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 222.
[8]Ibid., h. 218-220.
[9]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 120-122.
[10]Ibid., h. 123.
[11]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 225-226.
[12]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 125.
[13] A Djazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Kencana, 2006), h. 135.
[14]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 229-230.
[15]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh, h. 388.
[16]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 227-228.
[17]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 128-130.

Evaluasi Program Bimbingan dan Penyuluhan



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sebagai suatu sistem, program layanan bimbingan dan prnyuluhan tentunya meliputi beberapa hal di antaranya yaitu perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Dalam hal ini ketiga hal tersebut senantiasa saling berkaitan dan berkesinambungan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa suatu hasil senantiasa dipengaruhi oleh perencanaan, begitu pun pelaksanaan juga memiliki peran yang sangat dominan. Selain itu, kedua hal tersebut akan terlihat manakala proses evaluasi dilakukan dan dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, evaluasi dari pelaksanaan program layanan bimbingan dan penyuluhan ini hendaknya dipersiapkan dengan seksama.
Ketiadaan evaluasi pada program bimbingan dan penyuluhan membuat akuntabilitas program bimbingan dan penyuluhan menjadi rendah, baik di mata kepala sekolah, guru, dan bahkan siswa.
Masalah evaluasi program BP merupakan masalah besar karena banyak dialami oleh praktisi bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Kondisi ini dapat dipahami karena evaluasi program BP dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang relatif baru dalam bimbingan dan penyuluhan. Paparan tersebut menunjukkan bahwa begitu pentingnya peranan evaluasi pada pelaksanaan layanan bimbingan dan penyuluhan.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian evaluasi program BP?
2.    Apa tujuan, ruang lingkup dan prinsip-prinsip program BP?
3.    Hambatan-hambatan apa yang terjadi dalam evaluasi program BP?
4.    Apa saja metode pendekatan yang digunakan dalam evaluasi program BP?
5.    Bagaimana prosedur pelaksanaan kegiatan evaluasi program BP?


C.      Tujuan Pembahasan
1.    Untuk mengetahui pengertian evaluasi program BP?
2.    Untuk mengetahui tujuan, ruang lingkup dan prinsip-prinsip program BP?
3.    Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam evaluasi program BP?
4.    Untuk mengetahui macam-macam metode pendekatan yang digunakan dalam evaluasi program BP
5.    Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan kegiatan evaluasi program BP?























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Evaluasi Program BP
1.    Pengertian Evaluasi
Evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation, dalam bahasa arab al-taqdir dan dalaam bahasa indonesia berati penilaian. Evaluasi dapat dimaknai sebagai suatu proses mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan, dan menyajikan informasi yang didapat melalui pengukuran atau tes untuk memberikan beberapa mekna berdaarkan pertimbangan nilai.
Berdasarkan definisi tersebut, maka jelaslah bahwa evaluasi memiliki beberapa karakteristik. Pertama, evaluasi adalah proses dimana di dalamnya terdapat proses pengumpulan informasi. Informasi ini dapat berupa informasi yang bersifat kuantitatif dan bersifat kualitatif yang didapat melalui proses pengukuran. Kedua, dalam evaluasi terdapat proses analisis dan interpretasi informasi, artinya di dalam informasi terdapat proses membandingkan fakta dengan patokan tertentu. Dan ketiga, inilah karakteristik yang membedakannya dengan penilaian adalah bahwa evaluasi merupakan proses yang menjadi dasar penentuan suatu pengambilan keputusan. Artinya hasil dari evaluasi harus dapat memberikan rekomendasi berkenaan dengan keputusan suatu program, apakah program tersebut dilanjutkan, dihentikan, atau dilanjutkan akan tetapi dengan beberapa revisi.[1]
2.    Pengertian Evaluasi Program BP
Evaluasi program bimbingan dan penyuluhan (BP) dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam berbagai program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan data, serta analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat keputusan.[2]
Evaluasi program bimbingan dan penyuluhan dimaksudkan sebagai upaya atau proses menentukan derajat kualitas kemajuan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah atau madarsah dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program bimbingan yang dilaksanakan.[3]
B.       Tujuan Evaluasi Program BP
Evaluasi program BP di sekolah/madrasah berupaya untuk menelaah pelayanan program BP yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangakan dan memperbaiki program BP di sekolah/madrasah yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian layanan BP di adalah bertujuan: (1) mengembangtumbuhkan kueikulum sekolah ke arah kesesuaian dan kebutuhan siswa, (2) membantu guru-guru memperbaiki cara mengajar di kelas, (3) memungkinkan program BP berfungsi lebih efektif.[4]
Pada hakikatnya evaluasi program BP mempunyai dua tujuan pokok. Pertama, evaluasi program BP bertujuan untuk memperbaiki praktek penyelenggaraan program BP itu sendiri. Dan kedua, evaluasi program BP merupakan alat untuk meningkatkan akuntabilitas program BP di mata stakeholder, seperti guru, kepala sekolah, orang tua, dan terutama siswa.[5]
C.      Ruang Lingkup Evaluasi Program BP
Lingkup evaluasi program BP mencakup empat komponen, yaitu: (1) komponen peserta didik (input), (2) komponen program, (3) komponen proses pelaksanaan BP, dan (4) komponen hasil pelaksanaan BP (output).[6]
1.    Evaluasi peserta didik (input)
Untuk mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan program BP, maka pemahaman terhadap peserta didik menjadi penting dan perlu. Pemahaman terhadap peserta didik ini dapat dipakai untuk mempertimbangkan hasil pelaksanaan program bimbingan bila dibandingkan dengan produk yang dicapai. Evaluasi jenis ini, dimulai dari layanan pengumpulan data pada saat peserta didik diterima di sekolah bersangkutan. Adapun jenis data yang dikumpulkan dari peserta didik dapat berupa: (a) kemampuan, (b) bakat, (3) minat, (4) kepribadian, (5) prestasi belajar, dan lain-lain.[7]
2.    Evaluasi program
Jenis evaluasi program ini dilakukan demi peningkatan mutu program bimbingan dan penyuluhan. Penyusunan program bimbingan dan penyuluhan dibagi menjadi beberapa kegiatan layanan, yaitu:
a.    Layanan kepada peserta didik
b.   Layanan kepada guru
c.    Layanan kepada kepala sekolah
d.   Layanan kepada orang tua siswa
Kegiatan operasional dari masing-masing layanan hendaknya disusun dalam suatu sistematika tertentu.[8]
3.    Evaluasi proses
Untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan dalam program pelayanan BP, dituntut proses pelaksanaan BP yang mengarah pada tujuan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan program BP banyak faktor yang perlu dievaluasi, faktor-faktor tersebut diantaranya meliputi:
a.    Organisasi dan administrasi program BP
b.   Petugas pelaksana atau personil
c.    Fasilitas dan perlengkapan
-       Fasilitas teknik: seperti tes, inventori, angket, dan sebagainya.
-       Fasilitas fisik: seperti ruang penyuluh, ruang penyuluhan, ruang tunggu, ruang pertemuan, ruang administrasi, ruang penyimpanan instrumen, dan runag penyimpanan data.
-       Perlengkapan, seperti: meja, kursi, dan lain-lain.
d.   Anggaran biaya
Anggaran biaya yang perlu dipersiapkan adalah untuk: honorarium pelaksana, pengadaan dan pemeliharaan sarana fisik dan perlengkapan, biaya operasional).[9]
4.    Evaluasi hasil (product/output)
Jenis evaluasi ini diadakan melalui peninjauan terhadap hasil yang diperoleh seseorang yang telah berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan BP dan juga melalui peninjauan terhadap kegiatan itu sendiri dalam berbagai aspeknya.
Untuk memperoleh gambaran tentang keberhasilan dari pelaksanaan program BP, dapat dilihat dari hasil yang diperoleh dari pelaksanan tersebut. Dan untuk memperoleh gambaran tentang hasil dari pelaksanaan program BP tersebut, maka harus dilihat dari diri siswa yang memperoleh layanan bimbingan itu sendiri. Penilaian terhadap hasil lebih menekankan pada pengumpulan data atau informasi mengenai keberhasilan dan pengaruh kegiatan layanan BP yang telah diberikan. Dengan kata lain, evaluasi terhadap hasil ditujukan kepada pencapaian tujuan program BP, baik dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.[10]
D.      Prinsip-prinsip Evaluasi Program BP
Dalam menjaga tujuannya untuk melakukan perbaikan, maka ketika evaluasi dilakukan, evaluator harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar evaluasi program BP. Menurut Gibson dan Mitchell (1981), Depdikbud (1993) mengemukakan beberapa prinsip yang semestinya digunakan dalam penyelanggaraan evaluasi program BP, prinsip-prinsip tersebut adalah:[11]
1.    Evaluasi yang efektif menuntut pengenalan terhadap tujuan-tujuan program.
2.    Evaluasi yang efektif memerlukan kriteria pengukuran yang valid dan jelas.
3.    Evaluasi melibatkan berbagai unsur yang profesional.
4.    Menuntut umpan baik (feed back) dan tindak lanjut (follow up) sehingga hasilnya dapat digunakan untuk membuat kebijakan atau keputusan. Adapun keeputusan dapat menyangkut:
-       Personalia yang terlibat dan kemampuannya kurang dapat digantikan atau dengan penambahan tenaga.
-       Jenis kegiatan dan pelaksanaannya disusun berdasarkan prioritas kegiatan dan subjek yang ditangani.
-       Pembiayaan, waktu dan fasilitas lainnya harus dipertimbangkan.
5.    Evaluasi yang efektif hendaknya terencana dan berkesinambungan.
E.       Hambatan-hambatan dalam Evaluasi Program Bimbingan BP
Ada beberapa hambatan yang masih dirasakan sampai saat ini dalam pelaksanaan evaluasi program BP, diantaranya adalah:[12]
1.    Pelaksana bimbingan di sekolah tidak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk melaksanakan evaluasi pelaksanaan program BK.
2.    Pelaksana bimbingan dan konseling memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi baik ditinjau dari segi jenjang maupun programnya, sehingga kemampuannya pun dalam mengevaluasi pelaksanaan program BK sangat bervariasi termasuk dalam menyusun, membakukan dan mengembangkan instrumen evaluasi.
3.    Belum tersedianya alat-alat atau instrument evaluasi pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah yang valis, reliable, dan objektif.
4.    Belum diselenggarakannya penataran, pendidikan, atau pelatihan khusus yang berkaitan tentang evaluasi pelaksanaan program bimbingan dan konseling pada umumnya, penyusunan dan pengembangan instrumen evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah
5.    Penyelenggaraan evaluasi membutuhkan banyak waktu dan uang. Tidak dapat diragukan lagi untuk memulai mengadakan evaluasi tampaknya memerlukan baya yang cukup mahal dan perlu biaya yang banyak.
6.    Belum adanya guru inti atau instruktur BK yg ahli dlm bidang evaluasi pelaksanaan peogram BK di sekolah. Sampai saat ini kebanyakan yg terlibat dalam bidang ini adalah dari perguruan tinggi yang sudah tentu konsep dan kerangka kerjanya tidak berorientasi kepada kepentingan sekolah.
7.    Perumusan kriteria keberhasilan evaluasi pelaksanaan bimbingan dan yang tegas dan baku belum ada sampai saat ini.
F.       Prosedur Pelaksanaan Kegiatan Evaluasi Program BP
Berikut ini adalah beberapa prosedur yang digunakan dalam evaluasi program BP:[13]
1.    Fase Persiapan
Pada fase persiapan ini terdiri dari kegiatan penyusunan kisi-kisi evaluasi. Dalam kegiatan penyusunan kisi-kisi evaluasi ini langkah-langkah yg dilalui adalah:
a.     Langkah pertama penetapan aspek-aspek yang dievaluasi baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil, meliputi:
1)    Kesesuaian antara program dengan pelaksanaan
2)    Keterlaksanaan program,hambatan yang dijumpai,
3)    Dampak terhadap KBM,
4)    Respon konseli, sekolah, orang tua, masyarakat
5)    Perubahan kemajuan dilihat dari capaian tujuan layanan, capaian tugas perkembangan dan hasil relajar, keberhasilan lulusan.
b.    Langkah-langkah kedua penetapan kriteria keberhasilan evaluasi.
Misalnya, bila proses aspek kegiatan yang akan dievaluasi maka kriteria yang dapat dievaluasi ditinjau dari: lingkungan bimbingan, sarana yang ada, dan situasi daerah.
c.     Langkah ketiga penetapan alat-alat/ instrument evaluasi
Misalnya aspek proses kegiatn yang hendak dievaluasi dengan kriteria bagian b di atas, maka instrument yang harus digunakan ialah: ceklis, observasi kegiatan, tes situsasi, wawancara, dan angket
d.    Langkah keempat penetapan prosedur evalusi
Seperti contoh pada butir b dan c di atas, maka prosedur evaluasinya mlalui: penelaahan, kegiatan, penelaahan hasil kerja, konfrensi kasus, dan lokakarya
e.      Langkah kelima penetapan tim penilaian atau evaluator
Berkaitan dengan contoh diatas, maka yang harus menjadi evaluator dalam penilaian proses kegiatan ialah: ketua bimbingan dan konseling, kepala sekolah, tim bimbingan dan konseling, dan konselor.
2.    Fase persiapan alat / instrument evaluasi
Dalam fase kedua ini dilakukan kegiatan diantaranya:
a.    Memilih alat-alat/instumen evaluasi yang ada atau menyusun dan mengembangkan alat-alat evaluasi yang diperlukan.
b.   Pengadaan alat-alat instrument evaluasi yang akan digunakan
Perangkat alat/instrumen evaluasi yang dibutuhkan dalam evaluasi program BP ialah tes dan non-tes. Alat-alat tes seperti: tes prestasi belajar, tes untuk mengungkap aspek-aspek psikologis (misalnya tes intelegensi, tes bakat skolastik, tes bakat khusus, inventori minat, dsb). Sedangkan alat/instrumen non-tes seperti: daftar cek masalah, kuisioner, skala penilaian, dsb.
3.    Fase pelaksanaan kegiatan evaluasi
Dalam fase pelaksanaan evaluasi ini, evaluator melalui kegiatan, yaitu:
a.    Persiapan pelaksanaan kegiatan evaluasi;
b.    Melaksanakan kegiatan evaluasi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
4.    Fase menganalisis hasil evaluasi
Dalam fase analisis hasil evaluAsi dan pengolahan data hasil evaluasi ini dilakukan mengacu kepada jenis datanya. Data-data itu, diantarnya:
a.    Tabulasi data;
b.   Analisis hasil pengumpulan data melalui statistik atau non-statistik
5.    Fase penafsiran atau interprestasi dan pelaporan hasil evaluasi
Pada fase ini dilakukan kegiatan membandingkan hasil analisis data dengan kriteria penilaian keberhasilan & kemudian diinterprestasikan dng memakai kode-kode tertentu, untuk kemudian dilaporkan serta digunakan dalam rangka perbaikan dan atau pengembangan program layanan bimbingan konseling.
G.      Metode Pendekatan dalam Evaluasi Program BP
Ada beberapa metode yangg digunakan dalam melaksanakan evaluasi program BP, diantaranya:
1.    Metode survei
Metode survei dimaksudkan guna mendapatkan data tentang lingkungan, pengelolaan, sikap dan pandangan personel sekolah/madrasah lainnya, serta sikap dan pandangan siswa terhadap program BP.
Jadi, metode survei ini merupakan usaha untuk mengenali keadaan sesungguhnya secara menyeluruh sebagaimana adanya. Hal tersebut sanagt berguna untuk menentukan kegiatan selanjutnya dalam rangka memperbaiki hal-hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, melengkapi kebutuhan yang belum terpenuhi, dan memperbaiki hubungan antara unsur-unsur yang mendukung kehidupan sekolah/madrasah tersebut.[14]
2.    Metode observasi
Sebelum melaksanakan observasi dibutuhkan suatu rencana yang terinci, yang mencakup perilaku-perilaku siswa yang akan diamati, kapa akan diamati, oleh siapa akan diamati, dengan cara bagaimana, dan akan diberi interpretasi evaluatif menurut apa. Jadi, sebelum observasi dilakukan, observer perlu membuat pedoman atau kriteria terlebih dahulu agar data yang diperoleh lebih terarah dan tepat. Unsur subjektifitas dapat dikurangi dengan cara melibatkan banyak orang.
Dengan demikian, perencanaan yang rinci, pembuatan pedoman atau kriteria, dan keterlibatan lebih dari satu orang dalam observasi akan diperoleh data yang lebih terarah, tepat dan objektif.[15]
3.    Metode eksperimental
Metode eksperimental dimaksudkan untuk mempelajari apakah tujuan layanan BP yang diharapkan itu sudah tercapai atau belum, dan apakah layanan itu efektif dan efisien, atau tidak.
Studi eksperimental perlu menggunakan metode ilmiah yang mencakup suatu penetapan sebelumnya yaitu:
a.    Menentukan tujuan dan metode pencapaian tujuan.
b.   Pengembanagan cara untuk mengukur pencapaian tujuan.
c.    Seleksi satu atau beberapa kelompok kontrol dan eksperimen.
d.   Proses untuk mengadakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
e.    Pengukuran hasil-hasil eksperimen.[16]
4.    Metode studi kasus
Metode studi kasus digunakan untuk mengumpulkan data mengenai keadaan seorang siswa yang dijadikan objek studi kasus. Sebelum melakukan studi kasus perlu ditetapkan hal-hal yang dianggap penting tentang diri seorang siswa (klien) yang berkaitan dengan usaha layanannya.
Metode studi kasus cukup banyak memakan waktu, akan tetapi metode ini banyak manfaatnya bagi konselor dalam mengevaluasi efisiensi dan efektifitas kegiatan-kegiatan BP yang dilaksanakannya.[17]
H.      Kriteria Keberhasilan Program BP
Beberapa kriteria keberhasilan yang dapat dijadikan landasan suatu penilaian, dapat kita lihat dari hasil yang ingin diperoleh dari tujuan pelayanan bimbingan. Berikut ini akan dikemukakan kriteria keberhasilan dalam pelayanan bimbingan, menurut Koestoer Partowisastro (1982), bahwa:[18]
1.    Kriteria keberhasilan pelayanan kepada murid :
a.    Menerima diri sendiri, baik mengenai kekuatan-kekuatannya maupun kelemahan-kelemahannya, sehingga dapat membuat rencana untuk menentukan cita-cita dan membuat keputusan-keputusannya yang realitas.
b.    Memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang benar mengenai dunia sekitarnya, sehingga dapat memperoleh tingkat social yang selaras dalam pergaulan dan kehidupan di masyarakat.
c.    Dapat memahami dan memecahkan masalahnya sendiri.
d.   Dapat memilih secara tepat dan menyelesaikan program studi dan berhasil sesuai dengan tingkat kemampuannya.
e.    Dapat memilih pendidikan lanjutan secara tepat sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
f.     Dapat memilih rencana dan lapangan kerja / jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
g.    Memperoleh bantuan khusus dalam mengatasi kesulitan belajar, sehingga dapat mengembangkan dan meningkatkan kepribadiannya secara menyeluruh.
h.    Memperoleh bantuan dan pelayanan dari orang-orang atau badan-badan lain diluar sekolah, untuk memecahkan masalahnya yang tidak mampu dipecahkannya dengan pelayanan langsung dari sekolah.
2.    Kriteria keberhasilan pelayanan bimbingan kepada guru :
a.    Guru berpartisipasi dan membantu pelaksanaan program bimbingan disekolah.
b.    Guru menggunakan fasilitas yang disediakan oleh staf BK.
c.    Guru turut aktif mengkomunikasikan program BK kepada murid.
d.   Ada keseragaman sikap dan tindakan terhadap murid diantara guru-guru dan staf BK.
e.    Guru memberikan informasi tentang murid kepada staf BK.
f.     Guru membicarakan murid-murid yang memiliki kesulitan dengan konselor.
g.    Guru memperlakukan murid sesuai dengan keadaan dan kemampuan murid.
h.    Tersedia alat pengumpulan data yang baik buatan guru sendiri.
i.      Guru menggunakan alat-alat pengmpulan data secara tepat.
j.      Guru mengumpulkan dan menyusun data dengan baik.
k.    Tercipta suasana belajar mengajar yang baik didalam kelas.
l.      Adanya penempatan dan penugasan kepada murid oleh guru, sesuai dengan keadaan dan kemampuan murid masing-masing.
m.  Guru mengatasi kesulitan dalam menghadapi murid tanpa kerugian sampingan, baik pada murid ataupun pada guru.
n.    Guru mengarahkan penggarapan murid yang mengalami kesulitan yang tidak dapat ditangani oleh guru sendiri.
o.    Guru mempergunakan alat pengumpulan data sesuai dengan keadaan dan kemampuannya sendiri.
p.    Guru mempergunakan cara-cara untuk membantu murid sesuai dengan keadaan dan kemampuan guru.










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Evaluasi adalah Proses menentukan atau mempertimbangkan nilai atau jumlah sesuatu melaluipenilaian yang dilakukan dengan seksama. Evaluasi program bimbingan dan penyuluhan (BP) dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam berbagai program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan data, serta analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat keputusan.
Tujun dari dilakukannya evalusi pelaksanaan program layanan bimbingan dan penyuluhan adalah untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian program layanan bimingan tersebut. Lingkup evaluasi program BP mencakup empat komponen, yaitu: (1) komponen peserta didik (input), (2) komponen program, (3) komponen proses pelaksanaan BP, dan (4) komponen hasil pelaksanaan BP (output).
Prosedurnya meliputi fase persiapan, fase persiapan alat/instrument evaluasi, fase pelaksanaan kegiatan evaluasi, fase menganalisis hasil evaluasi, fase penafsiran atau interprestasi dan pelaporan hasil evaluasi.




[1]Aip Badrujaman, Teori dan Aplikasi Evaluasi Program Bimbingan Konseling (Jakarta: PT Indeks, 2011), h.12-13.
[2]Ibid., h. 17.
[3]Dewa Ketut Sukardi, Proses Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), h. 103.
[4]Ibid.
[5]Aip Badrujaman, Teori, h. 19.
[6]Dewa Ketut Sukardi, Proses, h. 104.
[7][7]Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h. 187.
[8]Ibid.
[9]Dewa Ketut Sukardi, Proses, h. 106.
[10]Dewa Ketut Sukardi, Pengantar, h. 189-190.
[11]Ibid., h. 191-192.
[12]I Jumhur, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Bandung: CV Ilmu, 1990), h. 157-158.
[13]I Jumhur, Bimbingan, h. 164-166.
[14]Dewa Ketut Sukardi, Proses, h. 109.
[15]Dewa Ketut Sukardi, Pengantar, h. 196.
[16]Ibid.
[17]Ibid., h. 197.
[18]Ahmad Juntika, dkk., Manajemen Bimbingan dan Konseling (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 121-123.
Copyright 2009 Neng Ingin Berbagi. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates