Metode Penafsiran Kontemporer
Pada masa
kontemporer, metode penafsiran Al Qur’an yang berkembang sudah sangat beragam.
Fazlur rahman, misalnya menggangas metode tafsir kontekstual. Menurut
Rahman, ayat-ayat al qur’an tidak tidak bias dipahami secara literal (harfiah)
sebagaimana yang dipahami para mufassir klasik. Baginya, memahami al
qur’an dengan makna harfiah tidak saja akan menjauhkan seseorang dari petunjuk
yang ingin diberikan oleh al qur’an, tetapi juga merupakan pemerkosaan terhadap
ayat-ayat al qur’an. Bagi fazlu Rahman, pesan yang sesungguhnya ingin
disampaikan Al qur’an bukanlah makna yang di tunjukkan oleh ungkapan harfiah
suatu ayat, melainkan nilai moral yang ada “di balik” ungkapan literal itu.
Karena itu ayat-ayat al qur’an harus lebih dipahami dalam kerangka pesan moral
yang dikandungnya.
Untuk
mengetahui pesan moral sebuah ayat al qur’an, rahman memandang penting situasi
dan kondisi historis yang “melatar belakangi” pewahyuan ayat-ayat al qur’an.
Situasi dan kondisi historis ini bukan hanya apa yang dikenal oleh ilmu tafsir
sebagai asbabun nuzul melainkan jauh lebih luas dari itu, bagi Rahman
ayat-ayat al qur’an merupakan pernyataan moral, religius, dan sosial tuhan untuk
merespon apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ayat-ayat tersebut,
menurut rahman memiliki “ideal moral” yang harus menjadi acuan untuk memahami
ayat-ayat al qur’an. Meminjam istilah Nashr Hamid Abu Zaid, suatu teks atau
ayat selain memiliki makna, juga memiliki maghaza. Selama ini, para musaffir
baru sampai ketatanan makna, belum memasuki tatanan maghza (tujuan atau
signifikansi).
Dengan memakai pendekatan hermeneutika model Emilio betti untuk memperoleh
makna objektif sebuah teks, Rahman mengajukan teori “gerakan ganda” (dauble
movemens) yang harus ditempuh untuk menafsirkan Al qur’an yakni dari
situasi sekarang ke masa al qur’an ketika ia diturunkan dan kembali lagi kemasa
kini”. Untuk menjawab
berbagai problematika kontemporer, seseorang harus dimelihat apa yang dikatakan
oleh al qur’an mengenai problem matika itu dengan dua langkah. Pertama, memahami
makna pernyataan (ayat) dengan mengkaji
situasi atau problematika historis bahwa ayat itu merupakan jawabanya, kedua,
mengeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai
pernyataan peryataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum, setelah
mengetahui apa yang menjadi ideal moral dari ayat itu, kita bias
menyelesaikan problematika konteporer.
Fazlur Rahman berpandangan bahwa semuia Al qur’an sebagaimana ketika ayat
itu diwahyukan dalam kurun waktu sejarah tertentu beserta keadaan (umum dan
khusus) yang menyertainya menggunakan ungkapan-ungkapan yang relatif tentang
keadaan itu, sekalipun memuat kurun waktu sejarah tertentu bukan berarti pesan
al qur’an yang dibatasi oleh waktu dan keadaan yang bersifat historis. Ia memiliki semacam weltanschauung yang universal yang
disebut ideal moral, konsep inilah ideal moral yang harus dicari
untuk memahami ayat-ayat Al qur’an. Salah satu karya penafsiran Al qur’an yang
menggunakan metode penafsiran ini adalah tafsir kontekstual al qur’an yang di
tulis bersama oleh Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal penggabean. Amina Wadud
Muhsin, penggerak feminism di Amerika Serikat, pun mengaku bahwa ia menggunakan
pendekatan yang sama dalam kajiannya atas ayat-ayat al qur’an tentang
perempuan.
Hassan Hanafi
berusaha untuk mengembangkan apa yang oleh Muhammad Mansur disebut sebagai
metode penafsiran realis. Disebut “realis” karena yang titik
pokok yang manjadi pertimbangan untuk menafsirkan al qur’an adalah kondisi
realitas itu sendiri sehingga penafsiran yang dihasilkannya pun (seharusnya)
lebih bersifat temporal yang belum tentu sesuai untuk diterapkan dalam realitas
yang berlainan. Langkah ini dimungkinkan karena tafsir harus “memiliki
keberpihakan” yang sangat kuat untuk merupakan perubahan sosial atas lingkungan
yang dihadapi oleh para musaffir. Bagi hanafi, penafsiran bukan sekedar
upaya untuk membaca teks, melainkan harus menjadi upaya untuk memecahkan
problematika sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Hanafi berpandang bahwa makna objektif Al qur’an sebagaimana yang
dicita-citakan oleh Rahman adalah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun ia tidak
menolak gagasan Rahman mengenai mengenai perlunyamelakukan gerak “ganda” dan
realitas menuju teks menuju realitas. Namun, upaya mengaitkan realitas
kontemporer dengan realitas yang menyebabkan turunya Al qur’an merupakan
sesuatu tidak mungkin terjadi karena upaya penafsiran selalu dibingkai oleh
kepentingan musaffir, selain tentu saja oleh weltasnschauungnya. Jadi
penafsiran teks Al qur’an tidak perlu mempertanyakan asal usul dan sifatnya
karena tafsir Al qur’an tidak terkait erat dengan asal-usul kejadiannya, tetapi
terkait erat deangan isinya.
Karena
penafsiran harus “memiliki keberpihakan yang sangat “kuat” bagi perubahan
sosial. Hasan Hanafi merumuskan langkah-langkah penafsiran Al qur’an yang harus
dilalui.
1.
Mufassir harus memiliki keprihatinan, perhatian, dan komitmen untuk
melakukan perubahan atas kondisi sosial.
2.
Merumuskan tujuan penafsiran.
3.
Menginventarisasikan ayat-ayat yang terkait erat dengan teman yang
menjadi kebutuhannya.
4.
Mengklasifikasikan ayat-ayat tersebut atau dasar bentuk-bentuk
linguistiknya.
5.
Membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju.
6.
Mengidentifikasi problematika aktual dalam realitas.
7.
Menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan
problem factual melalui perhitungan statistic dan ilmu sosial.
Menentukan
rumusan praktis sebagai langkah akhir dari proses penafsiran yang
transformative.
Dalam upaya
memahami Al qur’an, mufassir konteporer lainnya, yakni Muhammad Arkoun,
menawarkan metode yang berorientasi pada pemaknaan aktual terhadap Al qur’an
mengandung sekian banyak potensi makna yang karananya peluang untuk aktualisasi
makna ayat-ayat Al qur’an itu tetap terbuka lebar. Berbeda dengan beberapa musaffir lainnya, menurut Arkoun, Al qur’an
tidak mungkin disempitkan menjadi sebuah ideologi.
Untuk
memperoleh pemaknaan dan pemahaman yang aktual atas Al qur’an (kitab suci umat
islam) ini, arkoun menawarkan tiga pendekatan.
1.
Pendekatan liunguistik (semiotick) yang denganya teks dapat
dipahami secara komperhensif dan sistematik dari hubungan-hubungan internal.
Melalui teks inilah beragam prasumsi yang fenomenal tentang penafsiran
Al qur’an abad pertengahan bisa di netralisir. Namun arkoun tidak lagi cukup
mampu diandalkan untuk mengatasi persoalan persoalan tersebut. Untuk mengatasi
kekurangan pendekatan analisis semiotic ini, arkoun memnawarkan pendekatan
kedua, yakni analisis antropologi historis.
2.
Pendekatan antropologis di gunakan untuk mengetahui asal-usul dan
fungsi bahasa keagamaan untuk mengenali kemampuan bahasa guna menguak “cara
berfikir” dan “cara merasa” yang sangat berperan dalam sejarah umat Islam.
Disisi lain analisis historis diarahkan untuk mengungkap fakta sejarah yang
menyangkut nama tokoh tempat dan semacanya, juga mengungkapkan cara mempersepsi
waktu dan kenyataan, setra jaringan komunikasi yang biasa dikenal sebagai episteme.
3.
Pendekatan analisis-mitis digunakan untuk melengkapi kedua analisis
diatas. Langkah ini dilakukan karena didalam al qur’an banyak terdapat struktur
dan gaya bahasa yang bersusunan mitis. Dengan analitis-mitis, Arkoun melihat
bahwa teks-teks keagamaan termasuk al qur’an lebih bersifat simbolis konotatif
daripada denitatif. Bagi Arkoun, melalui aspek-aspek simbolis itulah setiap
orang dari berbagai lapisan budaya yang berbeda akan terpikat oleh pesan-pesan
dan merasakan sapaan langsung dari Al qur’an.
Pendekatan yang
digunakan Nashr Hamid Abu Zaid lain lagi, tokoh dan pemikir fenomenal
controversial ini lebih mengedepankan pendekatan sastra dalam upaya memahami Al
qur’an. Oleh Abu Zaid, Al qur’an dipahami sebagai “produk budaya” yang tidak
bisa dilepasan dari keberadaannya sebagai tes liungistik, teks historis, dan
teks manusiawi. Karena itu, pemahaman terhadap Al qur’an tidak bisa
meninggalkan ketiga aspek ini yang seluruhnya berakar dari konteks budaya arab
abad tujuh.
Dengan
mengikuti gagasan hermeneuitik yang di publikasikan E.D Hirsch, Abu, Zaid
membedakan antara dua tema: makna dan signifikasi (Maghza). Menurut
Hirch, makna sebuah teks tidak akan berubah karena yang berubah adalah
signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh sebuah teks dan
dan tanda-tandanya, sedangkan signifikansi menamai sebuah relasi antara makna
dan seseorang yang membacanya atau dari persepsi, situasi, atau sesuatu yang
bisa di bayangkan, jadi signifikasi selalu mengimplikasikan hubungan dari satu
kutub konstan yang tidak pernah berubah, dan dari relasi inilah makna bisa
diperoleh.
Terkait dengan
masalah itu, Abu Zaid mengusulkan tiga tiga tingkatan (level) makna
sebuah pesan yang inheren dalam ayat-ayat Al qur’an. Pertama, makna yang hanya
menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah yang tidak bisa di interpretasikan
secara metaforis. Kedua makna yang menunjuk kepada bukti dan fakta sejarah yang
bisa diinterpretasikan secara metaforis. Ketiga makna yang bisa diperluas
berdasarkan signifikansi yang di ungkap dari konteks sosiokultural ketika teks
itu muncul. Di tingkat terakhir inilah signifikansi itu bisa di turunkan secara
valid.
Muhammad
syahrur seorang mufassir kontemporer yang controversial lainnya dalam
rangka memperoleh makna ayat yang mendekati kebenaran lebih memilih pendekatan
semantic dengan analisis paradigmatik-sigtakmantis setelah melakukan teknik
atau tartil intertekstualitas. Analisis paradigmatic yang dimaksud
merupakan analisis pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna)
simbol (kata) tertentu dengan cara mengetikanya pada konsep-konsep dari
simbol-simbol lain yang berdekatan dengan Ibnu Faris yang mengatakan bahwa
dalam bahasa Arab tidak terdapat dinonim (muradif) karena setiap kata
memiliki kekhusuan makna. Bahkan, satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu
potensi makna (polivalen, beragam) salah satu factor yang menentukan
tentang makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi yang ada adalah konteks
logis dalam suatu teks yang di dalamnya kata itu disebutkan. Istilah lebih
dikenal dengan nama analisis-sigtakmatis. Analisis ini berpandangan
bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan
kata-kata yang ada di sekelilingnya.
Dalam rangka memperoleh pemahaman yang objek tentang Al qur’an Mahmoud
Muhammad Thaha mengajukan sebuah teori yang disebutnya teori evaluasi
syari’ah, teori ini membagi ayat-ayat Al qur’an menjadi dua kategori, yakni
makkiyah dan Madaniyah. Menurut Thaha, ayat-ayat Makiyah memiliki pesan-pesan
universal yang menjadi tujuan pewahyuan Al qur’an, sedangkan ayat-ayat
Madaniyah merupakan ayat-ayat yang bersifat kasuistik yang “ hanya’ diwahyukan
karena umat islam “di anggap”oleh Allah belum mampu melaksanakan pesan-pesan
ayat-ayat Makiyah itu, yang universal tersebut. Karena itu, pemahaman terhadap
nilai Al qur’an harus dikembalikan kepada muatan nilai yang dikatakan oleh
ayat-ayat Makiyah itu, bukan pada ayat-ayat Madaniyah karena sifatnya yang temporer.langkah
ini perlu dilakukan untuk mendekonstruksi teori naksh yang dikembangkan oleh
para mufassir klasik tradisional yang menganggap ayat Madaniyah yang seharusnya
berlaku karena diwahyukan lebih belakangan. Thaha menegaskan bahwa saat inilah yang di pandang tepat untuk
memberlakukan pesan-pesan ayat makiyah karena konteks temporalitas ayat-ayat
madaniyah tidak lagi relevan. Kini, dunia lebih menghargai pluralism, HAM,
kesetaraan, toleransi, dan nilai-nilai lainnya, sedangkan ayat-ayat yang berbicara
tentang nilai-nilai itu termasuk kategori Makiyah.
Di sisi lain,
metodologi yang digunakan oleh para mufassir feminis dalam memahami Al qur’an
relatif beragam. Riffat Hasan, orang pertama yang mengenal prespektif feminis
dalam memahami ayat-ayat Al qur’an, membangun metodologinya melalui dua
pendekatan: normatif dan emperies dalam melihat kenyataan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Dua pendekatan Riffat Hasan ini mengajukan metode
historis-kritis kontekstual untuk menemukan kemungkinan makna baru yang lebih
filosofis, berwawasan jender (kesetaraan), pembebasan, dan berkeadilan. Sebagai
langkah operasional praktisnya, Riffat Hasan membangun tiga prinsip metodologi:
pertama, memeriksa ketepatan makna kata dari berbagai konsep yang ada dalam
Al qur’an dengan pendekatan analisis semantic. Kedua, melakukan
pengujian atas konsistensi filosifis dari penafsiran yang ada. Ketiga,
menggunakan prinsip etis, yaitu prinsip keadilan yang merupakan pencerminan
keadilan Tuhan.
Berbeda dengan
Riffat Hasan, Amina Wadud Muhsin dalam buku Wanita dalam Al qur’an,
berupaya menerapkan pendekatan hermeneutic yang di gagas Fazlur Rahman dalam
memahami ayat-ayat Al qur’an. Tiga hal yang kemudian menjadi pertimbangan
utamanya dalam memahami Al qur’an adalah: pertama, kontekstual ayat yang
telah diwahyukan. Kedua, komposisi tata bahasa ayat, termasuk teknik
pengungkapan dan apa yang dikatakannya, ketiga, konteks keseluruhan ayat
itu ketika digunakan sehingga terlihat jelas ideal moralnya.
Berbeda dengan
rahman yang berupa keras mencari makna objektif dengan cara menghilangkan jarak
antara pembaca dan teks antara pembaca dan teks melalui teori “gandanya”,
Egineer agaknya lebih cenderung pada model hermeneutic yang di gagas Paul
Ricouer yang mencoba melihat adanya dua makna dalam Al qur’an upaya untuk
menarik masa sekarang kemasa lalu seperti yang dilakukan Rahman merupakan
sesuatu yang “tidak adil’ karena manusia memiliki problematika histois
kehidupan sendiri-sendiri. Karena itu Egineer lebih lebih sepakat untuk melihat
Al qur’an sebagai teks yang memiliki dua makna kontekstual historis dan
normatif.
Salah satu
contoh yang selalu ditekankan oleh Egineer adalah konsep purdah dalam Al
qur’an. Menurutnya, konsep normative purdah adalah untuk melindungi kesucian
dan kehormatan perempuan. Ayat tentang purdah turun berkaitan dengan sebuah
tirai yang ditarik oleh Nabi Saw. Untuk member batas antara Nabi Saw. Dan
sahabat Annas bin Malik yang berada dipintu masuk kamar pengantin Nabi Saw.
Jadi, ayat tentang purdah berkaitan erat dengan upaya melindungi privasi
pengantin, jadi ayat tentang purda berkaitan dengan upaya melindungi privasi
pengantin baru dari orang lain. Jelaslah bahwa pudah tidak lebih sebagai
pedoman etika atau moral yang berkaitan erat dengan cara menghadapi situasi
tertentu, menurut Egineer, konsep normatif purdah yang berlakuan adalah untuk
melindungi kesucian orang perempuan, jadi, harus pembedaan yang tegas antara
kesucian dan purdah itu sendiri. Kesucian tidak identik dengan purdah karena
perdah merupakan bentuk moralitas patikural yang berkembang dalam kondisi dan
masyarakat tertentu, sebaliknya kesucian merupakan morma, dan perdah hanyalah
sarana kontekstual untuk mencapai norma itu. Karena itu, pudah hanyalah sarana
kontekstual untuk untuk mencapai norma itu. Karena itu, purdah tidak harus
dibatasi oleh bentuk pakaian atau busana tertentu seperti yang dipahami selama
ini, tetapi bisa berkembang sejalan dengan realitas kontekstual empirik yang
terjadi.
Integrasi Mazhab, Metode, dan Corak
Sesungguhnya upaya mengintegrasikan mazhab, metode dan corak
penafsiran telah disadari oleh para mufassir. Upaya ini dilakukan berdasarkan
kenyataan bahwa semua mazdhab, corak dan metode tafsir tidak bisa dilepaskn
dari kelemahan-kelemahan kritik-kritik konstruktif yang antara lain, disampaikan
oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) dan Abdul Hamid Badya membuktikan
adanya kekecewaan sebagai mufassir terhadap para pendahuluannya.
Sebagai watak
buruk kaum muslimin adalah kebanyakan kitab tafsir yang ditulis oleh mufassirin
telah mendorong para pembacanya berkonsentrasi pada hal-hal
yang menyimpang dari tujuan mulia dan hidayah Al-Qur’an yang sangat
cemerlang. sebagian dari mereka ada yang asyik-masyuk menggeluti Al-Qur’an yang
membahasnya dari segi i’rab dan kaidah nahwu, ungkapan-ungkapan ilmu ma’ani,
dan istilah-isltilah bayani (kesustraan) semata, sedangkan sebagian lainnya ada
yang menyimpang jauh dari maksud Al-Qur’an karena Ayik-Masyuk dalam perdebatan
teologis dengan para teolog (al-Mutakallim), panggalian-pengalian (hukum) oleh ulama
ushul-fiqh dan istimbath hukum fuqaha yang taqlid (al-faqaha al-muqallidun),
fanatisme buta berbagai firqah dan mazhab. Tidak sedikit pula kasus yang
terjadi ketika ada sebagian mazhab yang menghambur-hamburkan periwayatan yang
terlalu banyak tanpa kemampuan untuk mengantisipasi dari kontaminasi berbagai
khurafat yang bersumber dari israliayt dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
mewarnai corak-corak penafsiran Al-qur’an dari berbagai disiplin ilmu pasti dan
ilmu alam yang sedikit menghambar, bahkan menghalangi para pembaca tasfir dari
tujuan dasar penurunan Al-quran oleh Allah.
Senada dengan pernyataan Muhammad Rasyid
Ridho, Abdul Hamid bin Badya pun menegaskan bahwa:
Menafsirkan
Al-quran berarti memahami makna-makna, hukum-hukum, hikmah-hikmah, adab-adab,
dan petunjuk-petunjuknya. Upaya memahami (tafhim) harus tunduk kepada
faham (Al-quran). Orang yang baik pahamnya akan baik pula pemahamannya (tafhim).
Sebaliknya, orang yang tidak baik fahamnya tidak akan baik pula pemahamannya
walaupun ia menuliskan pemahamnnya dalam berbagai jilid dan menyampaikannya
dalam ratusan tempat. Itulah yang diperbuat oleh orang-orang terdahulu dan para
penyiar Al-quran yang berusaha menetapkan (menanamkan) kepercayaan,
madzhab-madzhab, dan paham yang dibuat (shina’i- ghair- tabi’i) oleh
mereka sehingga menyia-nyiakan hidayah dan keindahan Al-quran itu sendiri.
Bahkan, itu semua semakin menjauhkan umat islam dari Al-quran, dan
mengesampingkan mereka dari hikmah-hikmah Al-quran dan rahasia-rahasianya.
Sebuah hadits
Nabi Saw. Menyatakan bahwa orang piawai adalah mereka yang mampu menghimpun
ilmu orang banyak. Jika pernyataan hadits ini dihubungkan dengan aliran,
metode, dan corak tafsir Al-quran, dapat dikatakan bahwa Mufassir yang
baik adalah Mufassir yang mampu mensinergikan berbagai aliran, metode,
dan corak penafsiran Al-quran, dan berusaha keras untuk mengembangkannya
sedemikian rupa untuk mencapai sasaran penurunan Al-quran.
1.
Intergrasi Madzhab Tafsir
Aliran tafsir sesungguhnya, lahir dan berkembang secara berkesinambungan.
Ia merupakan jawaban atas kebutuhan mendesak kaum muslimin yang tentu saja
jawaban itu memiliki kelemahan dan kelebihan tertentu. Kelahiran aliran tafsir
terkait erat dengan argumentasi-argumentasi tertentu, baik secara naqli maupun
aqli. Belum lagi bila memperhatikan kenyataan bahwa aliran-aliran tafsir
itu diprakarsai oleh nabi Muhammad Saw. Dan diikuti oleh para sahabat serta
generasi sesudahnya. Pengaruh yang memiliki andil sangat besar bagi keberadaan
ilu tafsir ialah situasi-kondisi masyarakat muslim.
Aliran tafsir bi al-diroyah, terutama tafsir Al-quran bi al-quran
dan tafsir al-quran bi as-sunnah,
misalnya, jelas-jelas landasannya dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. Yang
kemudian dipelihara dan dikembangkan oleh generasi sahabat dan tabi’in. Beriringan
dengan tafsir bi al-ma’stur, yang jumlahnya relatif terbatas, lahir pula
aliran tafsir bi ad-dirayah atau bi ar-ra’yi yang mengandalkan pembahasannya
pada kekuatan bahasa. Aliran tafsir ini pun lahir pada masa awal islam,
setidak-tidaknya pada generasi sahabat, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
Salah satu buktinya adalah bahwa Ali Bin
Abi Tholib (603-661 M) pernah menyampaikan makna dan maksud dua ayat Al-quran berdasarkan
ilmu munasabah yang kemudian melahirkan penafsiran yang sangat baik.
Kedua ayat yang dimaksud adalah surat Al-Baqorah (2) ayat 233 dan Al-Ahqof (46)
ayat 15.
Berdasarkan kedua ayat itu, Ali bin Abi Thalib riwayat
lain menyebutkan Ibnu Abbas, bukan Ali mengambil istimbath hukum bahwa masa
kehamilan
Berdasarkan kenyataan di atas, pemanduan aliran tafsir merupakan
keniscayaan yang mutlak. Alasannya, pertama, setiap aliran tafsir memiliki
kelemahan dan kelebihan. Kelebihan aliran tafsr itulah yang semestinya diambil
dan pada yang sama mengurangi atau
bahkan menghindari kelemahannya. Kedua, kelahiran ketiga tafsir itu, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
akan mampu melengkapi kekurangan yang ada dari setiap aliran tafsir. Ketiga,
dalam praktiknya, pemanduan dan pensinergian ketiga aliran tafsir sangat
dimungkinkan bukan saja berdasarkan pengelompokan ayat-ayat al-Qur’an karena
orientasi isi kandungannya, melainkan juga bisa digunakan untuk ayat yang sama
dengan melibatkan ketiga aliran tafsir itu.
Aliran-aliran tafsir yang ada, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersamaan, dapat digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya,
seseorang bisa saja lebih menggunakan tafsir bi ar-riwayah ketika
menafsirkan ayat-ayat akidah (kalam, teologi) dan ayat-ayat qashas, tafsir
bi ad-dirayah ketika menafsirkan ayat-ayat kauniyah atau ayat
al-ulum dan tafsir bi al-isyarah ketika
menafsirkan ayat-ayat ibadah dan akhlak. Sebaliknya, ketika ia menafsirkan
kelompok ayat-ayat tertentu, misalnya yatul ahkam, atau kelompok ayat
lainnya, ia bisa menafsirkannya secara komperhensif an holistik ketika
penafsirannya itu melibatkan ketiga aliran tafsir yang ada.
Pemanfaatan kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan pun perlu
memperhatikan skala prioritas dalam penggunaannya. Misalnya, setiap informasi
yang diterima akan sulit dikaji dan ditelaah jika semata-mata mengandalkan
kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur ketika menafsirkan ayat al-‘ulum atau
ayat al-kawniyh karena kitab tafsir bi al-manqul itu tidak
melibatkan ilmu-sains dan teknologi modern dalam penafsirannya. Kesulitan pasti
akan dialami oleh siapa pun yang berupaya menafsirkan ayat-ayat qashas atau kalam kalau hanya mengandalkan kitab tafsir
bi ar-ra’yi tanpa merujuk kitab tafsir bi ar-riwayah karena ilmu
al-qashas dan uraian tentang masa lampau sangat memerlukan penjelasan dari
generasi-generasi terdahulu yang notabene hanya dijumpai dalam tafsir bi
al-ma’tsur. Langkah itu pun hanya mungkin dicapai dengan pendekatan ilmu sima’i,
selain analisis yang mendalam.
Kesulitan yang sama sedikit banyak akan dialami mufassir yang
menafsirkn ayat-ayat akhlak atau
tasawuf jika hanya merujuk kitab tafsir bi ar-riwayah dan bi ad-dirayah,
serta mengabaikan referensi dari tafsir bi al-isyarah. Terkait erat
dengan masalah itu, kitab tafsir yang tergolong beraliran tafsir bi
al-isyarah tetap diperlukan yang tentu saja harus selektif dan ekstra
hati-hati. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada satupun kitab tafsir yang
sempurna karena setiap buku tafsir---beraliran tafsir apapun alasannya—pasti
terdapat kelemahan, selain keunggulannya, terlepas dari subyektifitas penulis
dan keterbatasan pengetahuannya. Catatan penting yang harus digarisbawahi bahwa
pemaduan atau pensinergian aliran tafsir dan segenap referensinya yang
dimilikinya---aliran dan buku tafsir apa pun---seyogyanya diposisikan sebagai
sarana dan prasarana, bukan sebagai sumber final, apalagi sebagai tujuan. Lalu,
sejak kapankah upaya pengembangan tafsir itu dilakukan.
Upaya pengembangan berbagai tafsir, sesungguhnya, telah dilakukan
oleh banyak mufassir periode mutaakhirin. Beberapa nama-nama
besar yang layak dicatat dan dipublikasikan sebagai berikut:
1.
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w. 1250 H/1843 M), muallif (pengarang)
kitab Fath al-Qadir al-Jami’ bayn Fannay ar-Riwayah memadukan antara
aliran tafsir bi al-riwayah di satu segi, dan mengaktifkan aliran tafsir
bi ad-dirayah di segi lainnya. Kemandirian Asy-Syaukani dalam menafsirkan
al-Qur’an, objektivitas dan toleransinya dalam memposisikan aliran tafsir dan
mazhab dalam fiqih membuat asy-syaukani dicintai oleh semua kalangan Islam,
Sunni dan Syiah. Bahkan, Ahl Sunnah dan Syiah itu menobatkan asy-syawkani
sebagai ulama dari kelompoknya. Karya-karyanya asy-Syawkani sebagai ulama dari
kelompoknya. Karya-karyanya asy-Syaukani, terutama kitab Fath al-Qadir, berkembang
luas di hampir seluruh dunia islam.
2.
Abu ats-Tsana’ Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud al-alusi al-Baghdadi
(1217-1270 H/1802-1853 M) yang menulis tafsir Ruh Ma’ani : Tafsir Al-Qur’an
al-‘Azhim wa as-Sab al-Matsani. Setiap pakar tafsir berbeda kecenderungan
untuk menggolongkan kitab tafsir ini. Sebagian menggolongkan tafsir Ruh
Ma’ani ini dalam aliran tafsir bil ar-ra’yi, dan sebagian lainnya
memasukkannya dalam tafsir bi al-isyarah. Sulit dipungkiri bahwa tafsir
ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi tafsir bi ar-riwayah karena
setiap kali menafsirkan ayat, mufassir ini selalu menyertakan penafsiran
berdasarkan ayat dan hadits. Misalnya, ketika al-Alusi menafsirkan ayat 1 surat
al-baqarah (2), yakni ayat alif-lam-mim, setelah mengemukakan pendapat pakar
bahasa, yakni al-khalil, al-alusi mengutip sebuah riwayat hadits dari ibnu
Mas’ud r.a. ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah saw telah bersabda “Barang
siapa yang membaca satu surat dari al-qur’an, baginya akan memperoleh satu
kebaikan dan kebaikan itu akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku
tidak mengatakan alif-lam-mim itu satu huruf, tetapi alifnya satu huruf,
lamanya satu huruf dan mimnya satu huruf”
Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut. Jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa (QS al-Baqarah, 2: 180).
Ketika
menafsirkan ayat 180 surat al-baqarah (2) di atas, al-Alusi mengutip pendapat
Ibn Abbas dan Mujahid r.a yang menafsirkan kata khair dengan arti mal
(harta). Demikianlah, al-Alusi selalu mengandalkan penafsirannya dengan
riwayat seperti layaknya kitab tafsir bi ma’tsur, selain menafsirkan
dengan pendekatan kebahasaan dan makna isyarat.
3.
Muhammad jamal al-Din al-Qasimi (1283-1332 H/1866-1914 M), penyusun
Tafsir al-Qasimi yang dinamakan Mahasin at-Ta’wil. Oleh para ahli
tafsir, kitab ini dinilai sebagai salah satu kitab yang sangatbesar andilnya
dalam pengembangan metode penafsiran al-qur’an, terutama upaya pemaduan antara
aliran tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi-al-manqul. Syakib arsalan
berpesan kepada seluruh generasi muslim yang berminat memahami syariat islam
untuk tidak mendahulukan bacaan-bacaan lain sebelum membaca kitab Mahasin
at-ta’wil karya al-Qasimi ini.
4.
Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373 H/1881-1945 M), penyusun
tafsir al-Maraghi. Popularitas karya al-maraghi yang satu ini di kalangan kaum
terdidik tidak perlu diragukan. Para muffasir al-qur’an di Indonesia pun hampir
tidak ada yang tidak merujuk tafsir ini. Demikian pula para staf pengajar tafsir
dan para mahasiswanya.
5.
Muhammad Ali ash-Shabuni, penyusun tafsir Shafwah al-tafasir.
Seperti yang tertera dalam jilidnya, kitab ini berupa himpunan dari kitab
tafsir bi ma’tsur dan tafsir bi ad-dirayah yang terpercaya: tafsir ath-Thabari,
Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir Ibn Katsir, dan tafsir al-Bahr al-Muhith. Sesuai
namanya, kitab ini berupaya menghimpun berbagai penafsiran yang di anggap
terbaik dari kitab tertentu yang menurut pengarangnya dipandang bermutu.
Ash-Shabuni berupaya menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dari beberapa aspek dengan
menggunakan pembahasan yang tidak terlalu panjang lebar, dan tidak terlalu
pendek.
6.
Wahbah az-Zuhaili, penyusun Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa
asy-Syari’ah wa al-Manhaj. Sesungguhnya, kitab ini tidak hanya
mengedepankan aspek aqidah dan syari’ah, tetapi juga mendekatinya dari beberapa
aspek lainnya yang menjadikan tefsir ini terasa sangat luas wawasan
pengarangnya. Karena luasnya wawasan itu, terkadang sering sulit dibedakan
antara penafsiran kelompok ayat yang satu dan kelompok ayat lainnya. Az-Zuhaili
selalu mengakhiri uraian tafsirnya dengan kajian fiqh al-hayat aw al-ahkam.
Jika kitab-kitab tafsir yang disebutkan di atas mewakili kalangan
Sunni (Ahl as-sunnah wa al-jama’ah) yang mendambakan obyektivitas dan
perpaduan, dua kitab tafsir berikut mewakili kalangan syiah yang juga objektif
dan berkualitas tinggi.
1.
Syekh Abu ‘Ali al-Fadhl bin al-Hasan ath-Thabarsi, penyusun kitab Majma’
al-bayan fi Tafsir al-Qur’an. Salah seorang ulama terkemuka Syiah Imamiyah
abad enam Hijrah ini berusaha menyerasikan antara aliran tafsir ad-dirayah
dan tafsir bi ar-riwayah. Dalam mengedepankan riwayat, kitab tafsir ini
tidak eksklusif, misalnya, lebih mengandalkan ulama syiah, khususnya Ahl
al-Bait, tetapi juga mengutip pendapat sahabat, tabi,in dan tabi’in at tabi’in
lain yang kredibilitasnya di bidang tafsir, hadits, dan fiqih diakui seperti
Ibn Abbas, Mu’adz bin jabal, jabir bin Abdillah, Atha’, Ikrima, Mujahid, Abu
Hanifah, dan asy-Syafi’i.
2.
Sayyid Muhammad Husayn al-Thabathaba’i penyusun tafsir al Mizan
fi al-Qur’an. Oleh penyusunnya, kitab
ini diikuti oleh subjudul Kitabun Ilmiyyah-Fanniyun, Falsafiyyun,
Adabiyyun, Tarikhiyyun, Rawaniyyun, Haditsun Tufassir al-Qur’an bi Al-Qur’an.
Jelas sekali bahwa subjudul itu menggambarkan pembahasan yang mendalam dengan
menggunakan pendekatan ilmiah, keilmuan, filsafat, kasusastraan, sejarah,
riwayat, sosial kemasyarakatan, hadits dan penafsirkan Al-qur’an dengan
Al-qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar