BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara tentang Alqur’an memang bagai lautan yang
tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek
manapun al-qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan
semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang
terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan
pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah dalam pengertian
yang luas, bukan hanya sekedar melafalkan huruf Arab dengan lancar, akan tetapi
juga merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik
oleh kalangan santri maupun kaum terpelajar umumnya. Antusiasme para “santri”
dalam mempelajari dan mencari dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis
ataupun dari pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat
mentashihkan bacaan atau mencari jawaban tentang apa dan mengapa ada
bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib (kifayah) dipelajari
bagi kaum muslimin. Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat
untuk mengkaji aspek bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi
kebanyakan orang sebagaimana semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat
pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai
tentang bacaan al-Qur’an, bagi kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit
dengan ilmu tajwid) dianggap hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum
nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, lalu mereka membaca al-Qur’an apa
adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm , padahal
banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti
bacaan imalah, tashil, isymam dan lain sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Gharaib al-Qur’an?
2.
Apa saja bacaan Gharib
dalam al-Qur’an?
3.
Bagaimana cara menafsirkan
ayat-ayat yang Gharib?
4.
Apa faedah mengetahui Gharaib
al-Qur’an?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian Gharaib
al-Qur’an.
2.
Untuk mengetahui macam-macam bacaan
Gharib dalam al-Qur’an.
3.
Untuk mengetahui cara
menafsirkan ayat-ayat yang Gharib.
4.
Untuk mengetahui faedah mengetahui
Gharaib al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gharaib
al-Qur’an
Lafadz gharaib
berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadz gharibah yang
berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya. Sedangkan menurut istilah Ulama qurra’,
gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya
pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti
maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan
al qur’an maka yang dimaksud dengan Gharaib al-Qur’an adalah ayat-ayat
al qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti
maknanya, seperti lafadz أَبَّا
dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa (وَفَاكِهَةً
وَّ أَبَّا).[1]
Banyak lafadz dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya.
Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai
dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah
bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang
mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya
sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf
yang kita terima ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya
oleh khalifah Usman.[2]
Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada
masa Nabi SAW. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas, sesungguhnya Umar bin
Khottob RA. membaca ayat وَفَاكِهَةً وَّ
أَبَّا diatas mimbar,
lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui, sedang
apa yang dimaksud dengan al abba?” lalu beliau berfikir, kemudian
beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal ini terlalu
berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak mengetahui makna dari kata “al abba”,
padahal beliau adalah orang arab yang ahli dalam bidang sastra arab dan yang
memiliki bahasa yang paling fasih serta al qur’an diturunkan kepada manusia
dengan menggunakan bahasanya.
Dari peristiwa di atas dapat diketahui bahwa gharaib
al qur’an bukanlah hal yang baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit
dipahami secara langsung, bahkan ulama’ tedahulu tidak mau memberi makna
apalagi menafsiri ayat yang sulit dipahami. Mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya
dan tidak berpendapat sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti
ungkapannya shahabat Abu Bakar RA. saat ditanya tentang firman Allah yang
berbunyi وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا , beliau berkata “ di langit
mana aku berteduh dan di bumi mana aku tinggal, jika aku berkata sesuatu di
dalam al qur’an yang aku tidak mengetahuinya”.[3]
Menurut Abu Sulaiman al-Khotthobi : Gharib al
qur’an adalah suatu hal yang samar dan jauh dari kepahaman. Beliau membagi gharib
al qur’an menjadi dua, yang pertama adalah hal yang jauh makananya serta
samar, yang hanya dapat dipahami setelah melalui proses pemikiran yang mendalam.
Sedangkan yang kedua adalah perkataan seseorang yang rumahnya jauh dari kabilah
arab sehingga jika kalimat tersebut diungkapkan kepada kita (orang arab) maka
otomatis kita langsung menganggapnya aneh.
Sedangkan menurut Muchotob Hamzah Gharib al
qur'an adalah Ilmu al-qur’an yang membahas mengenai arti kata dari
kata-kata yang ganjil dalam al-qur’an yang tidak biasa digunakan dalam
percakapan sehari-hari.[4]
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Gharib al-qur’an adalah ilmu yang membahas suatu makna kata dari ayat al-qur’an
yang dianggap aneh (tidak cocok) dan sulit dipahami.
B.
Macam-macam Bacaan Gharib
dalam al-Qur’an
Di dalam al-qur’an
banyak dijumpai bacaan gharib, diantara macam-macamnya adalah sebagai berikut:
1.
Saktah
Saktah
menurut bahasa artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah,
saktah yaitu berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas dengan
niat melanjutkan bacaan. Di dalam Al-Qur'an ada 4 bacaan saktah, yaitu: (1)
Surat al-Kahfi: ayat 1-2, (2) Surat Yasin: ayat 52, (3) Surat al-Qiyamah: ayat
27, dan (4) Surat al-Muthaffifin: ayat 14.[5]
Berikut ini contoh-contoh bacaan saktah dalam sebuah ayat yang lengkap:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (1) قَيِّمًا
لِيُنْذِرَ
قَالُوا يَا وَيْلَنَا
مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ
الْمُرْسَلُونَ (52)
وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ
(27)
كَلاَّ بَلْ رَانَ
عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (14)
Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi
kebahasaan susunan kalimatnya sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’
membaca waqaf pada lafadz عِوَجًا,
sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila
dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz قَيِّمَا sehingga arti kalimatnya menjadi
rancu atau kurang sempurna.
Lafadz قَيِّمَا bukanlah menjadi sifat/na’at
dari lafadz عِوَجًا,
melainkan menjadi hal atau maf’ul bihnya lafadz lafadz عِوَجًا. Apabila lafadz قَيِّمَا menjadi na’atnya lafadz عِوَجًا akan mempunyai arti : “Allah
tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”.
Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi : “Allah
tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya
sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata قَيِّمًا dinashabkan sebagai hal
(penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata
tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” جَعَلَهُ “. Berbeda juga
dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قَيِّمًا itu badal mufrad dari badal
jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “.
Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قَيِّمًا, sebagaimana juga tidak
dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan
pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama
kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam
kalimat: مِنْ مَرْقَدِنَا سكتة هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy lafadz
هٰذَا itu mubtada’ dan khabarnya
adalah lafadz مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat
Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadzهٰذَا itu na’at
dari مَرْقَدِ,
sedangkan مَا sebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz حق atau هٰذَا. Dari segi
makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat. Pertama,
orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan
dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat
tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini
pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama
benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan
malaikat dan orang kafir.
Adapun lafadz مَنْ dalam QS. Al-Qiyamah: 27
pada kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan lafadz بَلْ dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada
kalimat بَلْ سكتة رَانَ adalah
untuk menjelaskan fungsi مَنْ sebagai
kata tanya dan fungsi بَلْ sebagai penegas dan
juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam
dan nun bertemu dengan ra’ seharusnya dibaca idgham, namun
karena lafadz مَنْ dan بَلْ dalam kalimat مَنْ سكتة
رَاقٍ dan بَلْ سكتة
رَانَ mempunyai makna yang berbeda, maka
perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf saktah.[6]
2.
Imalah
Imalah artinya
memiringkan bunyi fathah pada kasroh, dan dari huruf alif ke ya’ (Kecenderungan
fathah kepada kasrah sehingga seolah-olah dibaca re).
Imalah hanya terdapat 1 lafadz dalam Al-Qur'an, yakni surat Huud ayat 41, Juz
12.[7]
وَقَالَ ارْكَبُوا فِيهَا
بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
(41)
Sebab-sebab
di-Imalahkannya lafadz “مَجْرٰىهَا” diantaranya
adalah untuk membedakan antara lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya
berjalan di darat dengan lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya
berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan bahwa lafadz “مَجْرٰىهَا” berasal dari
lafadz “جَرٰى” yang artinya berjalan atau mengalir dan lafadz tersebut dapat
dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun berjalan di atas lautan
(air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut (air) tidak stabil
seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil dan besar atau
terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “مَجْرٰىهَا” tersebut di-Imalahkan.[8]
3.
Isymam
Isymam yaitu
isyarah dlommah di tengah-tengah dengung. Isymam di dalam Al-Qur'an hanya ada
1, yaitu di surat Yusuf ayat 11, Juz 12.[9]
قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ
وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ (11)
yaitu
pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti halnya mengucapkan
lafadz “لَا تَأْمَنُنَا” sehingga hampir
tidak ada perubahan bunyi antara mengucapkan lafadz “لَا
تَأْمَنَّا”
dengan mengucapkan “لَا تَأْمَنُنَا”. Dengan kata
lain, asal dari lafadz “لَا تَأْمَنَّا” adalah lafadz “لَا
تَأْمَنُنَا”.
Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya menulis satu nun
yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana letak dammahnya? Sehingga untuk
mempertemukan kedua lafadz tersebut dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan
mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir mengikuti lafadz asal.[10]
4.
Badal (Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya mengganti,
mengubah, sedangkan maksud badal disini adalah mengganti huruf hijaiyah
satu dengan huruf hijaiyah lainnya.[11]
Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim
riwayat Hafs yaitu[12] :
a.
Badal ء dengan ي (فِي
السَّمٰوٰتِ ائْتُوْنِيْ)
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’,
sebagian besar imam qira’ah sepakat mengganti hamzah qatha’ yang
tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal dengan alif
layyinah (ى). Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4.
أَمْ
لَهُمْ شِرْكٌۭ
فِى ٱلسَّمٰوٰتِ ۖ
ٱئْتُونِى بِكِتَٰبٍۢ
Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’
membaca waqaf pada lafadz ( فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ ۖ) maka huruf ta’ mati dan hamzah
mati diganti ya’ (فِى ٱلسَّمٰوٰتْ ۖ
اِيْتُونِى ) sedangkan apabila
dibaca washal tidak ada perubahan.
b.
Badal ص dengan
س (وَيَبْصُۜطُ dan بَصْۜطَةً )
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam
qira’ah termasuk Imam Ashim mengganti ص dengan س pada lafadz وَيَبْصُۜطُ
dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz بَصْۜطَةً
dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab
digantinya huruf shad dengan siin pada kedua lafadz tersebut
karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu بَسَطَ
– يَبْسُطُ.
Sedangkan pada lafadz بِمُصَيْطِرٍ
dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ص tetap dibaca shad karena sesuai dengan
tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan menyesuaikan sifat ithbaq
dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
Adapun pada lafadz ٱلْمُصَۣيْطِرُونَ dalam QS. At-Thur : 37, huruf ص boleh tetap dibaca
shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada
asal lafadznya, yaitu سَيْطَرَ – يُسَيْطِرُ , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq
dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.[13]
5.
Ba’ di idgham ke Mim
Yaitu huruf Ba’
Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim
tersebut. Dalam ilmu tajwid, bacaan ini termasuk bacaan Idgham Mutaqoribain. Di
dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di surat Huud ayat 42 Juz 12.[14]
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي
مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ
ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ (42)
6.
Naql
Naql menurut bahasa
berasal dari lafadz نَقَلَ – يَنْقِلُ –
نَقْلًا yang artinya memindah, sedangkan
menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Yaitu lam
alif (لا)
dibaca kasroh
lam-nya , sedangkan kata ismun (اِسْمٌ) hamzah-nya
tidak dibaca. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs ada satu bacaan naql yaitu lafadz بِئْسَ
الْاِسْمُ dalam surat al-Hujuraat
ayat 11 Juz 26.
وَلا تَنَابَزُوا
بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ (11)
Alasan
dibaca naql pada lafadz الْاِسْمُ adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu
yang mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila
disambung dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk
memudahkan dalam mengucapkannya atau membacanya.[15]
7.
Tiga model bacaan
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena
washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut adalah :
a.
Bila washal, Ra’-nya dibaca
pendek keduanya.
b.
Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’
dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.
c.
Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’
kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua dibaca sukun
(mati).
3 (tiga) buah
model bacaan asing ini hanya terdapat dalam surat al-Insaan ayat 15-16. [16]
وَيُطَافُ عَلَيْهِمْ بِآنِيَةٍ مِنْ فِضَّةٍ وَأَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيرَا
(15) قَوَارِيرَ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوهَا تَقْدِيرًا (16)
8.
Tashiil
Tashil artinya lunak, yakni hamzah
pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca
tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam Al-Qur'an
hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44:[17]
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلا فُصِّلَتْ
آيَاتُهُ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ (44)
Alasan
lafadz ءَاَعْجَمِىٌّ dibaca tashil,
karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu dan berurutan pada satu
lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat melafadzkannya, sehingga lafadz
tersebut bisa ditashilkan (diringankan).[18]
C.
Cara Menafsirkan
Ayat-ayat yang Gharib
Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit,
khususnya setelah Nabi SAW. wafat, sebab saat beliau masih hidup semua
permasalahan yang timbul langsung ditanyakan kepadanya. Tentu tidak semua persoalan
sosial dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena
umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua
pusaka yang sangat ampuh dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang berpedoman kepada keduanya
niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
تـَرَكـْتُ
فِـيْكُـمْ شَـيْـئَـيْـنِ لَنْ تـَضِـلُّـوْا بـَعْـدَهُـمَا كِـتـَابَ اللهِ وَ
سُـنَّـتِى (رواه الحكم)
“Aku
meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat
setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.
Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera
pada surat al Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (59)
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits
boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa
memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus
yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’
dalam memahami gharib al qur’an, - dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”
oleh sebagian ulama - adalah sebagi berikut :
1.
Menafsirkan al qur’an
dengan al qur’an
Contoh Surat al
An’am ayat 82
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)
Kata ظلم dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa
membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir
tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan
dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya
tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah,
lalu Rasul menafsirkan kata dzulm dengan syirk berdasarkan pada
surat Luqman ayat 13:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
“Dan (Ingatlah)
ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dari penjelasan Nabi di atas dapat diketahui bahwa
kata dzulm dalam surat al An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman
biasa, dengan penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan berdasarkan
penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai
berikut: “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.[19]
2.
Menafsirkan al qur’an dengan
sunnah rasul
As-Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al
qur’an telah menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari
Allah. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:
أَلاَ إنِّي أُوْتِيْتُ القُرآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ يَعْنِي السُنَّةَ
“Ketahuilah
bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa
dengannya” yaitu sunnah.[20]
3.
Jika tidak ditemukan di
dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) shahabat.
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya
dikarenakan mereka telah berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum
air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya,
mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an,
mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal
memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. bahkan menjadikan
mereka mampu menemukan rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding
siapapun orangnya.[21]
4.
Jika masih belum didapati
pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.
Diantara tabi’un ada yang menerima seluruh penafsiran dari
sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbath
(penyimpulan) dan Istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang
harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih.[22]
5.
Melalui sya’ir
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara
yang kelima ini dalam menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita
melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu
Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan
tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al
qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.
Syair-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al
qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf
asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam surat az Zukhruf ayat
3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al-qur’an dalam bahasa arab”.
Syair-syair itu sebagai perbendaharaan bangsa arab.
Jika salah satu huruf dalam al qur’an tidak diketahui dalam bahsa arab
maka dikembalikan pada perbendaharaan mereka (bangsa arab), dan dicari
maknanya.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku
tentang sebuah kata asing di dalam al qur’an maka carilah maknanya pada
syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.
Contoh: ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di
halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh sekelompok kaum dan bertanya
kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya mereka bertanya tentang
tafsir ayat وابتغو اليه الوسيلة
yang ada pada surat al Maidah ayat 35. Kata الوسيلة diartikan oleh Ibnu Abbas dengan
“kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan oleh
Antarah yang berbunyi[23]:
ان الرجال
لهم اليك وسيلة ان يأخذوك تكحاي و
تخضبي
Sesungguhnya
para laki-laki itu membutuhkanmu
Jika mereka
hendak mengambilmu
Maka pakailah
celak dan semir
D.
Faedah Mengetahui Gharaib
al-Qur’an
Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan
mempelajari ayat-ayat yang gharibat antara lain sebagai berikut:
1.
Mengundang tumbuhnya penalaran
ilmiah. Artinya, mempelajari ayat-ayat yang sulit dalam pemahamannya itu akan
melahirkan berbagai upaya guna memahaminya.
2.
Mengambil perhatian umat. Dengan
diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat Alqur’an, maka terasa mendalam ketinggian
bahasa yang dibawa oleh Alqur’an.
3.
Memperoleh keyakinan eksistensi
Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam
ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dari ayat
tersebut.[24]
[1]Nashruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 267.
[2]Abdul
Majid Khan, Praktikum Qira’at (Jakarta: Amzah, 2008), h. 100.
[3]Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al
Itqon fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar dan Imam
Fauzi Ja’iz dengan judul Samudra Ulumul Qur’an {Al-Itqan fi Ulumil Qur’an}
(Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2006), h. 2.
[4]Muchotob
Hamzah, Studi Al-Qur'an Komprehensif (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h.
167.
[5]Koordinator
Kecamatan Purwosari, Pegangan Guru TPQ Metode Qiraati (Pasuruan: Perc.
Plassa 9 Tejowangi, 2005), h. 10.
[6]Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut : Dar
al-Ma’rifah, t.t.), h. 17-19.
[7]Koordinator
Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 7.
[8]Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 20.
[9]Koordinator
Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 8.
[10]Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 21.
[11]Koordinator
Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 4.
[12]Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 23-25.
[13]Ulin
Nuha Arwani, dkk., Thoriqoh Baca Tulis dan Menghafal al-Qur’an (Kudus:
BAPENU Arwaniyyah, 2010), h. 42-44.
[14]Ibid.,
h. 38.
[15]Ibid.,
h. 29-30.
[16]Koordinator
Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 14.
[17]Ibid.,
h. 12.
[18]Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 28.
[19]Nashruddin
Baidan, Wawasan, h. 270.
[20]Manna
Khalil al Qattan, Mabahitsi fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir
AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera Antar
Nusa, 1992), h. 458.
[21]Ali
as Shabuni, Al Tibyaan fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad
Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta:
Pustaka Amani, 2001), h. 105.
[22]Manna
Khalil al Qattan, Mabahitsi, h. 459.
[23]Al-Syatiby,
Al-Muwafaqat
(Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 18-20.
[24]Nasruddin
Baidan, Wawasan, h. 270-271.
1 komentar:
thanks a lot my sist
Posting Komentar