1.
Hadits sebagai bayan
a.
Dasar normatif dan
filusufis
Al-Qur’an dan
hadits sebagai sumber hukum dan ajaran dalam islam tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya. Al qur’an sebagai sumber hukum yang utama dan
hanya memuat dasar-dasar yang bersifat umum bagi syari’at islam, tanpa
perincian secara detail, kecuali yang sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat
umum itu, yang tidak pernah berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak
pula berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan. Al qur’an akan
tetap kekal dan kebatilan tidak akan pernah masuk didalamnya. Ia akan tetap
menjadi penuntun bagi kebaikan masyarakat, meski bagaimanapun keadaan ligkungan
dan tradisinya. Di sisi lain, di dalamnya kita juga dapat menemukan
ajaran-ajaran baik yang terkait dengan akidah, ibadah, syari’at, adab, sejarah
umat terdahulu, etika umum dan akhlak.
Karena keadaan Al qur’an yang demikian itu, maka
hadits sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al qur’an, tampil sebagai
penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al qur’an yang bersifat global,
menafsirkan yang masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal,
membatasi yang masih mutlak (muqayyad), menghususkan yang umum (‘amm),
dan menjelaskan hukum-hukum serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa
hukum-hukum yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh Al qur’an. Hal ini
sejalan denga firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُّزَلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ
“……. Dan Kami turunkan kepadamu
Al qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka berpikir.” (Q.S. al
Nahl/16:44).
Atas dasar
inilah, maka Allah SWT. menjadian ketaatan kepada Rasulullah, sebagai ketaatan
kepada Allah SWT.[1][2] dan mewajibkan bagi kaum muslimin untuk mengikuti apa
yang di perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW..[2][3] Karena Rasulullah ketika
menjelaskan ayat-ayat Al qur’an kepada para umatnya tidak mendasarkan diri pada
kehendak hawa nafsunya, melainkan beliau mengikuti kehendak wahyu yang telah
dianugrahkan Allah kepadanya. Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Katakanlah:
“Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan
tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku.” (Q.S. al An’am/6:50).
b.
Macam-macam bayan
1)
Bayan Taqrir
Bayân
taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan
mengokohkan apa yang telah ditetapkan al-Qur`ân, sehingga maknanya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang
sudah jelas maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum
muslimin salah menyim-pulkan. Contoh: Firman Allah SWT:
فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa yang menyaksikan
bulan ramadlan maka hendaklah shaum. (Qs.2:185)
Ditegaskan oleh Rasulullah SAW:
صُومُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
Shaumlah kalian karena
melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena melihat tanda
awal bulan syawal. Hr. Muslim.
Hadits di atas
dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama
dengan al-Qur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
فا جتنبوا الرجس من الأوثن واجتنبوا قول الزور
Maka jauhilah olehmu
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (QS
Al-Hajj : 30)
Kemudian Rosulullah
SAW dalam sabdanya menguatkan ketetapan hukum yang termaktub dalam firman Allah
tersebut. Beliau bersabda :
عن عبد الرحمن بن ابى بكرة عن ابيه رضي الله عنه قال : قال النبي ص م : الآ
انبئكم بأكبر الكبائر ثلاثا قالوا بلى يا رسول الله, قال الشراك با الله و عقوق
الوالدين و جلس وكان متكئا فقال الآ وقول الزور (روه البخرى)
Dari Abdurrohman Bin
Abi Bakroh dari ayahnya ra. Dia berkata : Nabi SAW Bersabda : “maukah kalian
aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar?” (Rosulullah mengulanginya
sampai tiga kali). Para sahabat menjawab : “mau wahai Rosulullah”. Rosulullah
SAW bersabda :”menyekutukan Allah dan durhaka kepada dua orang tuanya, saat itu
Rosulullah sedang bersandar lalu beliau bersabda : “awas, jauhilah perkataan
dusta” (HR. al-Bukhori)
2)
Bayan Tafsir
Bayân tafsir berarti
menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya global atau
mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi bayân tafsir
tersebut terdiri dari (1)
tafshîl- al-mujmal, (2) taqyid al-muthlaq, (3) takhshish al-’âm.
1.
tafshîl- al-mujmal,
Hadits yang
berfungsi tafshîl- al-mujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang
maknanya masih global. Contoh:
- Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung
memerintah shalat, tapi tidak dirinci bagaimana operasionalnya, berapa raka’at
yang harus dilakukan, serta apa yang harus dibaca pada setiap gerakan.
Rasulullah SAW dengan sunnahnya memperagakan shalat secara rinci, hingga beliau
bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى. رواه الجماعة
Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku sedang shalat. Hr. Jamaah
- Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan
rincian pelaksanaannya. Ayat haji umpamanya menandaskan:
وَأَتِمُّوْا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ ِلله
Sempurnakanlah
ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah. (Qs.2:196)
Rinciannya ialah
pelaksanaan Rasulullah dalam ibadah haji wada’ dan beliau bersabda:
خُذُوْا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ.
Ambillah dariku manasik
hajimu. Hr. Ahmad, al-Nasa`I, dan al-Bayhaqi.
Bayan Taqyid yaitu
menjelaskan ayat-ayat Al qur’an yang bersifat mutlak. Sedangkan contoh hadits
yang membatasi (Taqyid) ayat-ayat Al qur’an yang bersifat mutlak, antara lain
seperti sabda Rasulullah SAW.
“Rasulullah SAW di datangi seseorang
dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan
tangan .”
Hadits ini men-taqyid Q.S Al Maidah
:38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِ يَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ والله عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah”
2. Tabyîn al-Musytarak
Tabyîn
al-Musytarak ialah menjelaskan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata
bermakna ganda. Contoh: Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ
قُرُوءٍ
Wanita
yang dicerai hendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru. (Qs.2:228)
Perkataan قُرُوءٍ Quru adalah bentuk jama dari
قَرْءٍ Qar’in. Dalam bahasa Arab antara satu suku bangsa
dengan yang lain ada perbedaan pengertian Qar’in. Ada yang mengartikan
suci ada pula yang mengarti-kan masa haidl. Mana yang paling tepat
perlu ada penjelasan. Rasul SAW bersabda:
طَلاَقُ الأَمَةِ تَطلِقْتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ.
Thalaq
hamba sahaya ada dua dan iddahnya dua kali haidl. Hr. Abu dawud,
al-Turmudzi, dan al-Daruquthni.
Dalam ketentuan
hukum, hamba sahaya itu berlaku setengah dari orang merdeka. Jika hadits ini
menetap-kan dua kali haidl, maka menurut sebagian pendapat, perkataan حَيْضَتَانِ haidlatâni itu merupakan penjelas dari
Qar`in yang musytarak, sehingga kesimpulannya bahwa wanita yang
dicerai itu iddahnya tiga kali haidl.
Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang
mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.Contoh:
1) Firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ المَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الخِنْزِيْرِ
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi. (Qs.5:3)Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:
أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا المَيْتَـَتَانِ الحُوتُ وَالجَرَادُ
وَأَمَّا الدَمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang
dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. sedangkan
yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa. (Hadits Riwayat
Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.
Contoh:
1) Firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ المَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الخِنْزِيْرِ
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi. (Qs.5:3)Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:
أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا المَيْتَـَتَانِ الحُوتُ وَالجَرَادُ
وَأَمَّا الدَمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang
dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. sedangkan
yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa. (Hadits Riwayat
Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.
3)
Bayan Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan al tasyri’, adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al qur’an,
atau dalam Al qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Abbas Mutawalli
Hammadah juga menyebutkan bayan ini dengan : Za’id ala al kitab al karim[3][6] hadits Rasulullah SAW. dalam segala
bentuknya (baik yang qauli, fi’li, maupun taqriri) berusaha menunjukan suatu
kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak tedapat
dalam Al qur’an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukan bimbingan dan
menjelaskan persoalannya.
Hadits Rasulullah yang termasuk dalam kelompok ini,
diantaranya hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita
bersaudara (antara istri dengan bibinya) hukum shuf’ah, hukum pezina wanita
yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.[4][7]
أَنَّ رَ سُوْلَ الَلّهِ صَلَّى
الَلّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِمِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعَا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّأَوْ
عَبْدٍذَكَرٍأَوْأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ(رواه مسلم)
“Bahwasannya Rasulullah SAW. telah mewajibkan zakat
fitrah kepada umat islam kepada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau
gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan
muslim.” (HR. Muslim).
Hadits Rasulullah SAW. yang termasuk bayan al tasyri’
ini wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadits-hadits yang
lainnya. Ibnu Al qoyyim berkata, bahwa hadits-hadits Rasulullah SAW. yang
berupa tambahan terhadap Al Qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus
ditaati, tidak boleh menolak atau menyinggung karirnya, dan ini bukanlah sikap
Rasulullah mendahului Al qur’an melainkan semata-mata karena perintahNya.
Bayan Naskhi
Ketiga bayan yang pertama yang telah
diuraikan diatas disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga
ada sedikit perbedaan definisinya saja. Untuk bayan jenis keempat ini terdapat
perbedaan yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits
sebagai nasikh terhadap berbagai hukum Al qur’an dan ada juga yang
menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa
berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan),
dan taghyir (mengubah). Banyak yang mengatakan bayan al nasakh ini
banyak melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan
pendapat dalam menta’rifkannya. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh
ulama ialah hadits yang berbunyi :
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“ Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits diatas menurut mereka menasakh isi firman Allah
STW:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَاحَضَرَ اَحَدَكُمْ اَلْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرٍاالوَصِيَّة
ُللِوَالدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ باِلْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلىَ الْمُتَّقِيْنَ
“ Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh/2:180)
Sementara yang menolak nasakh ini
adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun nasakh tersebut
dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar
pengikut madzhab zahiliyah dan kelompok khawarij.