BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat
berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam
merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip
ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh
pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi
persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah
dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang
mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan
al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk
hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui
penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari
tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubaligh ini akan
selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy.
Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para
pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan
tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Dawud al-Dzahiri, yang biasa dikenal
oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan
sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial,
budaya serta politik pada masa mereka dan juga tentang istinbat-istinbat hukum
yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Imam
Ahmad bin Hanbal?
2.
Bagaimana karakteristik
pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.
Bagaimana biografi Imam
Dawud al-Dzahiri?
4.
Bagaimana karakteristik
pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui biografi
Imam Ahmad bin Hanbal?
2.
Untuk mengetahui
karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.
Untuk mengetahui biografi
Imam Dawud al-Dzahiri?
4.
Untuk mengetahui
karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Imam Ahmad bin Hanbal
1.
Kelahiran Imam Ahmad
bin Hanbal
Imam Ahmad adalah
tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-Mawarzi. Kelahiran Baghdad tahun 164 H dan
meninggal pada tahun 241 H di Baghdad. Kedua orang tuanya keturunan Arab dari
kabilah Syaiban, ia berjumpa nasab dengan Nabi saw. pada Nazar.[1]
Imam Ahmad hidup di
Baghdad yang merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan nomor satu pada
saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu pengetahuan. Sejak kecil Imam Ahmad
menghafal al-Qur’an, belajar Bahasa Arab, hadits, dan Sejarah. Ketika beranjak
dewasa, Imam ahmad memilih untuk menekuni ilmu hadits yang menuntutnya untuk
mengembara ke berbagai kota untuk mencari hadits. Dalam pengemabaraannya, Imam
Ahmad juga mengkaji Fiqih. Karenanya ia dapat memadukan hadits dan fiqih
sekaligus.[2]
Sebagai pecinta
hadits, Imam Ahmad harus rela untuk mengembara ke berbagai kota, sebab para
ulama’ hadits telah terpencar ke kota-kota. Ia mulai mencari hadits ke Baghdad
selama tujuh tahun, pada tahun berikutnya ke Hijaz, kemudian ke Basrah, Kufah,
dan Yaman.[3]
Pengembaraan
mencari hadits tersebut dalam rangka bertemu dengan para perawi hadits yang
masih hidup. Ia pergi ke Basrah lima kali dan ke Hijaz lima kali juga. Pada
saat itu, ia bertemu dengan Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Makkah. Kemudian ia
bertemu lagi dengannya di Baghdad ketika Imam Syafi’i menyebarkan madzhabnya. Pertemuannya
dengan Imam Syafi’i yang mementahkan fiqih rasional memberikan pengaruh pada
pemikiran Imam Ahmad. Ia pun mengembangkan fiqih tradisional dengan lebih
banyak mempergunakan al-Sunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa.
Imam Ahmad hidup
amat sederhana, tidak mempunyai mata pencaharian tetap sebagaimana Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik. Sumber keuangan yang sering mendatangkan hasil baginya
adalah warisan rumah dan tanah serta peralatan penyulaman yang sering
disewakan. Seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan analisis terhadap
hadits-hadits Nabi, ia juga menyusun hadits berdasarkan sistematika sanad,
sehingga lahir karya besarnya “Musnad Ahmad bi hanbal”. Karya ini
ditulis dengan bantuan murid-muridnya, terutama Abdullah, putranya sendiri.[4]
Namun perlu dicatat
bahwa yang dicari dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad bukan sekedar hadits-hadits
Nabi, tetapi juga fatwa dan putusna hukum sahabat, serta fatwa dan putusan
hukum murid sahabat Nabi. Riwayat-riwayat tersebut disamping merupakan sunnah
juga fiqih yang sangat mendalam. Oleh karena itu, riwayat-riwayat Imam Ahmad
tidak terlepas dari fiqih dan fatwa. Bagaimanapun juga ia telah belajar fiqih
rasionalis kepada Imam Abu Yusuf yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada
pemikiran hukumnya. Pemikirannya semakin matang ketika ia berguru kepada Imam
Syafi’i di Makkah dan Baghdad. Dengan keterpaduan hadits dan fiqih dalam diri
Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia dipandang sebagai ahli ijtihad , ahli hadits,
bahkan ahli ilmu kalam, mengingat ia dianggap sebagai pendiri aliran salaf.[5]
2.
Guru dan Murid Imam
Ahmad bin Hanbal
Diantara guru-guru
Imam Ahmad bin Hanbal adalah (1) Abu Yusuf, (2) Muhammad bin idris al-Syafi’i,
(3) Hasyim, (4) Ibrahim bin Sa’ad, (5) Sufyan bin ‘Uyainah.
Ahmad bin hanbal
mempunyai beberapa murid yang meneruskan dan mengembangkan ajarannya,
diantaranya:
a.
Shalih bin Ahmad bin Hanbal
(anak Ahmad bin Hanbal), w. 266 H.
b.
Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal (anak Ahmad bin hanbal), w. 290 H.
c.
Ahmad bin Muhammad bin Hani
Abu Bakr al-Atsrami (salah seorang teman Ahmad bin Hanbal), w. 261 H.
d.
Abd al-Malik bin Abd
al-Hamid bin Mahran al-Maimanui (salah seorang sahabat Ahmad bin Hanbal), w.
271 H.
e.
Ahmad bin Muhammad bin
al-Hajaj atau lebih dikenal dengan Abu Bakar al-Mawardzi, w. 275 H.
Karya Imam Ahmad
yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits
yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadits pada umur 16
tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya. Imam Ahmad memang tidak suka
mencatat dan menulis, kecuali menulis hadits nabi. Al-Musnad yang ditulis
sepanjang hidupnya berserakan di berbagai bahan.
Pada saat merasa
ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan anak-anak dan murid pilihannya. Ia
mendiktekan kepada mereka hadits-hadits yang dicatatnya hingga menjadi sebuah
kumpulan catatan hadits, namun belum tersusun secara sistematis. Karena itu,
penyusun al-Musnad yang diterima hingga saat ini adalah putera Imam Ahmad bin
Hanbal, Abdullah bin Ahmad.[7]
3.
Pemikiran Hukum Islam
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Sebenarnya
sebelum umur tersebut ia sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan
hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip bahwa ia tidak akan meriwayatkan
hadits atau berfatwa ketika gurunya masih hidup. Oleh karena itu, ia baru
bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H, tepat tahun ketika Imam Syafi’i
meninggal.
Imam Ahmad bin
Hanbal membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya, yait di rumah dan di masjid.
Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya sendiri dan para muridnya, kajian di
masjid diikuti oleh masyarakat umum dan para muridnya.
Pemikiran Imam
Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an dan al-Sunnah
lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal daripada perkataan para sahabat
Nabi saw, termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut.
Sebagai contoh, Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta non-muslim
sesuai dengan hadits Nabi. Ia tidak mengikuti pendapat Mu’adz bin Jabal dan
Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpendapat sebaliknya.
b.
Pendapat sahabat Nabi
diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat sahabat lainnya.
jika ada perbedaan pendapat, maka diadakan seleksi dengan menganalisi
kedekatannya terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
c.
Hadits Mursal (perawi
tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam
penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya,
karena hadits mursal tergolong hadits yang lemah. Bagi Imam Ahmad, meski
sahabat yang tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya,
sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Oleh sebab itu, sebelum melakukan
Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadits-hadits Nabi, termasuk hadits
mursal. Hadits yamg lemah diterima oleh Imam Ahmad, selama hadits tersebut
bukan merupakan hadits yang batil dan munkar, serta tidak diceritakan oleh
perawi yang diduga tidak dipercaya.
d.
Fatwa murid sahabat Nabi
juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurutnya, jika seseorang tidak menemukan hukum
di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka ia wajib
mengambil fatwa murid sahabat Nabi.
e.
Qiyas diambil dalam keadaan
terpaksa, yakni jika semua rujukan di atas tidak menyatakan langsung tentang
ketentuan-ketentuan hukum atau persoalan-persoalan yang dihadapi. Cakupan Qiyas
dalam madzhab hambali sangat luas, yakni mencakup penggalian hukum di luar
sumber hukum al-Quran dan al-Sunnah, serta pendapat sahabat Nabi dan muridya, jadi,
istihsan, mashlahah, dan sebagainya disebut sebagai kelompok Qiyas.[8]
4.
Fiqih Imam Ahmad bin
Hanbal
Menurut Imam Ahmad
bin Hanbal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong
tangan adalah ¼ dinar atau 3 dirham. Menurutnya, pencuri yang kadar curiannya
mencapai ¼ dinar harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan 3
dirham. Begitu juga pencuri yang kadar curiannya mencapai 3 dirham harus
dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan ¼ dinar. Adapun nishab bagi
pencuri selain barang tambang adalah seharga ¼ dinar atau 3 dirham.
Dalam bidang
pemerintahan, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khalifah harus dari
kalangan Quraisy. Sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak meskipun
khalifah termasuk fajir. Berdasarkan pertimbangan tersebut, orang yang
tidak taat kepada iamm dianggap telah berlaku maksiat, dan apabila seseorang
meninggal dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, ia termasuk mati dalam
keadaan jahiliyah.
Dalam bidang
muamalah, terutama tentang khiyar majlis, Iamma Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim meskipun telah terjadi ijab
qabul. Apabila penjual dan pembeli masih berada dalam satu tempat dimana akad
itu dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (sudah
berpisah), maka akad sudah lazim. Alasannya ialah hadits Nabi Muhammad saw yang
artinya: “setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama
keduanya belum berpisah.”[9]
B.
Imam Dawud
al-Dzahiri
1.
Kelahiran Imam Dawud
al-Dzahiri
Madzhab Dzahiri
dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia dilahirkan di Baghdad pada
tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud dinisbatkan
kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari al-Dzahiri karena
pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah dengan menggunakan
makna dzahir.[10]
Imam Dawud pada
mulanya penganut fanatik Madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut madzhab
Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam Syafi’i, tetapi kepada murid
sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun ketika Imam Syafi’i wafat.
Ia pernah
mempelajari hukum Islam madzhab Syafi’i di Baghdad, tetapi kemudian ia
mengkritik madzhab yang ia pelajarinya itu. Ia pun melahirkan teori-teori baru
dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya ialah pemikiran rasionalis Imam
Syafi’i yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan. Inilah yang dianggap
tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas dan istihsan adalah
sama-sama rasionalitas.
Imam Dawud pun
bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk belajar hadits kepadanya. Namun ia
pun diusir oleh imam Ahmad karena mengemukakan pendapat bahwa al-Quran adalah
hal yang baru (muhdats). Imam Dawud berkata: “al-Qur’an yang ada di Lauh
mahfudz bukan makhluk, sedangkan al-Qur’an yang ada di manusia adalah makhluk”.
Setelah keluar dari pengajian Imam Ahmad, Imam dawud membuat pemikirannya
sendiri. Imam Dawud belajar hadits kepada para pakar hadits di Baghdad dan
Nisabur, Iran.
Imam Dawud memiliki
banyak perbendaharaan hadits. Akan tetapi, tidak banyak ulama’ yang
meriwayatkan hadits darinya. Penyebabnya adalah pendapatnya bahwa al-Qur’an di
manusia itu makhluk. Pada masanya, pendapat demikian ini dianggap bid’ah,
dan hadits tidak boleh diriwayatkan oleh orang yang melakukan bid’ah.[11]
2.
Guru dan Murid Imam
Dawud al-Dzahiri
Di antara guru Imam
Dawud adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Adapun murid-muridnya adalah:
a.
Abu Bakar Muhammad (putra
Imam Dawud), ia wafat tahun 297 H. Salah satu kitabnya adalah al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul.
b.
Abu Muhammad bin Ali bin
Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi
c.
Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir bin Yazid Katsir bin Ghalib al-Thabari.[12]
Pemikiran Imam
Dawud tentang al-Qur’an sulit diterima oleh kalangan ulama’. Karenanya, madzhab
Dzahiri sulit untuk berkembang. Setelah hampir redup, madzhab Dzahiri
dihidupkan kembali oleh murid Mas’ud bin Sulaiman, yaitu Abu Muhammad bin Ali
bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm.[13]
Ibnu Hazm sangat
cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. ia juga begitu gigih membela
pemikiran gurunya. Usahanya diwujudkan dalam beberapa karyanya tentang hukum
Islam, antara lain : al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla.
Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus, Spanyol, maka madzhab dzahiri
berkembang pesat di sana. Ketika Islam di Spanyol jatuh, saat itu pula madzhab
Dzahiri musnah. Penting dicatat bahwa madzhab Dzahiri juga pernah menjadi
madzhab resmi di Marokko.
Selain memiliki
pengikut yang cemerlang seperti Ibnu Hazm, Imam Dawud juga memili sejumlah karya,
antara lain: Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilmi, Kitab
al-Khushush wa al-‘Umum, Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, Kitab Ibthal
al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-Wahid. Karya-karya
Imam Dawud saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi.[14]
3.
Pemikiran Hukum Islam
Imam Dawud al-Dzahiri
Imam Dawud
mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada pemahaman literalis. Ia
berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Pemikiran
demikian disebutnya sebagai istidlal. Karena pendekatannya yang bertumpu
pada makna teks sumber hukum yang tampak, maka madzhabnya populer dengan nama
Madzhab Dzahiri.[15]
Secara garis besar,
pemikiran Abu Dawud dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an dan al-Sunnah
tetap menjadi rujukan dan sumber hukum utama. Hanya saja, Imam dawud berkutat
pada makna yang tampak darti teks-teks sumber hukum tersebut. Ia menghindari
makna-makna yang lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
b.
Ijma’ sahabat Nabi bisa
diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan kepada
sahabatnya. Pada masa sahabat, ijma’ dimungkinkan, karena kesepakatannya
melibatkan sedikit orang dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian,
ijma’ sahabat Nabi tidak dipandang sebagai hasil penalaran. Adapun ijma’
generasi setelah sahabat Nabi tidak diakui.
c.
Qiyas tidak diterima oleh
Imam Dawud, karena terkait dengan penalaran. Meski demikian, prinsip makna yang
difahami (mafhum) dari teks al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana diajukan
Imam Dawud sebagai pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda dengan Qiyas. Imam
Dawud memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yaitu alasan hukumnya (Illat)
harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan
digali dari pemikiran manusia.
d.
Imam Dawud juga tidak
setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti pendapat seseorang tanpa
mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap muslim harus bisa berpikir sendiri,
setidaknya jika tidak mengerti, ia harus bertanya kepada orang yang telah
memahami. Tidak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil
dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh diikuti.[16]
4.
Fiqih Imam Dawud
al-Dzahiri
Di antara pendapat
Imam Dawud al-Dzahiri adalah sebagai berikut:[17]
a.
Seseorang yang junub boleh
menyentuh al-Qur’an
Berkenaan dengan
fiqih, Imam Abu Dawud berpendapat bahwa kitab al-Qur’an yang tidak boleh
disentuh kecuali oleh orang yang suci ialah al-Qur’an yang berada di Lauh
al-Mahfudz. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis di kertas dan beredar di
kalangan manusia adalah makhluk, ia (mushaf) boleh disentuh oleh orang
yang sedang haidl atau junub.
b.
Pemimpin harus dari
kalangan Quraisy
Imam Dawud
al-Dzahiri berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kalangan Quraisy.
Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalanagna sunni yang
dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Abu
Dawud al-Dzahiri orang yang meninggal dalam keadaan tidak bai’at kepada
imam, dianggap mati dalam keadaan jahiliyah, dan manusia tidak boleh taat kepada
pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
c.
Bagian tubuh perempuan yang
boleh dilihat ketika dipinang
Menurut Imam Dawud
al-Dzahiri, seluruh tubuh perempuan yang dipinang boleh dilihat oleh laki-laki
yang meminangnya, karena Nabi Muhammad saw menganjurkan laki-laki yangg
meminang melihat perempuan yang dipinangnya secara mutlak, tanpa dirinci
tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
d.
Menikah dengan perempuan
yang dipinang laki-laki lain.
Dalam dikatakan
bahwa Nabi Muhammad saw melarang umat Islam meminang perempuan yang berada
dalam pinangan orang lain, sebagaiamna seseorang tidak diperbolehkan membeli
benda yang sudah dibeli oleh orang lain, karena umat Islam dengan lainnya
adalah bersaudara.
Ulama’ berbeda
pendapat dalam memahami cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut. Menurut
imam al-Khuthabi, cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut adalah li
ta’dib (bertujuan mendidik), bukan li tahrim (mengharamkan). Dalam
pandangan jumhurul ulama’, menikah dengan perempuan yang sedang berada dalam
pinangan laki-laki lain adalah sah, meskipun hukum peminangannya haram.
Sedangkan menurut Imam Dawud al-Dzahiri, pernikahan tersebut dianggap fasakhm
baik sudah melakukan persetubuhan maupun belum.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
[1]Jaih
Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 115.
[2]Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Madzahib
al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 281.
[3]Ibid.,
h. 283.
[4]Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya:
IAIN SA Press, 2011), h. 213-214.
[5]Ibid.,
h. 216.
[6]Jaih
Mubarok, Sejarah, h. 118.
[7]Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 222.
[8]Ibid.,
h. 218-220.
[9]Jaih
Mubarok, Sejarah, h. 120-122.
[10]Ibid.,
h. 123.
[11]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi,
h. 225-226.
[12]Jaih
Mubarok, Sejarah, h. 125.
[13]
A Djazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Kencana, 2006), h. 135.
[14]Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 229-230.
[15]Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh, h. 388.
[16]Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 227-228.
[17]Jaih
Mubarok, Sejarah, h. 128-130.
0 komentar:
Posting Komentar