RSS

Biografi dan Pemikiran Imam Syafi'i




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Imam As-Syafi’i adalah seseorang yang jasa-jasanya tidak dapat dilupakan oleh seluruh umat islam. Beliau adalah penyusun pertama ilmu usūl fiqh. Sebelum kelahiran beliau, ilmu kaidah hukum islam ini tidak mengenal fungsi serta peran al Qur’an, sunnah dan ijma’ secara baik, mereka hanya memakainya saja tanpa mengetahui hubungan antar dalil-dalil tersebut.
Dalam perkembangan pemikirannya, Imam As-Syafi’i mempunyai dua pendapat yang berbeda. Kedua pendapat ini biasa dikenal dengan qaul qadīm dan qaul jadīd. Berbagai tafsiran muncul berkisar hal ini, ada yang menyelidiki kemungkinan pengaruh sosio-kultural yang sangat kontras antara Irak dan Mesir sebagaimana nanti akan diutarakan, dan ada juga yang melihatnya sebagai peristiwa ralat biasa yang disebabkan penemuan hadith baru yang lebih kuat.
Makalah ini mencoba mendiskusikan fenomena tersebut dengan menyertakan beberapa contoh perubahan pendapat As-Syafi’i. Sebagaimana diketahui, qaul qadīm dan qaul jadīd tetap dibahas dalam kajian-kajian fiqh kita, karenanya, makalah ini masih dapat menemukan urgensinya.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi As-Syafi’i?
2.    Bagaimana pemikiran As-Syafi’i?
3.    Apa saja karya-karya As-Syafi’i?
4.    Bagaimana implikasi teori As-Syafi’i dalam fenomena sosial?
C.      Tujuan Pembahasan
1.   Untuk mengetahui biografi As-Syafi’i.
2.   Untuk mengetahui pemikiran As-Syafi’i.
3.   Untuk mengetahui karya As-Syafi’i.
4.   Untuk mengetahui implikasi teori As-Syafi’i dalam fenomena sosial.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi As-Syafi’i
Nama lengkap Imam As-Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris al-'Abbas Ibn Utsman Ibn Shafi’i Ibn al-Sa'ib Ibn `Ubaid Ibn `Abd Yazid fbn Hasyim Ibn `Abd al-Muthalib Ibn `Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah.
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di asqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghaza sekitar tiga kilometer dan tidak jauh juga dari Baitul Maqdis. Menurut An Nawawi pendapat yang termashur adalah beliau dilahirkan di Ghaza. Selain itu Menanggapai perbedaan pendapat tersebut sebuah riwayat menjelaskan bahwa beliau dilahirkan di Ghaza akan tetapi kemudian beliau dibesarkan di Asqalan.[1]
Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, “Imam Syafi’i Rahimahullahu berpulang kerahmatullah sesudah menunaikan ibadah shalat maghrib, petang Kamis malam Jumat, akhir bulan Rajab dan kami makamkan beliau pada hari Jumat. Sorenya kami lihat hilal bulan Sya’ban 204”.[2]
Pendidikan As-Syafi’i dimulai sejak ia berada di Makkah. Ia menghafalkan al-Qur'an dan mempelajari al-hadīth. Menjelang usia 9 tahun, As-Syafi’i telah menyelesaikan pelajaran baca tulis, bahkan telah mampu menghafal al-Qur'an 30 juz serta menguasai sejumlah hadith Nabi. ia mempunyai minat yang sangat tinggi dalam belajar bahasa Arab sehingga mendorong untuk meninggalkan ibunya pergi ke perkampungan Bani Hudhayl, suatu kabilah yang masih murni bahasa Arabnya, guna mendalami bahasa Arab.[3] As-Syafi’i memperoleh fasāhah dari mereka, menghafal banyak syair dari mereka, sehingga dibuat pepatah tentang kefasihannya. [4]
Beranjak dewasa, ia belajar fiqh ahl al-hadīth kepada Imam Malik di Madinah, kemudian mempelajari fiqh ahl al-ra’y kepada Muhammad bin al-Hasan al-Shayban di Irak. Dengan demikan, ia menguasai dua corak fiqh, yaitu fiqh ahl al-hadīth dan fiqh ahl al-ra’y.[5]
As-Syafi’i belajar ilmu fiqh di Mekah pada Syaihul Haram dan muftinya, yaitu Muslim bin Khalid, kemudian merantau ke Madinah setelah menghapal Al-Muwatta, di sana dia membaca kitab tersebut di hadapan Imam Malik, dan dia mengambil ilmu darinya. Jadi, Malik sebagai guru besarnya yang kedua.
Ketika Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179 H., Imam As-Syafi’i ingin mem­perbaiki taraf hidupnya. Secara kebetulan, ketika itu Gubernur Yaman datang ke Mekkah, atas bantuan beberapa orang Quraisy, Imam As-Syafi’i diangkat oleh Gubernur tersebut menjadi pegawai di Yaman. Nasib baik Imam As-Syafi’i untuk memperbaiki taraf hidupnya tidak berjalan lama. Gubernur Yaman yang mengangkatnya menjadi pegawai menuduh Imam As-Syafi’i bersekongkol dengan Ahl al-Bayt untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahannya. Pada tahun 184 H., Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan supaya Imam As-Syafi’i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya. Akan tetapi Imam As-Syafi’i dapat melepaskan diri dari tuduhan tersebut, atas bantuan seorang qadhi (hakim) di Bagdad yang ber­nama Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani (teman dan pengikut Abu Hanifah). Kemudian ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani dan yang lainnya untuk mempelajari fikih Irak. [6]
Di Irak, dia menyebarluaskan mazhab qadīm-nya, kemudian dia datang ke Mesir pada tahun 198 H. dan tinggal di kota Al-Fustat, yang di dalam kota itu terdapat Jami 'Amr bin Al-Ash dan di sana dia menyebarluaskan ilmunya di kalangan orang-orang Mesir. Dia membentuk mazhab jadīdnya di Mesir, dan mendiktekannya kepada murid-muridnya, menyampaikan ilmu serta fiqhnya kepada mereka, sampai Allah mewafatkan beliau pada tahun 204 H. [7]
Di antara kitab yang didiktekannya adalah Al-Umm (kitab Induk), kitab ini bernilai tinggi dan sangat bermanfaat. Kitab ini dicetak di Mesir dan dijadikan sebagai dasar bagi mazhabnya. Di antara kebesaran As-Syafi’i yang menonjol ialah kitabnya tentang ilmu Usul Fiqh, yang berjudul kitab Al-Risalah, yang sangat terkenal itu. Dengan usahanya ini, ditetapkan cara-cara berijtihad dan pengambilan hukum, serta upaya menjauhi kekacauan (krisis) hukum. As-Syafi’i sendirilah yang menyebarluaskan mazhabnya di Irak dan di Mesir. Kemudian murid-muridnya pun mengikutinya menegakkan alirannya hingga berhasil mendesak mazhab Hanafi dan Maliki dan mengantarkan mazhab Shafi’i menja­di penguasa daerah pantai Mesir, sebagian besar negeri-ne­geri Syam, sebagian negeri Yaman, Hijaz, dan Asia Tengah.[8]
Imam As-Syafi’i merupakan manusia dua zaman: lahir pada zaman pemerintahan Umayah dan meninggal pada zaman pemerintahan Dinasti Bani Abbas. Ketika Imam As-Syafi’i berumur 19 (sem­bilas belas) tahun, Muhammad al-Mandi diganti oleh Musa al-Mandi (169-170 H./785-786 M.). Ia berkuasa hanya satu tahun. Kemudian ia digantikan oleh Harun al-Rasyid (170-194 H./786-809 M.). Pada awal kekuasaan Harun al-Rasyid, Imam As-Syafi’i berusia 20 (dua puluh) tahun. Harun al-Rasyid digantikan oleh al-Amin (194-198 H./809-813 M.), dan Amin digantikan oleh al-Makmun (198-218 H./813-833 M.).[9]
Pada masa stabilitas 'Abbasiyah, para khalifah bersemangat mem­berikan dukungan untuk kemajuan ilmu pengetahuan kepada para ulama. Misalnya, mereka mendorong gerakan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, India dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, sehingga memungkinkan pikiran Arab-Islam berkenalan dengan dan mengambil manfaat dari alam pikiran Yunani kuno. Al-Shafi'i juga sempat menyaksikan saat meluasnya daerah kekuasaan Islam, menjangkau Andalusia (Spanyol) di Eropa Selatan sampai ke India dan Cina. Daerah kekuasaan Islam dengan demikian merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai suku dan bangsa maupun ras yang mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda-beda dari Persia, Romawi, India, Kurdi, Turkmen sampai Turki, Maka, kemudian terjadilah proses dialog maupun asimilasi antara kekuatan-kekuatan budaya ini dengan kebudayaan Islam. Boleh jadi, ini berarti diperlukannya sebuah aliran fiqh baru yang tetap konsisten dengan dasar-dasar pokok Islam, berpegang kepada al-Qur'an dan Sunnah, serta dalam waktu yang sama memperluas wawasan dalam ijtihad guna menjawab kenyataan sosial, ekonomi dan politik yang timbul pada masyarakat yang majemuk semacam itu.[10]
B.       Karya-karya As-Syafi’i
Karya-karya beliau menurut Abu Muhammad Al-Husain Al-Marwazy secara keseluruhan mencapai 113 kitab, yang terdiri dari kitab tafsir, fiqh, sastra dan lainnya.[11] Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.[12]
Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada murid-muridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:


1.         Kitab Ar Risalah
Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana di dalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al Qur;an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas.[13]  Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady.[14]
2.         Kitab Al Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,” pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai pandangan Mujtahid.
3.         Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’i”
Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu Mas’ud dan antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah.
4.         Kitab al-Musnad
Berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.

5.         Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
6.         Al-Imla
7.         Al-Amaliy
8.         Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
9.         Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
10.     Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
11.     Kitab Ikhtilaf al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-hadis Nabi Saw).
Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Irak, di Mesir, dan lain-lain. Kitab Al-Risalah merupakan merupakan kitab yang memuat Ushul Fiqh. Dari kitab Al-Umm dapat diketahui, bahwa setiap hukum Far’i yang dikemukakannya, tidak lepas dari penerapan Ushul Fiqh.[15]
C.       Pemikiran As-Syafi’i Tentang Ilmu
1.   Definisi Ilmu Menurut Imam Syafi’i
Perlu diketahui bahwa setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadits maksudnya adalah ilmu agama, ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Sekalipun demikian, kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitektur, pertanian, perekonomian, dan sebagainya; akan tetapi, ini bukanlah ilmu yang dimaksud dalam dalil-dalil tersebut, dan hukumnya tergantung pada tujuannya. Apabila ilmu-ilmu dunia tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka jelek. Perhatikanlah hal ini baik-baik, semoga Allah menambahkan ilmu bagimu. Allah berfirman:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Rum [30]: 7)
Imam Hasan al-Bashri berkata, “Demi Allah: sampai-sampai salah seorang dari mereka membolik-balikan dirham di atas kukunya, lalu mengabarkan berat timbangannya kepadamu akan tetapi mereka tidak becus shalatnya.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah mempelajari al-Qur’an dan Sunnah serta memahami makna kan-dungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Demikian juga dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud, dan masalah hati, dan sebagainya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar, berkata, “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i, ilmu yang berfaedah untuk mengetahui kewajiban seorang hamba berupa perkara agama, baik dalam ibadah maupun pergaulannya sehari-hari. Ilmu yang berbicara tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, serta apa yang wajib bagi dirinya dalam menjalankan perintah Allah, menyucikan Allah dari segala kekurangan. Ilmu yang demikian berkisar pada ilmu tafsir, hadits, dan fiqih.” Inilah juga makna ilmu yang diungkapkan Imam Syafi’i ketika berkata: Setiap ilmu selain al-Qur’an adalah menyibukkan Kecuali hadits dan fiqih dalam agama. Ilmu adalah yang terdapat di dalamnya Haddatsana (hadits) Selain itu adalah waswas setan.
2.    Keutamaan Ilmu Menurut Imam Syafi’i
Keutamaan-keutamaan ilmu agama banyak sekali, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Imam Syafi’i bahwa:
a.     Ilmu adalah sebab kebaikan di dunia dan akhirat.
Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki akhirat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki dunia akhirat, maka hendaknya dia berilmu.” Dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi: “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah akan faqihkan ia dalam agama-Nya.
b.    Ilmu sebagai benteng dari syubhat dan fitnah.
Imam Syafi’i berkata: “Seandainya bukan karena tinta (ilmu), niscaya orang-orang zindiq akan berkhotbah di mimbar-mimbar.” Dengan ilmu kita dapat menjaga diri kita dari berbagai syubhat yang menyerang. Dengan ilmu juga kita dapat membantah argumen orang-orang yang ingin merusak agama.
c.     Ilmu adalah amalan yang paling utama.
Imam Syafi’i berkata: “Tidak ada satu pun yang lebih utama setelah menunaikan kewajiban selain menuntut ilmu.” Dengan ilmu kita mengetahui yang benar dan yang salah, dengan ilmu kita bisa beribadah yang benar sehingga akan mengantarkan kita kepada surga Allah. Dari sinilah kita dapat memahami hadits Nabi: “Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.”
d.    Menuntut ilmu lebih utama daripada ibadah sunnah.
Imam Syafi’i’ berkata: “Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah”. Dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi “Orang yang berilmu, ia akan dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumf hingga ikan yang ada di dalam air. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah bagaikan bulan di malam purnama atas seluruh bintang.
3.   Semangat Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu
Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Tak mengherankan bila kemudian beliau berhasil tentunya dengan rahmat Allah menjadi seorang tokoh ulama yang harum namanya dikenal dunia dan oleh generasi selanjutnya. Al-Humaidi menceritakan bahwa dirinya tat-kala di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Syafi’i masih menyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia berkata, “Apa semua ini wahai Abu Abdillah (Syafi’i)?” Beliau menjawab, “Saya teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka saya pun segera menyalakan lampu dan menulisnya.”
Termasuk bukti semangat Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu adalah ucapan beliau kepada Imam Ahmad bin Hambal: “Engkau lebih tahu tentang hadits-hadits shahih daripada diriku. Apabila ada hadits shahih maka beritahukanlah padaku sehingga aku akan mendatanginya baik Kufah, Bashrah, atau Syam.” Dalam ucapan beliau ini terdapat beberapa faedah:
a.     Semangat beliau dalam menuntut ilmu sehingga beliau siap untuk melakukan perjalanan jauh guna mencari hadits, karena memang hal itu adalah sunnah kaum salaf.
b.    Tawadhu’nya Imam Syafi’i, sehingga beliau mau belajar dan menuntut ilmu sekalipun kepada orang yang lebih muda darinya.
c.     Keyakinan Imam Syafi’i bahwa setiap bidang itu harus diserahkan kepada ahli di bidangnya.
4.    Kunci-Kunci Ilmu Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berkata: “Maka hendaknya bagi para penuntut ilmu untuk:
a.     Mencurahkan tenaganya dalam memperbanyak ilmu
b.    Bersabar menghadapi tantangan dalam menuntut ilmu
c.     Mengikhlaskan niat karena Allah untuk menggapai ilmunya secara nash ataupun istinbath (menggali hukum)
d.    Berdo’a mengharapkan pertolongan Allah, karena tidak mungkin meraih kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya.”
Imam Syafi’i sangat menekankan ilmu dengar dan perbuatan. Itulah kunci-kunci dalam menuntut ilmu menurut As-Syafi’i.
5.    Enam Nasihat Imam Syafi’i dalam Meraih Ilmu
Enam bekal yang harus dimiliki para penuntut ilmu agama, agar dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu. Beliau Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”

Dalam buku “Bekal bagi Penuntut Ilmu” karya Abdullah bin Shalfiq Adh-Dhafiri terbitan Maktabah Al Ghuroba dan Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu karya Abu Anas Majid Al Bankani terbitan Darul Falah.
a.    Kecerdasan.
Kecerdasan yang ada pada diri seseorang terkadang memang sudah sebagai perangai yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Ibnu Abbas. Terkadang kecerdasan ada karena memang harus diusahakan. Bagi orang yang sudah memiliki kecerdasan maka tinggal menguatkannya, namun apabila belum punya hendaknya ia melatih jiwanya untuk berusaha mendapatkan kecerdasan tersebut. Kecerdasan adalah sebab di antara sebab-sebab yang paling kuat membantu seseorang menggapai ilmu, memahami dan menghafalnya. Memilah-milah permasalahn, men-jama’ (menggabungkan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dan yang selain dari hal itu.
b.    Semangat untuk mendapatkan Ilmu. Allah Azza wa jalla berfirman:
إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّ الَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (An Nahl: 128)
Seseorang apabila mengetahui nilai pentingnya sesuatu pasti ia akan berusaha dengan semangat untuk mendapatkannya. Sedangkan ilmu adalah sesuatu yang paling berharga yang dicari oleh setiap orang. Penuntut ilmu hendaknya memiliki semangat membaja untuk menghafal dan memahami ilmu , duduk bermajelis dengan para ulama dan mengambil ilmu langsung dari mereka, memperbanyak membaca, menggunakan umur dan waktunya semaksimal mungkin serta menjadi orang yang paling pelit menyia-nyiakan waktunya.
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu adalah salah satu contoh shahabat yang bersemangat sekali dalam menuntut Ilmu. Di kala saudara-saudaranya di kalangan Muhajjirin sibuk berdagang di pasar dan saudara-saudara dari kalangan Anshar sibuk bekerja, Abu Hurairah telah kenyang dengan ilmubersama Rasulullah Shalallahu alahi wasallam dan hadir saat-saat saudara-saudara mereka tidak hadir serta menghafal apa yang tidak mereka hafal.
c.     Bersungguh-sungguh dalam menuntut Ilmu
Menjauhi segala bentuk kemalasan dan kelemahan serta berjihad melawan hawa nafsu dan setan itu senantiasa merintangi dan melemahkan semangat dalam menuntut ilmu. Diantara sebab-sebab yang membantu seseorang untuk giat, tekun, bersungguh-sungguh adalah membaca biografi kehidupan para ulama, bagaimana kesabaran dan ketahanan mereka menanggung penderitaan serta kisah mereka dalam rihlah (mengembara) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka mencari ilmu dan hadist.
Diriwayatkan dari Fadhal bin Ziad, dia berkata, “Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata, “Tidak seorangpun pada zaman Ibnul Mubarak yang lebih gigih dalam menuntut ilmu selain dirinya. Dia pergi ke Yaman, Mesir, Syam, Basrah dan Kuffah. Dia adalah termasuk orang yang meriwayatkan ilmu dan pantas untuk itu. Dia belajar dari yang tua maupun yang muda.
d.    Memiliki Bekal yang cukup
Para ulama jaman dahulu rela mengorbankan harta bendanya untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Abu Hatim yang menjual bajunya untuk dapat menuntut Ilmu, Imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan Al Hamadzan Al Atthar, seorang syaikh dari Hamadzan menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu. Penunutut ilmu mencurahkan segala kemampuan baik materi atau apapun yang ia miliki hingga ia menggapai cita-citanya hingga ia mumpuni dalam bidang keilmuan dan kekuatannya: baik hafalan, pemahaman maupun kaidah dasarnya.
e.    Memiliki Guru Pembimbing
Ilmu itu diambil dari lisan para ulama. Seorang penuntut ilmu agar kokoh dalam menuntut ilmu hendaknya ia membangunnya di atas dasar-dasar yang benar, hendaknya ia bermajelis dengan para ulama, mengambil ilmu langsung dari lisan mereka. Sehingga ia menuntut ilmu di atas kaidah-kaidah yang benar, mampu mengucapkan dalil-dalil dari nash Al Qur’an dan Al Hadist dengan pelafadzan yang shahih tanpa ada kesalahan dan kekeliruan dan dapat memahami ilmu dengan pemahaman yang benar sesuai yang diinginkan (oleh Allah dan Rasulnya). Terlebih lagi dengan hal itu kita bisa mendapatkan faedah dari seseorang yang ‘alim berupa adab, akhlaq dan sikap wara’.
Hendaknya bagi penuntut ilmu untuk menjauhi, jangan sampai menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya. Karena barang siapa menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya niscaya akan banyak kekeliruan dan sedikit kebenaran. Dan terus-menerus hal ini berlangsung sampai zaman kita sekarang ini. Tidaklah kita jumpai seorang yang menonjol dalam bidang keilmuan melainkan pasti ia berada dibawah bimbingan tangan dan didikan orang ‘alim.
Perjalanan ulama dalam menuntut ilmu tak hanya dengan satu atau dua orang guru saja. Bahkan ada yang sampai ribuan, seperti Al Hafizh As Sam’ani yang belajar kepada 7000 Syaikh.
f.     Masa yang Panjang
Seorang penuntut ilmu jangan sampai menyangka bahwa menuntut ilmu itu cukup hanya dengan sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Karena sesungguhnya menuntut ilmu membutuhkan kesabaran bertahun-tahun.
Al Qadhi Iyadh suatu ketika pernah ditanya ”Samapi kapan seseorang harus menuntut ilmu?”. Beliau menjawab: “ Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.
Al Imam Ahmad mengatakan: “Aku duduk belajar Kitabu Haid selama Sembilan tahun, samapi aku benar-benar memahaminya.” Terus menerus para penuntut ilmu yang cerdik bermajelis dengan para ulama, ada di antara mereka yang selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan ada diantara mereka yang menghabiskan umurnya menuntut ilmu bersama para ulama sampai Allah ta’ala memwafatkannya.
Nasehat yang indah dari seorang Imam besar kepada para penuntut ilmu. Dan hanya memohon kepada Allah ta’ala semoga member taufik dan hidayah kepada kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.[16]
D.      Pemikiran As-Syafi’i Tentang Fiqih
1.   Rujukan  Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur da­lam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut ditentukan de­ngan qiyās. Sunnah digunakan apabila sanadnya shahih. Ijma' lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadith ada­lah makna zhahir; apabila suatu lafad ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadith munqathi' di­tolak kecuali jalur Ibn al-Musayyab. al-asl tidak boleh diqiyāskan kepada al-asl. Pertanyaan “mengapa?” dan “bagaimana?” tidak boleh dipertanyakan kepada al-Quran dan Sunnah; pertanyaan tersebut dipertanya­kan hanya kepada al far'. Qiyās dapat menjadi hujjah apabila peng­kiyasannya benar.[17]


2.    Qaul Qadīm dan Qaul Jadīd
Tahap terpenting dalam karier keilmuan Imam Syafi’i adalah ketika ia berkunjung ke Irak untuk ketiga kalinya. Saat itu Khalifah Harun al-Rashid telah meninggal dan digantikan oleh al-Ma'mun. Dan gurunya Muhammad bin al-Hasan juga telah wafat. Lawatan ini tidak berlangsung lama, tetapi momentum yang terpenting adalah is memprokla­masikan kebebasannya dari fatwa-fatwa gurunya. Artinya ia tampil dengan ijtihadnya sendiri dalam fatwa-fatwanya. Hal ini terjadi pada tahun 198 H. Sejak itu ia dikenal dengan mujtahid mutlaq. Saat-saat inilah ia menyusun kitabnya yang terkenal, al-Risālah. Kitab ini dilukiskan oleh banyak ahli sebagai kitab pertama dalam bidang ushul al-fiqh. Pendapat-pendapat yang diutarakannya sampai dengan periode ini dinamakan sebagai al-qaul al-qadīm (pendapat lama, yang diperlawankan dengan pendapat­-pendapatnya sesudah itu muncul yang dinamakan al ­qaul al-jadīd, pendapat baru). Buku tersebut disusun setelah bermukim di Mesir.[18]
Ahmad Amin berkomentar bahwa ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.
Sya'ban Muhammad Isma'il mengatakan bahwa pada tahun 195 H., Imam As-Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, Imam As-Syafi’i banyak belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ray. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam As-Syafi’i dan ber­hasil dipengaruhi olehnya adalah: (a) Ahmad Ibn Hanbal; (b) al-Kara­bisi; (c) al-Za'farani; dan (d) Abu Tsaur. Setelah tinggal di Irak, As-Syafi’i melakukan perjalanan ke dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir, is bertemu dengan—dan berguru kepada—ulama Mesir yang pada umumnya adalah sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqh ulama Madinah atau ahl al-hadīth. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam As-Syafi’i mengubah beberapa penda­patnya yang kemudian disebut qaul jadīd. Qaul qadīm adalah penda­pat Imam As-Syafi’i yang bercorak ra’y; sedangkan qaul jadīd adalah pendapatnya yang bercorak hadith.[19]
Hanya saja yang perlu dicatat di sini adalah ahl al­ra'y bukan berarti menolak sama sekali pemahaman tekstual ataupun otoritas teks. Demikian pula, ahl al-hadīth bukan berarti menolak sama sekali peranan rasio dalam memahami teks agama. Pemberian nama ini ber­kenaan dengan porsi penggunaan kedua kecenderungan tersebut tersebut pada masing-masing aliran.[20]
As-Syafi’i melihat kelebihan pada masing-masing aliran tersebut sebagai kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran Hukum Islam. Oleh karenanya, aliran-aliran tersebut harus dikawinkan. Sehingga fiqh al- Shafi’i di­kenal berada di antara fiqh ahl al-hadīth dan fiqh ahl al-ra’y.[21]
Tentang persoalan al-qaul al-qadīm dan al-qaul al jadīd, sebagian ulama masih berpegang dan berfatwa pada pendapat-pendapat tertentu dari al-qaul al qadīm yang mereka anggap sahih. Mayoritas otoritas Shafi’iyah berpedoman bahwa, jika suatu pendapat dari al-qaul al-qadīm didukung oleh hadith yang sahih, sedangkan pada al-qaul al jadīd hanya didukung oleh hasil qiyās (pada hal yang sama), maka al-qaul al qadīmlah yang harus dipakai. Hal ini sesuai dengan prinsip As-Syafi’i “kalau suatu hadith telah sahih, maka adalah mazhabku".
Apabila suatu pendapat al-qaul al-qadīm tidak didukung oleh hadith sebagaimana tersebut di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat itu boleh dipilih melalui otoritas mujtahid fi al-mazhab. Pendapat ini muncul berdasarkan alasan bahwa jika seorang imam yang mempunyai pendapat baru, dimana pendapat baru tersebut berbeda dengan pendapat lama, maka ia tidak boleh dianggap telah mencabut pendapat yang lama. Tetapi, imam tersebut harus dianggap bahwa pada masa­lah yang sama ia mempunyai pendapat yang berbeda. Sementara itu, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa mujtahid fi al-mazhab tidak boleh memilih al qadīm dengan alasan bahwa itu adalah mazhab As-Syafi’i, sebab al-qadīm dan al jadīd berlaku sebagai dua diktum yang bertentangan yang tidak mungkin dikom­promikan, sehingga pendapat yang harus dipakai adalah pendapat yang terbaru. Hal ini sesuai dengan maklumat yang dikeluarkan oleh As-Syafi’i sendiri ketika ia men­cabut al-qadīm.[22]
Terlepas dari pernyataan As-Syafi’i di atas, sebenarnya sebagian ulama Syafi’iyah melakukan tarjih ulang dan ternyata ada beberapa masalah yang dinilai lebih kuat pendapat lama daripada pendapat baru. Bila pendapat lama dinilai lebih kuat sandaran hadithnya, maka pendapat lama yang dipakai, bukannya pendapat baru. Satu contoh dari pentarjihan yang demikian adalah pendapat tentang pengakhiran waktu shalat isya’. Dalam qaul qadīm, al-Syafi’í berfatwa bahwa sholat isya’ sebaiknya dilakukan di awal waktu. Sedangkan dalam qaul qadīm, beliau berfatwa bahwa shalat isya’ di akhir waktu lebih utama. [23]
Tentang pendapat-pendapat qaul qadīm yang lebih diunggulkan oleh ulama Shafi’iyah daripada  qaul jadīd, sebagian ulama menyebutkan ada sekitar dua puluh masalah, namun sebenarnya terdapat lebih dari itu. Tentang perincian pendapat-pendapat yang dikecualikan ini dapat dibaca selengkapnya dalam al-Majmu’, karya fundamental al-Nawāwy, sang mujtahid Mazhab Syafi’i yang paling diakui.[24]
E.       Implikasi Teori As-Syafi’i dalam Fenomena Sosial
1.   Implikasi Teori Tentang Ilmu
Menurut Imam Syafi’i, Semua ilmu selain Ilmu Al-Qur'an adalah pengisi kesibukan, kecuali Ilmu Hadis, Fiqh,dan ilmu-ilmu agama lainnya ''Ilmu adalah apa-yang di terima melalui mata rantai sang guru. dan di luar itu adalah merupakan bisikan setan.[25]
Pandainya seseorang itu kerana ia belajar dan menuntut. Kerana ada guru memberitahu kepadanya, yang mendidik dan memberi panduan kepadanya. Tanpa guru mustahil dia menjadi pandai. Rasulullah S.A.W., manusia yang dipilih dan diistimewakan Allah pun ada gurunya. Baginda berguru dengan Jibrail a.s. di Gua Hira. Jibraillah yang bertindak menjadi guru, mengajar, dan membimbing Nabi Muhammad S.A.W.
Demikian juga dengan para Nabi dan Rasul-rasul lain, mereka juga mempunyai guru atau sumber perantaraan masing-masing untuk menerima ilmu dan wahyu dari Allah. Misalnya Nabi Musa A.S. yang berguru kepada Nabi Khidir A.S., sehingga Nabi Musa mengerti segala seluk-beluk tentang perguruan dan ilmu.[26]
Ilmu seperti sebuah syarat mutlak yang harus dimiliki di dalam kehidupan ini. Cara seseorang berpikir, bertindak, menyelesaikan masalah atau bahkan bergaul pun tergantung dari bagaimana kapasitas kepahaman dan keilmuannya. Seseorang yang memiliki ilmu dan pemahaman yang baik tentang sejarah tentu bakal berbeda cara pandangnya terhadap sebuah permasalahan.
Seorang yang menguasai ilmu fiqh tentu akan berbeda prilakunya dengan yang tidak menguasai. Seorang yang memahami kaidah-kaidah dalam dakwah, tentu akan tahu bagaimana seharusnya ia menempatkan diri di masing-masing komunitas dibanding yang tidak. Bagaimanapun, ilmu adalah sesuatu yang harus dimiliki seorang di dunia ini karena mustahil kita bisa hidup tanpa ilmu. Dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, semua dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik melalui ilmu. Oleh sebab itu, benar apa kata Imam al-Syafi’i, bahwa ilmu adalah kebaikan di dunia dan akhirat.[27]
Generasi terdahulu telah memberikan teladan yang baik. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa selama manusia masih bisa mencari ilmu, maka ia harus terus melakukannya.
Muhammad bin Ishaq telah mengambil ilmu dari 1700 orang guru. Ia pergi menuntut ilmu dalam usia 20 tahun dan pulang dalam usia 40 tahun. Sedangkan Imam Bukhari mengambil ilmu lebih dari 1000 orang Syaikh.
Ada sebuah kisah mengharukan tentang semangat menuntut ilmu. Menjelang wafatnya Ibnu Jarir Atthabari mendengar do’a yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad. Ia kemudia meminta orang yang ada di sekitarnya untuk mengambilkan pena dan kertas. Orang-orang pun berkata kepadanya, “Kondisimu sudah seperti ini, tidak usahlah melakukannya.” Atthabari kemudian menjawab, “Tidak semestinya seseorang meninggalkan datangnya ilmu meskipun sampai mati”. Beberapa saat kemudian beliau pun wafat.[28]
Agama Islam tidak akan memperoleh tempat yang mantap kecuali di kalangan manusia yang berilmu pengetahuan matang dan manusia berakal cerdas. Bila kita memperhatikan masalah shalat, tentu kita akan menemukan kenyataan bahwa baik shalatnya itu sendiri maupun adzan sebelumnya, dua-duanya merupakan amal perbuatan yang rasional. Adzan adalah kalimat-kalimat yang mengetuk pikiran serta membangkitkan hati dan perasaan, yaitu mengagungkan Allah (takbir), pernyataan kesaksian atas keesaan Allah (tauhid), dan ajakan untuk meraih keberuntungan. Dalam Islam aba-aba dimulainya shalat bukan dengan membunyikan lonceng yang dentangan suaranya memenuhi angkasa dan hanya mengetuk perasaan tanpa kata-kata yang jelas. Dalam shalat dibaca ayat-ayat yang diambil dari kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran kebajikan dan petunjuk-petunjuk yang dapat dicerna oleh akal pikiran.
Muhammad Al-Ghazali menegaskan, memang benar bahwa kemantapan seseorang dalam menghayati agama Islam banyak tergantung pada tingkat kecerdasan pikirannya, kebersihan hatinya dan kelurusan fitrahnya. Tidak mungkin orang pandir atau orang yang tidak sehat jiwanya akan mudah begitu saja memeluk Islam. [29]
2.   Implikasi Teori Tentang Fikih
Berikut merupakan contoh pengaplikasian qaul qadīm dan qaul jadid dalam beberapa konteks hal:
a.     Dalam qaul jadīd, orang yang ihram tanpa menentukan pilihan antara haji atau umrah tidak dapat memilih antara haji atau umrah, tetapi harus melaksanakan haji dengan utuh. Dalam qaul qadīm, orang yang bersangkutan disunahkan melakukan niat qirān karena mencakup keseluruhan. [30]
b.    Dalam qaul qadīm, orang yang tidur dalam posisi duduk tidak batal wudlunya secara mutlak. Dalam qaul jadīd masih dibedakan antara duduk yang posisinya tetap dan tidak tetap. Bila tetap posisinya, maka tidak batal, dan bila berubah, maka batal. [31]
c.     Tentang arti kalimat ذلك لمن لم يكن أهله حاضري المسجد الحرام , menurut qaul qadīm, arti dari حاضري المسجد الحرام adalah orang-orang Makkah yang bertempat tinggal selain di miqāt. Menurut qaul jadīd, artinya adalah orang jarak tempuhnya dari rumahnya ke Makkah sepanjang jarak dibolehkannya qasar shalat. [32]
d.    Orang yang sengaja menggauli isterinya yang sedang haidl harus membayar kafarat/denda dalam qaul qadīm. Sedangkan dalam qaul jadīd tidak wajib. Alasan perubahannya karena masalah kesahihan hadith. [33]
e.     Dalam qaul qadīm, waktu maghrib adalah sampai hilangnya mega merah sebagaimana biasa kita kenal. Sedangkan dalam qaul jadīd, maghrib tidak mempunyai waktu yang khusus kecuali sekedar cukup melakukan shalat dan persiapannya.[34]
f.     Dalam qaul qadīm, zakat tidak perlu menghiraukan nisab, tetapi dalam qaul jadīd, nisab zakat adalah salah satu pertimbangan wajib tidaknya zakat.[35]
Qaul yang diralat oleh imam As-Syafi’i sebagaimana dalam contoh di atas kebanyakan bersifat teknis fiqh seperti masalah wudū’, istinja’, zakat, puasa dan sebagainya dan tidak berhubungan dengan masalah sosial. Kebanyakan ralat pendapat tersebut karena ditemukannya hadith baru atau adakalanya karena beliau berubah pikiran saja.
Dalam hal orang ihram yang tidak menentukan niat tersebut misalnya, perubahan pendapat As-Syafi’i bisa saja tetap terjadi tak peduli di mana beliau tinggal. Dalam kasus tersebut, kesemuanya karena kecenderungan qiyās belaka. Dalam qaul qadīm kasus orang tersebut diqiyāskan pada lupa menentukan arah kiblat dan dalam qaul jadīd diqiyāskan pada lupa jumlah rakaat shalat.[36]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Nama lengkap Imam As-Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris al-'Abbas Ibn Utsman Ibn Shafi’i Ibn al-Sa'ib Ibn `Ubaid Ibn `Abd Yazid fbn Hasyim Ibn `Abd al-Muthalib Ibn `Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah dan dibesarkan di Asqalan. Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun.
Imam Syafi’i dalam pengembaraannya mencari ilmu, beliau singgah di beberapa daerah, diantaranya Makkah, Madinah, Yaman, Irak, dan Mesir.
Karya-karya Imam As-Syafi’i antara lain sebagai berikut:
1.        Kitab Ar Risalah
2.        Kitab Al Umm
3.        Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’i”
4.        Kitab al-Musnad
5.        Al-Imla
6.        Al-Amaliy
7.        Al-Hujjah
8.        Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
9.        Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
10.    Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)
11.    Kitab Ikhtilaf al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-hadis Nabi Saw).
Menurut al-Syafii, setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadits maksudnya adalah ilmu agama, ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Karena ilmu-ilmu tersebut memiliki banyak keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat. Sekalipun demikian, kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitektur, pertanian, perekonomian, dan sebagainya; Apabila ilmu-ilmu dunia tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka jelek.
Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur da­lam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut ditentukan de­ngan qiyās. Ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.

DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Sirajuddin. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. 2001.

Ad z-Dzahabi , Imam. Tahdzib Siyar A'lam An-nubala 2/734.

al-Salam, Ahmad Nahrawi `Abd, al-Imam al-As-Syafi’i fi Madzhabaih fi al-Qa­dim wa al-Jadid, Kairo: Dar al-Kutub, 1994.

Bisyri, Mohammad Hasan, “Pengaruh Faktor Sosio–Kultural Terhadap Metode Istinbat Al-Shafi`I Menjadi Qawl Qadim Dan Qawl Jadid”, Antologi Kajian Islam, seri 1.

Chalil,. Moenawar . Biografi empat serangkai imam madzhab. Jakarta: N.V Bulan- Bintang. 1965.

Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, tt, IV.

Hamid Abu Zayd, Nasr . Imam Syafi’i; Moderatisme, Elektisisme, Arabisme. Yogyakarta: LKiS. 1997.

Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979.
Khallaf, Abdul Wahab, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Muhammad bin Idris al-As-Syafi’i, al-Um, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973.

Saleh, Abdul Mun’in, Mazhab As-Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.

Wahab Khallaf, Abdul . Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’, Beirut; Dar al-Fikr, tt.

_______________, Sharh al-Nawāwy ‘ala Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ Turath al ‘Araby, 1392 H, III,



[1]Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i; Moderatisme, Elektisisme, Arabisme (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 3.
[2] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972), h. 33.
[3] Abdul Mun’in Saleh, Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 8.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 97.
[5] Mohammad Hasan Bisyri, “Pengaruh Faktor Sosio–Kultural Terhadap Metode Istinbat Al-Shafi`I Menjadi Qawl Qadim Dan Qawl Jadid”, Antologi Kajian Islam, seri 1, 155.
[6] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002),  28.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 97-98.
[8] Ibid, 97-98.
[9] Ahmad Nahrawi `Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi'i fi Madzhabaih fi al-Qa­dim wa al-Jadid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), 90.
[10] Saleh, 30-31.
[11] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’, (Beirut; Dar al-Fikr, tt) I, 12.
[12] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’ Juz I, (Beirut; Dar al-Fikr, tt), h, 12.
[13] Muhammad Ma’sum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzhab (Jombang: Darul Hikmah, 2008), h. 172.
[14] Moenawar Chalil, Biography Empat Serangkai Imam Madzhab (Jakarta: N.V Bulan- Bintang, 1965), h. 216.
[15]Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab (Jakarta: Amzah, 2008), h. 97-99.
[16] Dalam buku “Bekal bagi Penuntut Ilmu” karya Abdullah bin Shalfiq Adh-Dhafiri terbitan Maktabah Al Ghuroba dan Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu karya Abu Anas Majid Al Bankani terbitan Darul Falah.
[17] Mubarok, , 33
[18] Saleh, 12.
[19] Mubarok, 9.
[20] Saleh, 14.
[21] Ibid., 15.
[22] Ibid, 22.
[23] Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979 H), II, 49.
[24] al-Nawāwy, al-Majmū’, I, 66-67.
[25]Imam Ad z-Dzahabi ,Tahdzib Siyar A'lam An-nubala 2/734.
[26]Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii (Jakarta: Pustaka Tarbiyah), h. 102-103.
[27]Moenawar Chalil,.Biografi empat serangkai imam madzhab (Jakarta: N.V Bulan- Bintang, 1965), h. 151
[28]Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 97.
[29]Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i; Moderatisme, Elektisisme, Arabisme (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 110.
[30] Mubarok, 220.
[31] al-Asqālany, I, 314.
[32] Ibid., III, 434.
[33] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, Sharh al-Nawāwy ‘ala Sahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turath al ‘Araby), 1392 H, III, 204.
[34] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Um, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), I, 73-74.
[35] al-Nawāwy, al-Majmū’, I, 67.
[36] Mubarok, 220.
Copyright 2009 Neng Ingin Berbagi. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates