A.
Munculnya
Mazhab Tafsir
Munculnya mazhab-mazhab tafsir merupakan salah
satu persoalan epistimologi dalam madzahibut tafsir. Perlu ditegaskan
bahwa, Al-Qur’an diturunkan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Manusialah yang
menjadi objek bagi penurunan al-Quran agar ia menjadikannya sebagai petunjuk
dalam kehidupan. Al-Quran adalah kitab suci yang menjadi hudan (petunjuk)
bagi umat manusia.
Karena itu, Alquran menjadi “makanan” yang
harus “konsumsi” manusia, terutama orang-orang yang beriman (generasi para
sahabat). Saat itu,. Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang pertama “mengonsumsi”
(baca: memahami) Alquran karena beliau pula yang harus menjelaskan dan
menyampaikannya kepada umat manusia.
“Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Alquran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya’’ (QS An-Nahl, 16:44).
“Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Alquran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya’’ (QS An-Nahl, 16:44).
Setelah Alquran disampaikan dan dijelaskan
oleh Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabat, mereka lalu segera memahami dan
mengamalkan. Inilah yang kemudian disebut sebagai at-tafsir an-nabawi
(penafsiran nabi).
Penafsiran nabi pun hanya dapat ditelusuri
lewat literature kitab-kitab hadits berdasarkan riwayat-riwayat yang sampai
kepada para perawi hadits. Setelah
Rasulullah Saw wafat, para sahabat mulai menafsirkan Alquran dan mengajarkannya
kepada kaum muslimin.
Secara teologis-normatif, kebenaran Alquran
bersifat mutlak karena ia berasal dari Allah yang Mahamutlak. Namun, setelah
kebenaran mutlak Alquran itu masuk dan berpindah kedalam “disket” pemikiran
manusia, kebenarannya berubah menjadi relative. Bukankah mustahil terjadi bahwa
sesuatu yang relative (baca: alur pemikiran manusia) itu akan mampu menangkap
seratus persen dari kebenaran yang mutlak itu (Alquran)? Karena itu, meskipun
teks Alquran yang dibakukan dan dibukukan itu tunggal, pada kenyataannya, hasil
dari pemahaman dan penafsiran terhadap teks itu akan mengalami diversity
(keragaman), bahkan kadang-kadang terjadi kontroversi antara satu dan lainnya.
Keragaman semacam itulah yang menunjukkan adanya
relativitas. Boleh jadi, kebenaran-kebenaran yang bisa ditangkap oleh alur
pemikiran manusia ketika memahami Alquran bukanlah kebenaran (the truth)
dalam arti yang ‘’mutlak’’ dengan ‘’T’’ besar, tetapi hanyalah kebenaran (the
truth) dalam arti ‘t’ kecil, yakni part of truth.
Jadi, masih ada kebenaran atau makna lain yang
mungkin belum tertangkap oleh alur pemikiran manusia. Atas dasar itu, muncul
kemudian keragaman pemahaman atau penafsiran yang berbeda-beda antara satu
dengan lainnya yang oleh ulama berikutnya diklasifikasikan menjadi aliran
tertentu yang disebut madzahibut tafsir.
B.
Faktor-faktor
Penyebab Munculnya Madzhab Tafsir
Secara umum, berbagai mazhab tafsir itu muncul
karena dua faktor : internal (al-awamil ad-dakhiyyah) dan eksternal (al-awamul
al-kharijiyyah).
1.
Faktor –faktor
Internal (al-awamil ad-dakhiliyyah)
Faktor internal yang dimaksud adalah berbagai
hal yang ada dan terdapat dalam internal teks itu sendiri.
a.
Kondisi
objektif teks Alquran yang memungkinkan dan membuka peluang untuk dibaca secara
beragam. Dalam banyak literature ‘ulumul Quran ditegaskan bahwa Alquran
diturunkan dengan berbagai versi bacaan atau yang dikenal dengan sab’atu ahruf.
Hal ini
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbad
bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw, berkata: “ Jibril membacakan satu huruf, dan
dia membacakan lagi sebelum aku menyampaikan tambahan (bacaan). Maka , dia pun
menambahkan kepadaku sampai berakhir pada tujuh huruf”
Ulama berpendapat ketika mereka memaknai
ungkapan sab’atu ahruf. Di antara mereka ada yang mengartikan tujuh
bahasa, tujuh ilmu, tujuh arti, tujuh bacaan dan tujuh bentuk.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika
kemudian muncul berbagai versi bacaan (wujuhul qira’at) yang cukup
populer dan dinisbatkan kepada imam tujuh : Abu Amir bin al-A’la, Ibnu Katsir
al-Maliki, Nafi bin Nu’aim, ‘Ashim bin Hamzah al-Kisai yang kemudian dikenal
dengan nama qira’ah sab’ah.
Menurut Prof. Dr. Hasbi ash-Shiddiqiey,
sab’atu ahruf yang diartikan sebagai sab’atu qira’ah sesungguhnya lemah karena,
sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-ayat
Alquran, masih ada ahli qira’ah lain, seperti Abu Ja’far Yajid, Ya’qub bin
Ishaq, dan Khallaf bin Hasyim yang qira’ahnya juga dipakai.
Terlepas dari adanya perbedaan memaknai
ungkapan sab’atu ahruf, adanya beberapa varian dalam pembaca Alquran
merupakan sebuah keniscayaan. Memang saat itu, teks Alquran sangat terbuka
karena belum memiliki tanda titik harakat. Ketiadaan tanda dan harkat ini,
tentu saja, berpotensi melahirkan pemahaman tafsir yang beragam.
Bagi
Muhammad Arkoun, cendikiawan yang sangat kritis asal mesir, berbagai varian
tentang jenis bacaan tersebut member isyarat bahwa Alquran dapat ditafsirkan
dengan berbagai cara. Sayangnya, kaum muslimin yang hanya berpegang pada satu
pembacaan dan penafsiran tertentu tidak menyadari berbagai kerumitan dalam
pemahaman Alquran, serta mengabaikan kedalaman dan kakayaannya.
Penelitian Hasanuddin A.F. dalam disertasinya
yang berjudul perbedaan Qira’at dan pengaruhnya terhadap istambath Hukum dalam
Alquran menyebutkan bahwa perbedaan qira’ah (meskipun tidak semuanya) terdapat
dalam istambath al-ahkam.
Ini berarti kondisi objektif teks Alquran yang
memungkinkan pembacanya beragam berpotensi besar untuk melahirkan produk hukum
dan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan ini tentu saja akan berimplikasi
pada lahirnya mazhab-mazhab fiqih dan aliran teologi seperti yang dikenal
sekarang. Dari sisi fiqih, ada mazhab Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali,
sedangkan dari sisi teologi, ada madzhab Sunni, Syi’I, Khawarij,Qodariyah,, dan
Jabariyah.
b.
Kondisi
objektif dari kata-kata (kalimat) dalam Alquran yang membuka peluang bagi
penafsiran yang beragam karena dalam Alquran acapkali ditemukan adanya satu
kata yang mempunyai banyak arti. Para ahli bahasa Arab mengatakan bahwa bahasa arab itu sangat kaya makna,
bahkan tidak jarang satu kata mengalami perkembangan arti yang sangat banyak.
Karena itu, ahli bahasa menyebut bahasa arab sebagai arqa al-lughah as-samiyah,
nahasa yang paling tinggi.
Di dalam bahasa arab tidak pernah ditemukan
satu katapun yang hanya mempunyai satu arti atau satu pengertian.
Kadang-kadang, suatu kata dapat berarti majaz dan haqiqi. Itulah salah satu
keunikan bahasa Arab yang boleh jadi tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa lainnya
didunia.
Misalnya, kata dharaba (ingat satu kata
dalam bahasa arab bisa bermakna ganda). Menurut Amina Wadud dengan merujuk
kamus Lisanul ‘arab, penafsiran kata dharaba dalam ayat tentang kasus nusyuz
(pembangkangan istri kepada suami) yang berbunyi fadhribuhunna, tidak
harus berarti “ memukul” sebagai tanda penggunaan paksaan atau kekerasan karena
kata tersebut memiliki banyak arti.
Kata dharaba dapat pula berarti “
membuat” atau “ memberikan contoh” seperti ayat wadharaba Allahu matsalan
(dan Allah membuat perumpamaan atau contoh). Kata dharab juga bisa
digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan.
Bahkan lebih dari itu, penulis sendiri
mencatat bahwa kata dharaba ada yang bermakna a’radha ‘anhu wa sharafa
(berpaling dan meninggalkan untuk pergi). Ada pula yang berarti mana’a ‘anhu
at-tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya.
Berdasarkan makna semantis itu, sesungguhnya
masih banyak kemungkinan yang muncul tentang penafsiran kata fadhribuhunna
(QS. An-Nisa’, 4:34, kata fadhribuhunna dapat ditafsirkan dengan arti’’
berpalinglah dan tinggalkan mereka, janganlah mereka (para istri) diberi nafkah
atau biaya hidup (jika mereka masih nusyuz). Inilah salah satu contoh aliran
tafsir feminis yang oleh sebagian orang dipandang lebih dapat menghindarkan
kekerasan (fisik atau pemukulan) dalam keluarga ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antara
suami-istri.
Ada pula yang memaknai potongan ayat tersebut
dengan arti “jika istrimu membangkang (nusyuz) ajaklah ia jalan-jalan pergi
untuk berekreasi sehingga pikirannya menjadi cerah dan segar kembali. Setelah
itu, niscaya ia akan taat kepadamu dan kehidupan keluarga pun akan lebih
harmoni dan romantic kembali.
Gaya penafsiran semacam ini merupakan gaya
penafsiran baru (mazhab tafsir baru) yang dikenal dengan mazhab tafsir
feminism. Ia sesungguhnya merupakan perspektif baru dalam penafsiran Alquran
ingin memposisikan laki-laki dan perempuan secara equal (setara) dan jauh dari
bias patriakhi yang menyebabkan ketidakadilan jender dalam kehidupan keluarga,
sosial dan politik.
c.
Adanya
ambiguitas makna dalam Alquran yang terjadi karena, adanya kata-kata musytarak
(bermakna ganda) seperti kata al-quru’ (bisa bermakna suci, dan bisa
pula haid). Juga ada kata-kata yang dapat diartikan secara hakiki dan menjazi
seperti lamasa dalam ayat alamastum an-nisa yang bisa diartikan menyentuh atau
al-ijma’ (bersetubuh).
2.
Faktor-faktor
Eksternal (al-‘Awamil al-Kharijiyyah)
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang
berada di luar teks Alquran,yaitu kondisi subjektif mufassir, seperti
sosio-kultural, politik dan predjudice yang membentuk dan melingkupi mufassir.
Perspeketif dan keahlian atau disiplin ilmu yang ditekuni oleh seorang mufassir
pun merupakan faktor yang sangat signifikan, termasuk pula riwayat-riwayat atau
sumber yang menjadi rujukan dalam penafsiran sebuahayat. Oleh Amina Wadud,
salah seorang tokoh feminism muslimah yang lahir dan hidup di Amerika Serikat,
fenomena ini dikenal dengan istilah priortext.
Faktor eksternal lain yang mempengaruhi
munculnya mazhab-mazhab tafsir adalah persinggungan dunia Islam dengan
peradaban dunia di luar Islam, seperti Yunani, Persia, Romawi, Dan Barat.
Faktor eksternal yang paling signifikan justru berkaitan erat dengan politik
dan teologis karena munculnya aliran pemikiran, termasuk dalam penafsiran,
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik.
Pada perkembangan sejarah berikutnya, muncul
pula aliran teologi seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan Ahlus sunah
wal jama’ah. Mereka selalu berusaha mencari legimitasi dan justifikasinya dari
Alquran.
Harus disadari bahwa aliran-aliran itu tidak muncul
semata-mata karena persoalan teologis, tetapi juga terkait erat dengan
persoalan politik. Untuk bisa meraih
dukungan public, setiap kelompok berusaha keras mencari legitimasi dan
justifikasinya dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran. Bagi mereka, merujuk
kepada teks suci keagamaan (termasuk Alquran) berarti akan mendapat legitimasi
dan justifikasi tertinggi. Oleh Peter Berger, legitimasi dan justifikasi
semacam disebut dengan istilah sacred canopy (langit-langit kecil).
Pada masa khalifah Abbasiah, terutama setelah
ilmu nahwu dan fiqih dibukukan, ulama tafsir (mufassir) berusah mendekati
Alquran sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmunya. Lalu, muncullah
tafsir-tafsir yang lebih berkonsentrasi pada aspek bahasa seperti ma’anil
Qur’an karya al-Kisai, ma’anil Qur’an karya al-Farra’ dan yunus Ibnu habib.
Muncul pada berbagai corak penafsiran fiqih
seperti Ahkamul Quran karya Abu Bakar Ar-Razi, Ahkamul Qur’an karya Imam
asy-Syafi’i. Bahkan, kemudian muncul pula tafsir-tafsir bercorak sufi, ilmi,
adabi, ijtima’, dan corak yang terbaru adalah tafsir feminism. Fenomena
tersebut menunjukkan betapa penafsiran memang tidak pernah final sehingga
selalu terbuka terhadap hadirnya berbagai kemungkinan penafsiran.
Dalam hal ini, sikap menerima perbedaan
merupakan keniscayaan jika kita menginginkan pluralism tumbuh subur dalam
kehidupan umat manusia. Bukankah pluralism penafsiran merupakan sunnatullah
yang harus disikapi dengan semangat tasamuh (toleran)? Fanatisme yang sempit
dan kering dari semangat sikap tasamuh akan melahirkan sikap the truth claim
yang berlebihan bahkan, pada batas-batas tertentu, bisa menyebabkam “syirik”
pemikiran, dan banyak orang yang kemudian memutlakkan hasil penafsiran yang
sesungguhnya bersifat relative.
C.
Objek dan
Metode Kajian
Madzahibut tafsir bisa pula
disebut sebagai sejarah tafsir yang dipandang sebagai disiplin ilmu tersendiri
sehingga harus mempunyai objek kajian tersendiri seperti halnya ilmu lain.
Dalam prespektif filsafat ilmu , sebuah pengetahuan dapat dikatakan sebagai
ilmu jika ia memiliki objek kajian dan mempunyai epistimologi yang jelas
sehingga dapat diverifikasikan dan diklasifikasikan secara jelas.
Ilmu itu berbeda dari pengetahuan karena ilmu
merupakan akumulasi pengetahuan yang sistematis. Dalam hal ini, madzahibut tafsir
bisa pula disebut sebagai ilmu sejarah madzhab-madzhab tafsir karena mempunyai
objek kajian tertentu dan metode tersendiri dalam merumuskan system
pengetahuannya.
Objek kajian madzahibut tafsir dapat dipetakan
menjadi dua: objek material dan formal. Objek material adalah bidang
penyelidikan sebuah ilmu yang bersangkutan. Jadi, objek material dari kajian
madzahibut tafsir adalah data-data sejarah berupa produk-produk tafsir dan
sejarah penulisannya yang sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad Saw. hingga
kini.
Karena
itu, tidaklah mengherankan jika Muhammad Husain adz-Dzahabi ketika mengkaji
persoalan madzahibut tafsir menyebut kitabnya dnegan nama at-tafsir wal
mufassirun. Objek formalnya adalah sudut pandang ilmu terhadap objek
materialnya.
Objek material yang satu dan sama bisa
dipelajari oleh berbagai ilmu yang setiap ilmu itu memandang objeknya dari
sudut yangberlainan. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa objek formal dari kajian
madzahibut tafsir adalah kecenderungan, corak, aliran-aliran,
pendekatan-pendekatan penafsiran yang muncul sejak Alquran itu ditafsirkan dan
dikonsumsi oleh para mufassir dan umat Islam.
Ketika mengkaji madzahubut tafsir,
seseorang dapat melakukannya dengan pendekatan sejarah ( hisdtorical approach),
terutama dalam hal pemetaan mazhab-mazhab tafsir yang telah berkembang.
Salah satu cirri pendekatan sejarah adalah
melacak dan menjajaki akar-akar historisnya, proses terjadinya sebuah
penafsiran, dan berusaha melakukan kategorisasi berdasarkan kronologi waktunya,
kecenderungan, dan karakteristik dari setiao aliran tafsir yang muncul.
Seseorang juga dapat melakukan kajian dengan
pendekatan filosofis yang lebih menitikberatkan pada aspek subtansi pemikiran
dan struktur fundamental dari produk penafsiran yang ada. Masih banyak
pendekatan lain yang bisa dilakukan dalam mengkaji madzahibut tafsir seperti
jender, fenomenologi, sosiologi, dan antropologi.
D.
Signifikansi Kajian Mazhab Tafsir
Kajian terhadap madzahibut tafsir, secara
aksiologis, memeiliki arti yang sangat penting, terutama bagi mahasiswa,
peminat studi Alquran dan umat Islam. Mengkaji madzahibut tafsir berarti juga
mengkaji sejarah pertumbuhan dan perkembangan penafsiran tafsir, serta meneliti
bagaimana seseorang memahami dan menafsirkan Alquran. Bagi umat Islam,
mengetahui sejarah, apalagi sejarah yang terkait dengan generasi dari masalalu
hingga sekarang tentang kajian dan pemahaman mereka terhadap Alquran, merupakan
langkah yang sangat strategis bagi pemberdayaan umat.
Dengan mengkaji madzahibut tafsir, seseorang
pengkaji akan banyak memperoleh informasi tentang berbagai ragam, corak, dan
kecenderungan seseorang ketika ia menafsirkan Alquran.
Signifikansi
kajian terhadap madzahibut tafsir bagi kemajuan dan keberdayaan umat Islam,
antara lain, sebagai berikut:
1.
Membuka
wawasan dan menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran
Alquran. Seseorang yang tekun dan serius dalam mengkajimadzahibut tafsir
cenderung menjadi orang yang terbuka dan luas wawasannya karena ia lebih banyak
mengetahui beragam corak penafsiran yang berkembang.
2.
Mngembangkan
dan menyadarkan adanya pluralitas dalam penafsiran Alquran. Lebih-lebih ketika
isu pluralisme menjadi sesuatu yang sangat populer, dan terus digulirkan. Dalam
hal ini, kajian terhadap berbagai aliran dan corak pemikiran penafsiran Alquran
akan menyadarkan seseorang tentang betapa penting pemahaman terhadap pluralitas
yang merupakan sunnatullah dalam kenyataan hidup.
Orang yang
menyadari adanya pluralitas niscaya tidak akan mengklaim bahwa dirinyalah
sebagai satu-satunya pemegang otoritas kebenaran. Bagaimanapun, klaim kebenaran
(truth claim) akan menyebabkan seseorang menjadi eksklusif dan tidak terbuka
atas kritik atau memahami pemikiran diluar dirinya. Sah-sah saja melakukan
truth claim, namun sikap terbuka merupakan sebuah proses yang panjang,
simultan, dan tidak boleh mengenal titik-henti.
Melalui kajian
madzahibtu tafsir, seseorang akan bisa melihat betapa banyak ragam
penafsiran orang dalam memahami Alquran yang diklaim sebegai kebenaran mutlak.
Padahal antara penafsiran Alquran adalah pemilik kebenaran mutlak karena Ia
berasal dari sisi Ilahi (Yang Mahamutlak), tetapi penafsiran Alquran bersifat
relative dan nisbi karena ia berasal dari makhluk yang serba nisbi.
3.
Menghindarkan
sikap taqdis al-afkar. Pentingnya studii madzhibut tafsir adalah untuk
menghindari sikap taqdisul afkar ad-diniyyah (pensakralan pemikiran keagamaan),
termasuk mensakralkan penafsian orang tentang Alquran.
Namun, ketika
Alquran dipahami dan didereflesikan oleh pemikiran manusia, sesungguhnya ia
tidak lagi dalam posisi sacral. Ia sudah berubah menjadi pemikiran yang
bersifat relative dan tidak perlu disakralkan yang karennaya nyaris tidak
dikritik sama sekali.
Sebagai sebuah
ilmu, tafsir tidak perlu dan tidak boleh menjadi keinginan untuk mengembangkan
menjadi lebih baik. Atas dasar inilah kemunculan tradisi untuk menyampaikan
kritik konstruktif terhadap produk-produk pemikiran tafsir dianggap kurang
relevan dengan situasi-kondisi zamannya.
0 komentar:
Posting Komentar