BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu
yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari
masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena
itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai
kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini,
sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan
lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di
kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda
agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nasrani,
yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan
pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang
yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang
terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan,
yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan
perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam
yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan
itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan
beda agama, baik itu menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut
agama Islam itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
perkawinan lintas agama?
2.
Bagaimana hukum perkawinan
lintas agama menurut Islam?
3.
Bagaimana hukum perkawinan
lintas agama di negara Indonesia?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian
perkawinan lintas agama?
2.
Untuk mengetahui hukum
perkawinan lintas agama menurut Islam?
3.
Untuk mengetahui hukum
perkawinan lintas agama di negara Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Perkawinan
Lintas Agama
1.
Pengertian
Perkawinan
Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah” secara
bahasa bermakna penyatuan, perkumpulan, atau dapat diartikan sebagai akad atau
hubungan badan. Adapun menurut istilah syara’, nikah ialah akad yang
membolehkan seorang laki-laki berhubungan kelamin dengan perempuan.[1]
Jadi yang dimaksud dengan nikah ialah melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untuk menghalalkan hubungan kelamin antar kedua belah pihak, dengan dasar
sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
cara-cara yang di ridhai oleh Allah SWT.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga (3)
karakter yang khusus, yaitu :[2]
a.
Perkawinan tidak dapat dilakukan
tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
b.
Kedua belah pihak yang mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian
tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
c.
Persetujuan perkawinan itu mengatur
batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
2.
Pengertian
Perkawinan Lintas Agama
Perkawinan lintas agama
ialah perkawinan antar orang yang berlainan agama. Yang dimaksud
dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” disini ialah perkawinan
orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita).[3]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama
adalah ikatan lahir
dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat
dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
B.
Hukum Perkawinan
Lintas Agama Menurut Islam
1.
Perempuan Muslim
dengan Laki-laki Non-Muslim
Hukum perkawinan
antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki
non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat
menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Pengharaman
tersebut didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi: [4]
وَلا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ.....
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu.” (QS. al-Baqarah: 221)
Syirik
adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, musyrik
adalah siapa saja yang menyembah selain Allah (mempersekutukan Allah). Orang
kristen yang percaya tentang trinitas adalah musyrik menurut sudut pandang di
atas, termasuk di dalamnya Ahlul Kitab. Adapun menurut pandangan para pakar
al-Quran, kata musyrik atau musyrikin dan musyrikat
digunakan al-Quran untuk kelompok tertentu, yaitu para penyembah berhala.
Dengan demikian, istilah al-Quran berbeda dengan istilah keagamaan di atas.
Walaupun penganut agama kristen mempercayai trinitas, al-Quran tidak menamai
mereka musyrik, tetapi menamai mereka Ahlu Kitab. Perhatikan firman Allah
berikut:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى
تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (البينة: 1)
Artinya: “Orang-orang kafir
yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS.
al-Bayyinah: 1)
Dari
ayat di atas dapat dilihat bahwa orang kafir ada dua macam, yakni Ahlul Kitab
dan Musyrik. Itulah istilah yang digunakan al-Quran untuk satu substansi yang
sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, yakni Ahlul kitab dan
orang-orang musyrik.[5]
Selain
didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221, larangan perkawinan antara perempuan
muslim dengan laki-laki non-muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat
10.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)
Ayat
ini, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang digunakannya adalah
“orang-orang kafir”, dan Ahlul kitab adalah salah satu dari kelompok
orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak menyebut Ahlul
kitab, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-orang kafir”.[6]
Ada
beberapa argumen tentang sebab diharamkannya perempuan muslim kawin dengan
laki-laki non-muslim, yakni sebagai berikut:[7]
a. Laki-laki kafir tidak boleh menguasai
orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa {4}: 141: ... dan Allah takkan memberi
jalan orang kafir itu mengalahkan orang mukmin
b. Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak
akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan
kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan apabila laki-laki muslim kawin
dengan perempuan Ahli Kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani kitab,
dan nabi dari istrinya sebagai bagian dari keimanannya karena tidak akan
sempurna keimanan seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.
c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan
suami isteri tidak mungkin bisa bertahan tinggal dan hidup (bersama) karena
perbedaan yang jauh.
2.
Laki-laki Muslim
dengan Perempuan Musyrik
Islam melarang terjadinya ikatan perkawinan yang
berakibat hancurnya keyakinan agama. Allah melarang perkawinan orang Islam
dengan orang musyrik karena orang musyrik telah berbuat dosa besar yang tidak
diampuni oleh Allah yaitu syirik, karena mengajak ke neraka (QS. al-Nisa’:
116), sedang Allah dengan aturannya mengajak kepada kedamaian/kebahagiaan dan
mendapat ampunan Ilahi (QS. al-Baqarah: 221).[8]
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara
pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram. Madzhab Hambali
juga berpendapat demikian, bahwa haram hukumnya menikahi wanita-wanita musyrik.
Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang pria
Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 221: [9]
وَلاَ
تَنْكِحُوْا اْلمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ... (البقرة: 221(
“Janganlah kamu
mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu”
Jumhur
ulama juga sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan
musyrik. Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah),
zindiqiyyah (ateis), penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-ibahah),
seperti paham wujudiyah.[10]
Hikmah dilarangnya
perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam
(pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang musyrik/kafir
selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang
sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai
pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan
percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak
percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan
irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah
beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti
“kepercayaan/ideologi” mereka.[11]
3.
Laki-laki Muslim
dengan Perempuan Ahli Kitab
Pada dasarnya
laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini perempuan Ahli Kitab berdasar
pengkhususan QS. Al-Maidah ayat 5.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ
حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Di
antara ulama’ ada yang berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud wanita kitabi,
kitabiyah, atau wanita Ahli Kitab. Syekh Ali Ahmad Jarjawi
berpendapat bahwa Ahlul Kitab adalah orang-orang yang berpegang kepada
agama dan mempunyai kitab samawi yang diturunkan dari Allah Swt.
Madzhab
Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah berpendapat bahwa Ahlul kitab adalah
mereka yang menganut aliran sebagai berikut: a) iman dan percaya kepada Allah;
b) iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an yang telah
diturunkan oleh Allah Swt kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Saw; c) iman
dan percaya kepada salah seorang rasul selain Nabi Muhammad Saw.
Mahmuddin
Sudin berpendapat bahwa sekarang ini tidak ada lagi Ahli Kitab sebagai yang
dimaksudkan oleh QS. al-Maidah ayat 5; mereka dikategorikan musyrik.[12]
Satu
hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan Ahli Kitab,
menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama
yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran
kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan
yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya
dan merusak akidah anak-anaknya.
Sementara
antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat distansi yang
jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan menyembahNya, beriman kepada
para nabi, hari akhirat (eskatologis) beserta pembalasannya, dan menganut agama
yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang
esensial hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang
yang beriman kepada kenabian universal tidak akan mempunyai halangan mengimani
nabi penutup (khatam al-anbiya), yakni Muhammad, kecuali karena
kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami yang
menganut agama dan syari’at yang baik maka sangat terbuka peluang baginya untuk
mengikuti agama suaminya. Dan apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat
Al-Qur’an yang jelas niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan keimanan dan
keislaman.[13]
Pengertian
Ahli Kitab di sini mengacu pada dua agama besar sebelum Islam, yakni Yahudi dan
Nasrani. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama sepakat akan kehalalan
mengawini perempuan Ahli Kitab dengan syarat ia merdeka (bukan budak),
sedangkan mengenai perempuan Ahli Kitab yang dalam status tawanan (bi
al-milk) para ulama berbeda pendapat.[14]
Ibnu
Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim
mengawini perempuan Ahli Kitab). Qurthubi dan Nu’as mengatakan: Di
antara sahabat yang menghalalkan antara lain: Utsman, Talhah, Ibnu Abbas,
Jabir, dan Hudzaifah. Sedangkan dari golongan tabi’in yang menghalalkan: Sa’id
bin Mutsayyab, Sa’id bin Jabir, al-Hasan, Mujahid, Thaawus, Ikrimah, Sya’bi,
Zhahak, dan lain-lain. As-Sayyid Sabiq menyatakan bahwa hanya ada satu
sahabat yang mengharamkan, yakni Ibnu Umar. Di antara sahabat ada yang mempunyai
pengalaman mengawini perempuan Ahli Kitab. Utsman r.a. kawin dengan Nailah
binti Quraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk
Islam, Hudzaifah mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir dan
Sa’ad bin Abu Waqas pernah kawin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani pada masa
penaklukan kota Makah (fathul Makah).[15]
Adapun
pendapat fuqaha empat madzab Sunni tentang laki-laki muslim mengawini perempuan
Ahli Kitab adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah membolehkan mengawini wanita ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas,
karena menurut mereka yang terpenting adalah ahli kitab tersebut memiliki kitab
samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahli kitab adalah siapa saja yang
mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk
juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang
percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut madzhab ini mengawini wanita ahli kitab
dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja
menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung
mafasid yang besar, yakni seorang suami muslim
yang kawin dengan perempuan ahli kitab dikhawatirkan akan patuh terhadap
istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya beragama dengan selain agamanya. Sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan
menghalalkan daging babi.[16]
b. Madzhab Maliki
Mazhab Maliki
tentang hukum perkawinan dengan Ahli Kitab ini mempunyai dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (
Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada
hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan
mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut
tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Saddu al-Dzari’ah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan
yang akan muncul dalam perkawinan beda agama adalah kemafsadatan, maka diharamkan.[17]
c. Madzhab Syafi’i
Demikian halnya dengan madzhab syafi’i, juga
berpendapat bahwa boleh menikahi wanita Ahli kitab, dan yang termasuk golongan
wanita ahli kitab menurut madzhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya,
sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan madzhab
ini adalah :
1)
Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan
bukan bangsa lainnya.
2)
Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5
menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani
adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad
selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan,
tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an
diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak
sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
Para fuqaha madzab Syafi’i memandang
makruh mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisili di Daru al-Islam,
dan sangat dimakruhkan (tasydid al- Karahah) bagi yang berada di Daru
al-Harb, sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah. Ulama Syafi’iyah memandang
kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa berikut:[18]
1) Tidak terbesit oleh calon mempelai
laki-laki muslim untuk mengajak perempuan Ahli Kitab tersebut masuk Islam.
2) Masih ada perempuan muslimah yang
shalikhah
3) Apabila tidak mengawini perempuan Ahli
Kitab tersebut ia bisa terperosok ke dalam perbuatan zina.
d. Madzhab Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang
perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan
masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu
Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahli kitab adalah
Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa semua wanita-wanita
yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi
Rasul, baik dari bangsa Israel maupun tidak.[19]
4.
Laki-laki Muslim
dengan Perempuan Shabi’ah, Majusi, dan Lainnya
Selain
menyebut Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk
agama Shabi’ah (QS. AL-Baqarah {2}: 62, QS. AL-Maidah {5}:69, al-Hajj {22}:
17); Majusi (QS. Al-Hajj {22}: 17); serta orang-orang yang berpegang pada shuhuf
(lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim-yang bernama Syit dan shuhuf Nabi Musa yang
bernama Taurat (QS. Al-A’la [87]: 19), dan kitab Zabur yang diturunkan kepada
Nabi Dawud.
Penyebutan
agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama yang pernah
berkembang dan dikenal masyarakat Arab pada saat itu. Mengenai perempuan
shabi’ah, para fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya
termasuk Ahli-kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu. Mereka
dipersamakan dengan pemeluk yahudi dan nasrani, sehingga laki-laki mukmin boleh
mengawininya. Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah dan Hanabilah membedakan antara
Ahli Kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka, orang-orang yahudi dan
nasrani sependapat dengan islam dalam hal-hal pokok agama (ushul ad-din)
membenarkan rasul-rasul dan mengimani kitab-kitab. Barang siapa yang berbeda
darinya dalam hal pokok-pokok agama (termasuk shabi’ah) maka ia bukanlah
termasuk golonganya. Oleh karena itu, hukum mengawininya juga seperti mengawini
penyembah berhala, yakni Haram.[20]
Seorang muslim
dilarang menikahi wanita Majusi. Sebab, orang Majusi bukan dari golongan Ahli
Kitab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena Ahli Kitab adalah mereka yang
beragama Yahudi maupun Nasrani. Kitab Taurat diturunkan kepada kaum Yahudi dan
Nabi mereka adalah Musa AS. Sedangkan kitab Injil diturunkan kepada kaum
Nasrani, dan Nabi mereka adalah Isa bin Maryam AS. Namun Madzhab Zhahiriah
membolehkan seorang muslim menikah dengan wanita majusi dengan hujjah mereka
termasuk golongan Ahli kitab.
Abu Tsaur
mengatakan: “Boleh menikahi wanita Majusi berdasarkan sabda Rasulullah SAW. yang
artinya.“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent)
sebagaimana berbuat kepada golongan Ahli Kitab”
Alasan lain,
karena diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Hudzaifah Radhiyallahu‘anhu
pernah menikahi wanita Majusi dan karena mereka masih ditetapkan membayar
jizyah (pajak), sehingga status mereka mirip dengan orang-orang Yahudi dan
Nasrani”
Namun,
kebanyakan yang dijadikan pedoman adalah pendapat mayoritas ulama. Pasalnya,
orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahli Kitab. Allah SWT berfirman yang
artinya (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa
kitab itu hanya diturunkan kepada 2 golongan saja sebelum kami (Yahudi
dan Nasrani)” (Al-An'am: 156).
Ini adalah
sebuah bukti bahwa mereka tak memiliki kitab. Sesungguhnya yang dimaksudkan
dari hadits tersebut adalah dalam rangka melindungi darah mereka dan masih
ditetapkan membayar jizyah, bukan yang lain. Sedangkan mengenai riwayat bahwa
Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi,
setelah diteliti, riwayat ini tak shahih
dan Imam Ahmad telah mendha'ifkan (melemahkan) orang yang meriwayatkan dari
Hudzaifah bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi. Abu Wa'il menyatakan:
“(Orang yang meriwayatkan bahwa) beliau pernah menikahi wanita Yahudi itu lebih
kuat daripada orang yang meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah menikahi
wanita Majusi”. Sementara Ibnu Sirin mengatakan: “Konon, istri Hudzaifah
beragama Nasrani” [21]
Sementara
mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah
juga ada dua pendapat. Ulama madzhab Hanafi menyatakan: barangsiapa memeluk
agama samawi, dan baginya suatu kitab suci seperti shuhuf Ibrahim
dan Dawud maka adalah sah mengawini mereka selagi tidak syirik. Karena mereka
berpegang pada semua kitab Allah maka dipersamakan dengan orang Yahudi dan
Nasrani. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan.
Alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan
perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak memuat hukum.[22]
C.
Perkawinan Lintas
Agama di Indonesia
1.
Perkawinan Lintas
Agama dalam Pandangan ORMAS Keagamaan
Pada tanggal 1 Juni
tahun 1980 Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa berkaitan dengan
kawin lintas agama. Fatwa ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraan mengenai
kawin lintas agama yang telah dibicarakan pada Konferensi Tahunan Kedua MUI
pada tahun 1980. Fatwa tersebut menghasilkan dua butir ketetapan.
Pertama,
bahwa seorang perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan
seorang laki-laki bukan muslim. Kedua, bahwa laki-laki muslim tidak
diizinkan mengawini seorang perempuan bukan Islam, termasuk kristen (Ahli
Kitab). Ketetapan laki-laki muslim dilarang mengawini perempuan non-Islam ini
merupakan perkembangan baru fiqh Indonesia yang berseberangan dengan teks QS.
al-Maidah: 5 dan pendapat mayoritas fuqaha yang membolehkannya.
Dilihat dari metode
Istinbath al-Ahkam yang digunakan untuk membatalkan teks QS. al-Maidah
ayat 5, MUI berargumen dengan menggunakan metode Masalih al-Mursalah,
yakni demi kepentingan masyarakat Islam. Lihat juga keputusan seminar
perkawinan antar agama di Universitas Katolik Atmajaya tanggal 21 Maret 1987,
pada prinsipnya Gereja menolak perkawinan campur antar agama (KHK 1086 dan KHK
1124).[23]
Selain MUI,
ormas Islam yang mengeluarkan ketetapan larangan kawin lintas agama adalah
Muhammadiyah. Secara umum, muhammadiyah dalam masalah kawin lintas agama sama
dengan pendapat jumhur fuqaha. Yakni laki-laki muslim tidak boleh mengawini
perempuan musyrik, dan perempuan muslimah juga tidak boleh dikawinkan dengan
laki-laki musyrik dan Ahli Kitab.
Adapun mengenai
laki-laki muslim mengawini Ahli Kitab semula Muhammadiyah membolehkannya
berdasarkan QS. al-Maidah ayat 5. Dengan berargumentasi bahwa Nabi Muhammad
sendiri pernah mengawini Maria Qibthiyah, seorang perempuan Nasrani dari Mesir.
Selain itu juga banyak sahabat Nabi kawin dengan perempuan Ahli Kitab.[24]
Tapi kemudian
ada beberapa pertimbangan lain. Menurut Muhammadiyah, hukum mubah
(boleh) itu harus dengan alasan untuk berdakwah kepada mereka, dengan harapan
mereka bisa mengikuti agama suaminya (Islam). Jika keadaan justru sebaliknya,
laki-laki muslim akan terbawa kepada agama Ahli Kitab, maka hukum mubah akan
berubah menjadi haram.[25]
Melihat
realitas yang ada di masyarakat dalam hal kawin lintas agama, Muhammadiyah
mengamati ada dua akibat negatif. Pertama, beralihnya agama suami pada
agama yang dianut istrinya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut
anaknya sama dengan agama yang dianut ibunya. Untuk itulah Muhammadiyah
menggunakan metode Saddu al-Dzari’ah guna mengharamkan perkawinan
laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Menurut
Muhammadiyah, haram di sini bukan haram Li Dzatihi, tetapi haram Li
Sadd al-Dzari’ah. Jadi, pada intinya keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah
akhirnya pun tidak berbeda dengan keputusan MUI. Sementara Nahdhatul Ulama (NU)
secara resmi belum pernah membahas persoalan kawin lintas agama.[26]
2.
Perkawinan Lintas
Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Perkawinan dianggap sah apabia diakui oleh negara.
Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara
yang ditentukan oleh hukum positif.
Mengenai perkawinan antar agama apabila diteliti
pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ditemukan
ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama
tersebut, di samping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan
bahwa tidak ada satu pasal pun baik secara tersurat maupun tersirat yang
melarang dilakukannya perkawinan antar agama.[27]
Mengenai pasal perkawinan tersebut hanya ada 2 pasal
yang bisa dijadikan sebagai pedoman, yaitu :
·
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan hukum agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada
masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan
perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau
apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, di samping
tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.[28]
·
Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku ,
dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas
disebutkan di dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari
hukum masing-masing agamanya.[29]
Oleh karena di dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka
tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar
agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan
pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa
untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung
kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan
persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak.[30]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengkategorikan perkawinan
antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c yang dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa
perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami
isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk
agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia,
perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi,
karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila
terjadi perkawinan antar agama.[31]
D.
Analisis
Penalaran Hukum Perkawinan Lintas Agama
Jumhur ulama
sepakat menyatakan bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang
beragama Islam dengan seorang laki-laki non-Islam dan sebaliknya (laki-laki
muslim dengan perempuan non-Islam), baik Ahlul kitab ataupun musyrik adalah
haram, tidak sah. Pengharaman tersebut didasarkan pada
QS. Al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi:[32]
لا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ.....
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu..” (QS. al-Baqarah:
221)
Penggalan
ayat tersebut menunjukkan arti larangan mutlak oleh Allah kepada Umat Islam,
dimana لا pada lafadz وَلا تُنْكِحُوا
adalah Lam Nahi (yang menunjukkan arti larangan). Dan الْ
pada lafadz الْمُشْرِكَاتِ dan الْمُشْرِكِينَ
adalah Al Ta’rif (Ma’rifat) yang menunjukkan arti umum, yakni mencakup
semua lelaki musyrik tanpa terkecuali. Dalam Tafsir al-Mishbah dijelaskan
bahwa menurut kaca mata agama, yang dimaksud dengan الْمُشْرِكَاتِ
atau الْمُشْرِكِينَ dalam ayat tersebut
adalah siapa saja yang mempersekutukan Allah, termasuk di dalamnya Ahlul kitab.
Larangan
perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim juga didasarkan
pada keumuman QS. Al-Mumtahanah ayat 10.[33]
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)
Namun,
kedua ayat tersebut masih bersifat umum atau dalam ilmu Ushul Fiqih
diistilahkan dengan “Lafadz ‘Am (لفظ العام)”. Menurut jumhur ulama’, dalalah 'am
bersifat dhanni sehingga diperlukan takhshish. Adapun madzhab Hanafi
berpendapat bahwa dalalah 'Am merupakan dalalah qath'iyah sehingga tidak
diperlukan takhshish.[34]
Mengenai
perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita Ahlul kitab, para ulama’ masih
berbeda pendapat. Mereka yang membolehkan mengacu pada pengkhususan QS.
al-Maidah aya 5:[35]
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Jika dilihat
dari segi kaidah ushul fiqih, ayat 5 surat al-Maidah ini bersifat khusus (لفظ الخاص),
yakni sebagai mukhoshish (pengkhusus) munfashil dari QS.
al-Baqarah ayat 221 dan QS. al-Mumtahanah ayat 10 yang masih bersifat ‘Am
(Umum). Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa keharaman menikahi non-Muslim,
baik laki-laki maupun perempuan, baik musyrik ataupun Ahlul Kitab, telah
ditakhshish oleh QS. al-Maidah ayat 5 yang menjelaskan bahwa dihalalkan
mengawini wanita-wanita Ahlul Kitab. Oleh sebab itu, hukum menikahi wanita
Ahlul Kitab adalah halal menurut pendapat jumhur. Adapun menikahi wanita/lelaki
musyrik tetap dihukumi haram.
Dan
didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah pada ayat tersebut memberi
isyarat bahwa mereka yang seharusnya didahulukan, karena bagaimanapun persamaan
agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat
menentukan kelanggengan rumah tangga.[36] Di
antara imam madzhab fiqih yang membolehkan perkawinan lelaki muslim dengan
wanita Ahlul kitab adalah madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, Namun Ahlul kitab yang dimaksud
masih berada dalam batas definisi dan pemahaman mereka masing-masing.
Adapun bagi
mereka yang menghukumi makruh atau haram, seperti madzhab Maliki, mereka
beralasan karena adanya kekhawatiran bahwa si isteri yang kitabiyah ini
akan mempengaruhi aqidah anak-anaknya, sekaligus suaminya. Jika dilihat dari
segi kaidah Ushul Fiqih, metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Saddu al-Dzari’ah (سَدُّ الذَّرِيْعَةِ), yakni menutup jalan yang mengarah kepada
kemafsadatan. Yang dimaksud adalah jika dikhawatirkan yang akan muncul dalam
perkawinan beda agama tersebut adalah kemafsadatan (sumber kerusakan), maka
diharamkan.
Mengenai
perkawinan lelaki Muslim dengan perempuan Shabi’ah, para fuqaha madzhab Hanafi
berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli-kitab, hanya saja kitabnya
sudah disimpangkan dan palsu.[37] Ulama’
madzhab Hanafi ini meng-Qiyaskan perempuan Shabi’ah dengan perempuan
Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), dengan adanya Illat “sama-sama
memperoleh kitab Samawi”, sehingga laki-laki muslim dibolehkan
mengawininya.
Sedangkan
madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah membedakan antara Ahli Kitab dengan penganut
agama Shabi’ah. Menurut mereka, Ahlul kitab sependapat dengan islam dalam
hal-hal pokok agama (ushul ad-din), adapun perempuan Shabi’ah tidak.[38] Dalam
hal ini perempuan Shabi’ah di-Qiyas-kan dengan perempuan penyembah
berhala (Musyrik). Oleh sebab itu hukum mengawininya adalah haram.
Mengenai penganut agama Majusi,
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perempuan majusi ini disamakan dengan perempuan
Shabi’ah, yang mana mereka berbeda dengan Ahlul Kitab. Sehingga Jumhur ulama’
melarang untuk mengawininya.[39].
Sementara
mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
Shabi’ah, ulama madzhab Hanafi membolehkan, karena di-Qiyasikan dengan
pemeluk agama yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab). Adapun ulama madzhab Syafi’i
dan Hambali tidak membolehkan. Alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya
berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak
memuat hukum.[40]
Majelis Ulama’ Indonesia
(MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa seorang perempuan yang beragama Islam
tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan muslim,
termasuk Ahli Kitab, begitupun dengan lelaki Muslim juga tidak diperbolehkan mengawini
perempuan non-Islam/Ahlul Kitab.[41]
Dilihat dari metode Istinbath al-Ahkam (penetapan/penggalian hukum) yang
digunakan untuk membatalkan teks QS. al-Maidah ayat 5, MUI menggunakan metode Masalih
al-Mursalah (مَصَالِحُ الْمُرْسَلَةِ), yakni meraih manfaat dan menolak
madlarat. Dalam hal ini, pengharaman
kawin lintas agama yang difatwakan MUI tidak lain demi kepentingan
masyarakat Islam.
Ormas Islam lain yang mengeluarkan
ketetapan larangan kawin lintas agama adalah Muhammadiyah. Secara umum,
muhammadiyah dalam masalah kawin lintas agama sependapat dengan keputusan MUI.
Adapun mengenai laki-laki muslim mengawini Ahli Kitab semula Muhammadiyah
membolehkannya berdasarkan QS. al-Maidah ayat 5. Namun kemudian Muhammadiyah
mengharamkan perkawinan tersebut, karena melihat realitas yang ada di
masyarakat dalam hal kawin lintas agama, Muhammadiyah mengamati ada dua akibat
negatif. Pertama, beralihnya agama suami pada agama yang dianut
istrinya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut anaknya sama dengan
agama yang dianut ibunya. Dalam hal ini Muhammadiyah menggunakan metode Saddu
al-Dzari’ah (سَدُّ الذَّرِيْعَةِ) untuk mengharamkan perkawinan
tersebut.[42]
Menurut Muhammadiyah, haram di sini
bukan haram Li Dzatihi, tetapi haram Li Sadd al-Dzari’ah. Metode ini dipandang sebagai bentuk aplikasi
dari kaidah fiqh: Dar’u al-Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbi al-Mashalih
(menghindari kerusakan itu harus lebih didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan). Dari sisi Maqasid al-Syari’ah (tujuan hukum), metode ini
dimaksudkan untuk merealisasikan pemeliharaan atas agama (hifdz al-din).
Dengan alasan untuk menghindari perpindahan keyakinan/agama.
Adapun Undang-undang negara
Indonesia menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan
syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara.[43] Oleh
sebab itu, yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar
agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri. Dan dalam KHI telah dinyatakan
dengan jelas bahwa perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan selain kedua
calon suami isteri beragama Islam.
[1]Nasrul
Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama? (Jakarta:
Qultum Media, tt), h. 22.
[2]Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), h. 2.
[4]Masjfuk
Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977), h. 77.
[5]M
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan,dan Keserasian al-Qur’an Juz
1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 577-578.
[6]Ibid,
h. 580.
[7]Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah 2, Terj. Drs. Muhammad Thalib (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1990), h. 105-106
[8]Ichtiyanto,
Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2008), h. 106-107.
[9]Nasrul
Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada, h. 67.
[10]Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 33.
[11]Masjfuk
Zuhdi, Masail, h. 46.
[12]Ichtiyanto,
Perkawinan, h. 108-109.
[13]Suhadi,
Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam (Yogyakarta: LKiS,
2006), h. 38-39.
[14]Ibnu
Rusyd, Bidayah, h. 33-34.
[16]Suhadi,
Kawin, h. 40.
[17]Ibid.,
h. 41.
[18]Ibid.,
h. 41-42
[19]Ibid.,
h. 42.
[21]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan; Hukum Kewarisan; Hukum Acara Peradilan Agama dan
Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 54-55.
[23]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.
195-196.
[24]Faturrahman
Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos,
1995), h. 143-144.
[25]Ibid.,
h. 146.
[26]Ibid.,
h. 147-148.
[27]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 194.
[28]Ibid.,
h. 194-195.
[29]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan; Hukum Kewarisan, h. 66.
[30]Amir
Syarifuddin, Hukum, h. 6.
[31]Ichtiyanto,
Perkawinan, h. 99.
[32]Masjfuk
Zuhdi, Masail, h. 77.
[33]Ibid.,
h. 78.
[34]Khairul
Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II (Bandung: CV Pustaka Setia,
2001), h. 62.
[35]Ichtiyanto,
Perkawinan, h. 108.
[36]M
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Juz 3
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 32.
[37]Sayyid
Sabiq, Fiqh, h. 104.
[38]Ibid.,
h. 104
[39]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan; Hukum Kewarisan , h. 54-55.
[40]Ibid.,
h. 105.
[41]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 195.
[42]Faturrahman
Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos,
1995), h. 147.
[43]Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 195.