SEJARAH TAFSIR AL-QUR’AN
Sesungguhnya, penafsiran Al-Qur’an sudah berlangsung sejak zaman
Nabi Muhammad Saw (571-632), dan masih tetap berlangsung hingga sekarang,
bahkan pada masa mendatang. Penafsiran A-Qur’an sungguh telah menghabiskan
waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan
dan perkembangan ilmu Al-Qur’an, khususnya tafsir Al-Qur’an. Upaya menelusuri
sejarah penafsiran Al-Qur’an yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap
penjuru dunia Islam itu tentu saja bukan perkara mudah. Apalagi untuk
menguraikannya secara panjang lebar dan detail.
Secara global, sebagian ahli tafsir membagi periodesasi penafsiran
Al-Qur’an kedalam 3 fase: periode mutaqaddim (abad 1-4 Hijriyah),
periode mutaakhkhirin (abad 4-12 Hijriyah), dan periode baru
(abad 12-sekarang). Ada pula mufassir yang memilahnya ke dalam beberapa fase
yang lebih banyak seperti yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Mushtafa al-Maraghi
(1300-1371 H/1883-1925 M) yang membedakan thabaqat al-mufassirin (jenjang
tingkatan para mufassir) dalam tujuh tahapan:
1)
Tafsir masa sahabat
2)
Tfsir masa tabi’in
3)
Tafsir masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi’in
4)
Tafsir generasi Ibn Jarir dan kawan-kawan yang mulai melakukan
penulisan penafsirannya
5)
Tafsir generasi mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan
penyebutan rangkaian (sanad) periwayatan
6)
Tafsir masa kemajuan peradapan dan kebudayaan Islam yang oleh
al-Maraghi disebut-sebut sebagai ‘ashr al-ma’rifah al-Islamiyyah
7)
Tafsir masa penulisan, transliterasi, dan penerjemahan Al-Qur’an
ke dalam berbagai bahasa asing.
Berbeda dengan al-Maraghi, Muhammad Husayn al-Dzahabi memilah
sejarah tafsir ke dalam tiga marhalah (periode): fase Nabi Saw dan
sahabatnya, fase tabi’in, dan fase pembukuan tafsir. Dalam hal ini, penulis
buku ini lebih cenderung memilah fase perkembangan penafsiran Al-Qur’an ke
dalam empat periode: periode Nabi Muhammad Saw, mutaqaddim, mutaakhkhirin,
dan kontemporer. Segmentasi ini dilakukan berdasrkan kenyataan bahwa tafsir
Al-Qur’an pada zaman Nabi Saw memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan
tafsir Al-Qur’an pada masa sahabat, lebih-lebih pada masa generasi muslimin
berikutnya.
1.
Periode Nabi Muhammad Saw
Al-Qur’an menegaskan bahwa tugas utama nubuwwah Nabi
Muhammad Saw adalah menyampaikan muatan Al-Qur’an. Berbarengan dengan itu,
berdasarkan Al-Qur’an pula, Nabi Muhammad Saw diberi otoritas untuk menerangkan
atau menafsirkan Al-Qur’an. Atas dasar itu, para ahli tafsir dan ilmu Al-Qur’an
seperti qari’, hafizh, dan para mufassir pertama (al-mufassir
al-awwal) dalam sejarah ilmu tafsir Al-Qur’an menobatkan Nabi Muhammad Saw
sebagai mufassir pertama.
Tugas-tugas penyampaian (tabligh), penghafalan (hafizh),
pembacaan (tilawah), dan penafsiran Al-Qur’an yang ditetapkan Allah kepada
Nabi Muhammad Saw itu dapat disimpulkan dari deretan ayat-ayat Al-Qur’an.
* $pkr'¯»t ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur ßJÅÁ÷èt z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia[430]. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir. (QS al-Maidah ayat 67)
ã@ø?$#ur !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) `ÏB É>$tGÅ2 În/u ( w tAÏdt7ãB ¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï9 `s9ur yÅgrB `ÏB ¾ÏmÏRrß #YystGù=ãB ÇËÐÈ
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, Yaitu
kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah
kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung
selain dari padanya. (QS al-Kahfi ayat 27)
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al
kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Ankabut ayat 45)
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS al-Qiyamah ayat 17-18)
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS al-Nahl ayat
44)
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran)
ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS al-Nahl
ayat 64)
Jelaslah bahwa ayat-ayat
di atas memerintahkan Nabi Muhammad Saw supaya menyampaikan, membaca,
menghafal, dan menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw telah
melaksanakan tugas-tugas Allah tersebut dengan prima dan berhasil, baik sebagai
pembaca dan penghafal Al-Qur’an (qari’ dan hafizh) maupun sebagai
penyampai risalah (muballigh ar-risalah) dan penjelas (mubayyin)
Al-Qur’an. Lebih dari itu, beliau juga menyelesaikan seluruh tugas sucinya (sacred
mission) untuk mengamalkan dan mempraktekkan ajaran-ajaran Al-Qur’an selama
kurang lebih 23 tahun (610-632 M).
Penafsiran Al-Qur’an
yang telah dibangun oleh Rasulullah Saw ialah penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an atau penafsiran Al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian
dikenal dengan sebutan as-Sunnah atau Hadits. Jika Al-Qur’an itu sifatnya murni
karena semata-mata wahyu Allah, baik teks atau naskah lafal dan maknanya,
Hadits-kecuali Hadits Qudsi-merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat
Al-Qur’an. Jadi, sumber tafsir Al-Qur’an pada masa masa Rasulullah Saw hanyalah
beliau sendiri sebagai mufas.sir tuggal. Dalam hal ini, para sahabat
yang bergabung dalam periode mutaqaddimin baru menafsirkan Al-Qur’an
setelah Nabi Muhammad Saw wafat.
2.
Periode Mutaqaddimin
Periode mutaqaddimin (abad 1-4 H) meliputi masa sahabat, tabi’in,
dan tabi’i al-tabi’in. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw (11 H/632 M) selaku
mufassir pertama (al-mufassir al-awwal) dan tunggal pada zamannya,
penafsiran Al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat, setidak-tidaknya tercatat
sekitar sepuluh orang mufassir yang sangat terkenal, yaitu:
1)
Abu Bakar al-Shiddiq w. 13 H/634 M)
2)
Umar ibn al-Khattab (w. 23 H/644 M)
3)
Utsman bin Affan (w. 35 H/656 M)
4)
Ali bin Abi Thallib (w. 40 H/661 M)
5)
Inbu Mas’un (w. 32 H/652 M)
6)
Zaid bin Tsabits (w. 45 H/665 M)
7)
Ubay ibn Ka’ab (w. 20 H/640 M)
8)
Abu Musa al-Asy’ari (w. 44 H/664 M)
9)
Abdullah bin Zubair (w. 73 H/692 M)
10) ABDULLAH BIN Abbas (w. 68 H/687 M)
Nama yang disebutkan terakhir pernah mendapatkan do’a
khusus dari Rasulullah Saw agar dia memahami (penafsiran) Al-Qur’an, dan
ternyata terbukti
Dari kalangan al-khulafa ar-rasyidin, ali bin
Abi Thalib lah yang dikenal paling banyak menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan tiga
lainnya terutama Abu Bakar, selain Umar dan Ustman relatif tidak banyak
terlibat secara aktif dalam kegiatan penafsiran Al-Qur’an. Ketidak aktifan itu
terjadi karena Utsman, Umar, dan Abu Bakar yang secara berturut-turut terlibat
langsung dengan kegiatan dunia politik praktik sehubungan dengan jabatannya
sebagai khalifah (kepala negara). Juga, karena usia mereka terutama Abu
Bakar yang tidak lama berselang dari kematia Nabi Muhammad Saw. Seperti
diketahui bahwa setelah Nabi Muhammad Saw wafat, Abu Bakar secara aklamasi
meskipun didahului oleh perdebatan yang cukup tegang dan panas dibaiat oleh
khalayak untuk secara menggantikan posisi Rasulullah Saw selaku pemimpin umat
dan negara. Tetapi, dua tahun kemudia, Abu Bakar yang terkenal lemah lembut itu
pun wafat. Meskipun sedikit lebih panjang dari pada masa kekhalifaan Abu Bakar,
namun Umar dan Utsman yang masing-masing menjadi khalifah selama empat tahun
dan dua belas tahun, juga wafat lebih dulu dibandingkan dengan Ali bin Abi
Thalib.
Faktor lain yang meneyebabkan Ali bin Abi Thalib lebih
banyak melakukan penafsiran Al-Qur’an dinandingkan tiga khalifah lainnya adalah
karena Ali telah memeluk Islam sejak masa kanak-kanak. Jadi, berbeda dengan
ketiga sahabat lainnya, terutama Umar dan Abu Bakar yang memeluk Islan setelah
usia dewasa, bahkan usia yang relatif tua. Satu hal yang kemungkinan besar yang
menjadi faktor penentu adalah pernyataan dalam sebuah hadits bahwa aku adalah
gudang ilmu, dan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Itulah sebabnya, sepanjang
periode tiga khalifah, Ali bin Abi Thalib selalu menjadi penasihat ketiganya
dalam hal ilmu-ilmu keislaman
Tidak sama dengan para khalifah diatas yang sebagian
besar waktunya habis tersita untuk pelayanan masyarakat, para sahabat lain yang
termasuk sepuluh mufassir awal itu, terutana Ibn Abbas yang mendapat gelar tarjuman
al-qur’an (juru bicara Al-Qur’an), habr al-ummat (sumber ilmu umat),
syaykh al-mufassirin (guru besar mufassir),an terlibat aktif dalam upaya
pengembangan penafsiran Al-Qur'an dan pernah mendapat do’a khusus dari
Rasulullah Saw dalam hal penakwilan Al-Qur’an, memiliki banyak waktu dan
kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan penafsiran Al-Qur’an.
Namun, tidak berarti bahwa sahabat lain diluar Ibn Abbas tidak memiliki andil
besar (saham) bagi pengembangan tafsir Al-Qur’an. Para sahabat besar lainnya,
terutama Ibnu Mas’ud, Ubayy bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin
al-Zubayr juga banyak terlibat aktif dengan aktifitas penafsiran Al-Qur’an.
Seiring sejalan dengan aktivitas mereka, para sahabat
lainnya pun turut serta dalam pengembangan penafsiran Al-Qur’an, antara lain,
Anas bin Malik (w. 93 H/711 M), Abu Hurairah (w. 85 H/704 M), Abdullah bin Umr
bin al-Ash (w. 65 H/684 M), termasuk Aisyah ra. (w. 57 H/676 M). Syangnya,
dibandingkan keenam sahabat yang sudah disebutkan di awal, para sahabat yang
yang disebutkan terakhir tidak berkosentrasi secara penuh kepada penafsiran
Al-Qur’an karena keahlian sahabat tersebut kebanyakan memang bukan ahli tafsir.
Misalnya, Abu Hurairah, lebih populer di bidang hadits, sedangkan Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, dan Ubaidillah bin Amr bin al-Ash lebih menonjol
dalam ilmu fiqih. Pun, Aisyah ra lebih akrab dengan dunia hukum halah haram
(fiqih), khususnya bidang fara’id (warisan).
Sulit dipungkiri kebenarannya bahwa para sahabat
memilikikedudukan, peran, dan keterlibatan yang sangat istimewa dalam
pengembangan tafsir Al-Qur’an. Sebagian ahli tafsir dan hadits, antara lain,
al-Hakim dalam karya besarnya yang berjudul al-Mustadrak menyatakan
bahwa tafsir as-shahabi yang pemiliknya (yakni para sahabat) menyaksikan
secara langsung proses penurunan wahyu Al-Qur’an menduduki derajat hadits marfu’,
hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw. Jadi tafsir para sahabat itu
seolah-olah diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. Beberapa ciri khas tafsir masa
sahabat, antara lain berikut ini:
a.
Penafsiran Al-Qur’an tidak secara keseluruhan karena sahabat hanya
menafsirkan sebagian dari ayat Al-Qur’an yang benar-benar mereka dalami dan
kuasai. Namun, seiring dengan terjadi interaksi yang intensif antar sesama
mereka, tafsir Al-Qur’an pun akhirnya berproses menjadi tafsir yang lebih
lengkap dan sempurna
b.
Perbedaan penafsiran Al-Qur’an diantara mereka relatif sedikit
karena selain saecara politis para sahabat masih tetap utuh dan padu, juga
belum banyak masalah yang dihadapi.
c.
Penafsiran yang dilakukan umumnya lebih menekankan pendekatan pada
al-ma’na al-ijmali (pengertian kosa kata secara global), tidak dengan
penafsiran panjang lebar dan mendetail. Mereka beranggapan bahwa penafsirean
Al-Qur’an cukup umum sekedar membantu mereka untuk bisa memahami makna asli
ayat Al;-Qur’an.
d.
Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughawi (
etimologis) dengan gaya ungkapan yang sederhana-singkat, dan tidak menggunakan
metodologi penafsiran yang rumit seperti yang berkembang kemudian.
e.
Tidak melakukan istimbath atas hukum-hukum fikih dari
ayat-ayat Al-Qur’an, apalagi jika istimbath hukum itu lebih
mengedepankan semangat pembelaan kepada mazhab-mazhab fikih yang saat itu belum
terjadi.
f.
Tafsir Al-Qur’an sama sekali belum dibukukan
g.
Penafsiran Al-Qur’an umumnya dilakukan dengan menguraikan Hadits,
bahkan tafsir itu merupakan bagian (cabang) dari al-Hadits.
Sumber tafsir Al-Qur’an yang menjadi rujukan para sahabat
Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad para sahabat sendiri meskipun dalam ruang
lingkup yang terbatas. Penafsiran para sahabat itu dikembangkan oleh generasi tabi’in,
berbeda dengan sahabat yang secara umum bermukim di Madinah, terutama pada
zaman Umar bin al-Khatab, pada masa generasi sahabat kecil dan tabi’in,
tokoh-tokoh Islam (termasuk para mufassir) tersebut luas di berbagai
kota Islam. Di setiap kota Islam terkemuka seperti Madinah, Makkah, dan Irak terdapat
sejumlah mufassir ternama.
Beberapa nama
mufassir yang bermukim di Makkah yang umumnya berguru dan belajar kepada
Abdullah bin Abbas tercatat, antara lain, Sa’id bin Jabr (w. 94 H/712 M),
Mujahid bin Jabr (21-103 H/641-721 M), Ikrimah Maula ibn Abbas (w. 106 H/724
M), dan Atha’ ibn Abi Rabah al-Makky (w. 114 H/723 M). Tentang mereka, Sufyan
ats-Tsauri berkata: “Silahkan kalian ambil tafsir dari empat orang, yakni
Sa’id bin Jabr, Mujahid, Ikrimah, dan ad-Dhahak”. Qatadah menyatakan bahwa
ada empat orang tabi’in yang sangat alim di bidangnya masing-masing, yaitu
Atha’ bi Abi Rabah yang ahli di bidang manasik haji, Sai’d bin Jabr yang sangat
piawai di bidang tafsir, Ikrimah yang sangat ahli di bidang sejarah, dan Hasan
al-Bashri yang sangat piawai di bidang hukum halal-haram.
Beberapa nama
ahli tafsir yang bermukum di Kuffah yang kebanyakan merupakan murid dari Ibn
Mas’ud tercatat, antara lain, an-Nakha’i (w. 95 H/713 M), Alqamah bin Qais (w.
102 H/720 M), dan asy-Sya’bi (w. 105 H/723 M). Beberapa nama ahli tafsir yang
bermukim di Madinah yang umumnya berguru kepada Zaid bin Aslam al-Adwi al-Madani
(w. 135 H/752 M) tercatat, antara lain, Abu al-‘Aliyah Rafi’ bin Mihram
ar-Rayyani (w. 90 H/708 M), al- Dhahak bin Mazahim (w. 105 H/723 M), Athiyah
bin Sa’id al-‘Aufi (w. 111 H/729 M), Qatadah bin Da’amah ad-Dawsi (w. 117 H/735
M), al-Hasan al-Bashri (w. 121 H/738 M), Isma’il bin Abd al-Rahman as-Sa’di
al-Kabir (w. 127 H/744 M), ar-Ra’bi bin Anas (w. 139 H/756 M), dan putra Zaid
bin Tsabit bin Aslam sendiri, yakni Abd al-Rahman bin Zaid (w. 182 H/798 M.
Sesudah
generasi tabi’in, tafsir Al-Qur’an pun dikembangkan oleh generasi
tabi’i at tabi’in yang oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi disebut sebagai
periode penghimpunan tafsir sahabat dan tabi’in. Nama-nama yang tercatat
nama-nama mufassir sebagai berikut: Sy’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H/724
M), Waki’ bin al-Jarrah al-Kufi (w. 97 H/715 M), Sufyan bin ‘Uyaynah (w. 198
H/813 M), Rauh bin ‘Ubadah (w. 205 H/820 M), Abd al-Raziq (w. 211 H/826 M),
Adam bin Abi Iyas ( w. 221 H/835 M), Ishaq bin Ruhawaih al Iman al-Hafizh
al-Naisaburi (w. 238 H/835 M), Abu Bakr bin Abi Syaibah al-Imam al-Hafizh
al-Kufi (w. 335 H/946 M), Yazid bin Harun al-Sulami dan Abdullah bin Hamid
al-Juhni.
Pada beberapa
ciri utama tafsir yang berhasil dikembangkan pada periode tabi’in hingga
awal tabi’it tabi’in, baik yang bersifat positif maupun negatif. Nilai
positifnya ialah mereka mewarisi cara dan corak penafsiran para sahabat,
sedangkan negatifnya sebagai berikut:
a.
Dalam hal tertentun tafsir Al-Qur’an telah banyak disusup[i oleh
kisah-kisah issra’illiyyat. Baik dari kalangan Nashrani maupun Yahudi.
Pada masa itu, banyak tokoh Yahudi dan Nashrani yang memeluk Islam, sementara
pada saat yang sam, mereka masih merasa sulit untuk meninggalkan berbagai kisah
yang diwarisi dari agama lamanya.
b.
Penafsiran Al-Qur’an yang mereka lakukan dengan sistem hafalan dan
periwatan sehingga mengalami kesulitan dalam pengontrolan
c.
Tidak lagi utuh seperti yang pernah dilakukan sahabat dalam
periwayatan informasi yang mereka peroleh dari Nabi Muhammad Saw. Periode
inilah yanh Syekh al-Maraghi disebut sebagai periode tafsir yang
menghilangkan sanad.
d.
Penafsiran Al-Qur’an banyak diwarnai oleh perbedaan pendapat baik
teologi maupun fikih, terutama bidang politik yang sedikit banyak (langsung dan
tidak langsung) mempengaruhi perkembangan aliran ilmu keislaman, termasuk
tafsir Al-Qur’an.
3.
Periode Muta’akhkhirin
Ekspansi Islam yang dilakukan secara agresif dan mobilitas yang
sngat tinggi ke berbagai daerah Jazirah Arab dan luar Arab pada masa-masa tabi’it
tabi’in semakin memperluas dan mengembangkan wilayah Islam. Perluasan
wilayah agama dan pergaulan umat Islam dengan dunia luar (yang notabene nonmuslim)
pun turut mempengaruhi kompleksitas permasalah yang dihadapi oleh umat Islam.
Apalagi, banyak juga di antara mereka yang kemudian memeluk Islam. Pada zaman
ini, Islam telah menguasai daerah-daerah lain yang memiliki kebudayaan lama
(kuno) yang terkait dengan agama berhala seperti Persia, Asia Tengah, India,
Siria, Turki Mesir, Etiopia, dan Afrika Selatan. Bahkan, Islam berkembang luas
pula di wilayahAsia Tenggara yang sebelumnya “dikuasai” oleh keyakinan Budha
dan Hindu.
Sejak saat itu, kaum muslim mulai mempelajari ilmu sains dan
pengetahuan yang dimiliki oleh para penganut kebudayaan tersebut. Karena itu,
kaum muslim berusaha keras mempelajari dan menguasai ilmu logika, filsafat,
eksakta, hukum, ekonomi, ketabiban, dan sebagainya. Dalam beberapa waktu saja,
kaum muslim juga berhasil memiliki dan kemudian membukukan ilmu gaya bahasa,
ilmu keindahan bahasa, dan segala hal yang berhubungan dengan bahasa.
Seiring dengan makin luasnya daerah yang dipengaruhi oleh Islam dan
penyebaran Islam pun dilakukan keseluruh daerah wilayah di berbagai penjuru
benua, peradapan dan kebudayaan Islam pun semakin mengalami kemajuan, termasuk
ilmu tafsir. Dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an, para ahli tafsir tidak lagi
merasa cukup dengan hanya mengutip atau menghafal riwayat dari gerakan sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini,
tetapi mereka mulai berorientasi pada penafsiran Al-Qur’an berdasarkan
pendekatan ilmu bahasa dan penalaran ilmiah. Dalam kalimat lain, tafsir
Al-Qur’an pada periode mutaakhkhirin tidak hanya mengandalkan kekuatan
tafsir bi al-matsur yang telah lama mereka warisi, tetapi juga berupaya
keras mengembangkan tafsir bi al-dirayah dengan segala macam
implikasinya. Karena itu, tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan sedemikian
rupa dengan penitik beratan (fokus-perhatian) pada pembahasan aspek-aspek
tertentu sesuai dengan tendensi dan kecenderungan kelompok mufassir itu
sendiri.
a.
Ada mufassirin yang lebih menekankan penafsiran Al-Qur’an dari
segi bahas, utamanya pada keindahan bahasa (balaghah) seperti az-Zamakhsyari
(467-538 H/1074-1143 M) dalam karyanya al-Kasyayaf dan al-Baydhawi dalam
kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.
b.
Ada pula golongan yang semata-mata meninjau dan menafsirkan
Al-Qur’an dari segi tat bahasa, kadang-kadang menggunakan syair-syair Arab
Jahili untuk mengokohkan pendapat mereka, seperti al-Zajjaj dalam tafsir
Ma’ani al-Qur’an, al-Wahidi dalam tafsir al-Basith, Abu Hayyan
Muhammad bin Yusuf al-Andalusi (654-754 H/1256-1353 M) dalam tafsir al-Bahr
al-Muhith.
c.
Ada segolongan ulama tafsir menitik beratkan pembahasnnya dari
segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu, termasuk berita dan cerita
yang berasal dari orang Yhudi dan Nashrani, bahkan kadang-kadang berasal dari
kaum Zindik yang ingin merusak Islam. Tafsir semacam perlu dilakukan penelitian
dan pemeriksaan yang akurat oleh kaum muslim. Tafsir terkenal yang menafsirkan
Al-Qur’an dengan sistem ini adalah ats-Tsa’albi dan ‘Auluddin bin
Muhammad al-Baghdadi (w. 741 H/1340 M), termasuk juga al-Khazin (w. 741 H/1340
M).
d.
Ada yang ulam atafsir yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang
berhubungan dengan penetapan hukum-hukum fikih seperti yang dilakukan oleh al-Qurthubi (w. 671 H/1272 M) dalam tafsir
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Ibn al-‘Arabi (561-638 H/1165-1240 M) dalam tafsir
Ahkam al-Qur’an, al-Jashshash dalam tafsir Ahkam al-Qur’an, Hasan
Shiddiq Khan (1248-1307) dalam tafsir Nail al-Maram.
e.
Ada golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat yang membahas masalah ini seakan-akan
berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah padahal ayat-ayat
tersebut tidak berlawanan dengan sifat-sifat Allah yang sesungguhnya.
Penafsiran yang terkenal menafsirkan ayat seperti di atas ialah Imam ar-Razy
(w. 610 H/1213 M) dalam tafsir Mafatih al-Ghaib.
f.
Ada golongan yang menitik beratkan penafsirannya pada
isyarat-isyarat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawuf,
seperti tafsir al-Tasturi susunan Abu Muhmmad Sahl bin Abd Allah
al-Tatsuri
g.
Ada golongan yang hanya membahas lafal-lafal Al-Qur’an yang gharib
(jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti kitab Mu’jam
Garaib al-Qur’an nukilaan. Muhammad Fuad Abd al-Baqi dari Shahih
al-Bukhari.
Selain kitab-kitab
tafsir seperti yang dikemukakan diatas, ada pula kitab-kitab tafsir yang
terkait dengan aliran. Misalnya, aliran Mu’tazilah dan Syiah. Banyak sekali
tafsir yang dikarang menurut dan sesuai dengan dasar-dasar pokok aliran
Mu’tazilah. Tetapi, kitab yang sampai kepada generasi sekarang teramat sedikit,
seperti Majalisus al-Syarif al-Mutadha. Menurut pendapat sebagian ahli
tafsir, kitab Majalisus al-Syarif al-Mutadha bernafaskan aliran
Mu’tazilah yang sekarang dicetak di Mesir dengan nama Amali Murtadha.
Kaum Syiah pun banyak
menghasilkan kitab tafsir. Sayangnya, penafsiran sebagian dari mereka ditujukan
dan diperuntukkan bagi pengagungan Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya sehingga
terkesan merendahkan sahabat-sahabat besar lainnya, seperti terkesan adanya
penghinaan terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Tafsir tersebut acapkali
melakukan penafsiran yang jauh sekali untuk kepentingan aliran mereka.
4.
Periode Kontemporer
Periode
ini dimulai dari akhir abad sembilan belas hingga kini. Sudah sekian lama
pemeluk Islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa Barat yang notabene
adalah kaum imperialise-kolonolis. Kini, sebagian negara, baik di benua Asia
maupun Afrika, yang berpenduduk mayoritas muslim mulai bangkit dari
keterpurukan dan penderitaan mental. Di belahan bumi mana pun umat Islam
merasakan bahwa agama mereka selalu dihina dan menjadi alat permainan politik
mereka. Bahkan, kultur kebudayaan dan nilai-nilai sosial mereka pun dirusak dan
di nodai sedemikian rupa sehingga identitas sebagai muslim sejati sudah tidak
tampak lagi dalam kehidupan nyata.
Untuk menghadapi kebrobokan mental itu,
berbagai tokoh dan pejuang muslim berupaya keras untuk melakukan perbaikan.
Lalu, muncullah gerakan modernisasi Islam yang antara laindilakukan oleh
tokoh-tokoh Islam aemisal Jamal al-Din al-Afghani (1245-1315 H/1838-1897 M),
Syekh Muhammad Abduh (1265-1323 H/1848-1905 m) dan Muhammad Rasyid Ridha
(1282-1354 H/1865-1935 M). Ketiga tokoh ini menjadi penggerak perubahan dan
gerakan purifikasi terhadap nilai-nilai Islam di Mesir, negara yang banyak
melahirkan tokoh pemikir dan pergerakan Islam. Dua orang yang disebutkan
terakhir, yakni Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho berhasil melahirkan
tafsir Al-Qur’an yang hingga kini disegani, yakni Tafsir al-Manar
meskipun tidak sampai tamat. Kesungguhan tafsir ini diakui oleh banyak orang
dan memiliki pengaruh yang sangat besae bagi perkembangan tafsir, baik bagi
kitab tafsir Al-Qur’an yang semasa dengannya maupun yang kitab tafsir yang
terbit pada masa-masa sesudahnya. Embrio bagi tafsir Al-Qur’an yang lahir abad
dua puluh dan dua puluh satu banyak yang mendapat inspirasi dari Tafsir
al-Manar seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi dan Tafsir
al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari.
Bersamaan dengan upaya pembaharuan dan
gerakan purifikasi Islam, serta gerakan penafsiran Al-Qur’an di Mesir dan negara-negara
Islam lainnya, para ilmuan muslim Indonesia pun melakukan gerakan yang sama.
Para ilmuan dan cendekiawan lokal berusaha keras untuk melakukan penerjemahan
dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Ulama tafsir Indonesia tergolong aktif dalam usaha
penafsiran dan melahirkan tafsir yang berkualitas dan monumental adalah Prof.
Dr. Buya Hamka (1908-1981). Buya Hamka, selain berhasil menerbitkan Al-Qur’an
dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia dan
Tafsir al-Azhar juga seorang sastrawan yang sangat produktif.
Para ahli tafsir Indonesia lainnya, baik
yang sudah wafat maupun yang masih hidup, yang melahirkan kitab tafsir sangat
berharga bagi pengembangan ilmu Al-Qur’an, antara lain, Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiddiey (1322-1395 H/1904-1975 M) dengan karyanya Tafsir al-Nur dan
Tasir al-Bayan, Prof. Dr. Mahmud Yunus (1317-1403 H/1899-1982 M), A.
Hassan (1301-1378 H/1883-1958 M). Kini Indonesia memiliki seorang penafsir
kontemporer yang dalam penafsirannya menggunakan pendekatan yang sangat khas,
yakni Prof. Dr. M. Quraisy Shihab, MA. Pemikiran beliau bisa ditelusuru tertama
lewat karyanya Tafsir al-Mishbah, selain Tafsir al-Fatihah.
Berdasarkan uraian sejara ringkas tafsir Al-Qur’an
tersebut dapat disimpulkan bahwa penafsiran Al-Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad
Saw hingga sekarang terdapat ikatan-jalinan kesinambungan (mata rantai) yang
tidak pernah putus sekalipun dalam rentang daerah yang sangat berjauhan. Jadi,
di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk muslim, termasuk
Indonesia, kegiatan penafsiran Al-Qur’an merupakan kunci pembuka bagi
kecemerlangan umat. Kesinambungan mata rantai penafsiran Al-Qur’an yang tidak
pernah terputus ini seyogyanya disadari benar oleh para mufassir kontemporer
bahwa penafsiran Al-Qur’an sudah dimulai sejak Rasulullah Saw masih hidup.
Karena itu, beliau mengajak para pewaris kitabnya, khususnya ulama, yang
dijuluki sebagai pewaris para nabi untuk melakukan aksi yang sama bagi
pencerahan umat.