A.
SUNNAH NABI: SEMUANYA BENAR, TIDAK ADA KEBATILAN
Sudah
menjadi kebenaran yang aksiomatik bahwa sunnah Nabi sedikit pun tidak
menyangkut perkara batil yang dilarang Allah SWT. perbuatan, perkataan, dan
ketetapan beliau telah dijamin kebenarannya oleh Allah. Karena Nabi adalah suri
tauladan semua umat manusia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب: 21)
Artinya:
“Sesungguhnya pada Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik bagimu.”
Abdullah
bin Amr bin al-‘Ash selalu setia mencatat segala sesuatu yang didengarnya dari
Rasulullah, sampai-sampai orang Quraisy membentaknya seraya berkata, “Engkau
menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Muhammad, padahal Muhammad
adalah manusia biasa yang juga berbicara dalam keadaan marah dan ridha,
hentikan kegiatanmu itu!” Amr lalu bertanya kepada rasulullah tentang tuduhan
orang Quraisy itu. Rasulullah kemudian menunjuk mulutnya sambil bersabda:
اُكْتٌبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ
مَايَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ (رواه أبو داود و أحمد)
Artinya:
“Tulislah (apa yang engkau dengar). Demi Dzat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidaklah keluar darinya (Muhammad) kecuali kebenaran.” (HR. Abu
Dawud dan Ahmad)
Sunnah
adalah berbagai hal tentang Nabi yang turun dari Allah melalui wahyu, seperti
hadits yang berisi tentang Allah, malaikat, dan lainnya yang termasuk kategori
di luar alam kasat mata (ghoib), termasuk juga hadits tentang berita dari Allah
bahwa Dia mewajibkan anu, mengharamkan anu, atau memakruhkan anu.
Ada hadits yang menjelaskan hal itu, seperti hadits Iyadh bin Himar:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ
تَوَاضَعُوْا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى
أَحَدٍ (رواه مسلم و أبو داود وابن ماجه)
Artinya: “Allah
telah membisikkan (mewahyukan) kepadaku agar kalian bersikap rendah diri,
hingga di antara kalian tak ada seorang pun merasa sombong, atau bersikap zalim
terhadap orangg lain” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Adapun sebagian perbuatan Nabi seperti mencela beberapa perbuatan
sebagaimana dalam qishat al-asra (kasus penarikan tebusan dari tawanan),
kisah Zainab dan lainnya, hal itu lebih sebagai perbuatan yang khilaful aula
(tidak termasuk yang paling utama) dan termasuk kategori hasanati al-abrar,
sayyiati al-muqarrabin (kebaikan orang-orang yang berbuat baik, tetapi
keburukan orang-orang yang sangat dekat dengan
Allah).
Oleh karena itu, para ulama menamai al-Quran sebagai wahyu
al-matluw (wahyu yang tertulis), sedangkan sunnah sebagai al-wahyu ghair
al-matluw (wahyu yang tidak tertulis).
Termasuk
ke dalam sunnah adalah hasil ijtihad Nabi. Fakta membuktikan bahwa Nabi pernah
melakukan ijtihad pada kebanyakan situasi dan kondisi dengan metode qiyas
dan i’tibar, atau menjaga kemaslahatan (mashalihul mursalah) atau
seperti pernyataannya kepada penanya. Adapun jika hasil ijtihad beliau salah,
Allah tentu tidak akan mendiamkannya sehingga diikuti oleh manusia, Allah akan
menjelaskan kepada Nabi mana yang benar.
Adapun
orang yang tidak menerima adanya ijtihad Nabi menggunakan dalil:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَى.
إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya: “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. al-Najm: 3-4)
Padahal yang
dimaksud di dalam ayat ini adalah al-Qur’an, bukan perkataan Nabi. Kalau kita
sepakat bahwa yang dimaksud dengan wahyu di sini bukan al-Quran semata, sama
sekali tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah melakukan
ijtihad.
B.
URGENSI DAN KEHUJJAHAN SUNNAH
Dalam
Islam, sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber referensi
atau pandangan hidup. Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi
langsung seluruh kandungan Al-Qur’an
1.
Dalil
Al-Qur’an
Allah
selain mewajibkan umat Islam taat kepada-Nya, juga mewajibkan taat kepada
rasul-Nya. Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء: 59)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisa’: 59)
Selain itu,
Allah juga menyamakan antara taat kepada Nabi sebagai bentuk taat kepada Allah:
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (النساء: 80)
Artinya: “Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka” (al-Nisa’: 80)
Ketaatan itu
dapat menimbulkan petunjuk dan hidayah:
وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (الأعراف: 158)
Artinya: “Dan
ikutilah dia supaya kalian mendapat petunjuk” (al-A’raf: 158)
2.
Dalil
Sunnah
Ada
banyak hadits yang mewajibkan kita taat kepada Rasul. Sebagai contoh adalah
hadits riwayat Abu Hurairah berikut ini:
Rasulullah
bersabda:
كُلُّ
أُمَّتِى يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ
وَ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَاِنْى فَقَدْ
أَبَى (رواه البخارى)
Artinya: “Semua
umatku akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau. Dikatakan kepada beliau,
“Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Siapa yang taat
kepadaku ia akan masuk surga, dan orang yang tidak taat kepadaku adalah orang
yang tidak mau masuk surga.” (HR. Al-Bukhori)
Ada
juga hadits senada yang dikatakan Nabi ketika sedang haji wada’, yakni riwayat
Ibnu Abbas yang dinilai shohih oleh al-Hakim serta disepakati al-Dzahabi:
قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ
اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
(رواه الحاكم)
Artinya: “Telah
aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya,
kalian tidak akan tersesat, yakni Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya”
(HR. Hakim)
Kami
anggap penting di sini menyebutkan hadits yang berisi peringatan terhadap ingkar
sunnah, yaitu mereka yang dalam beragama memiliki anggapan cukup
menggunakan al-Quran saja tanpa memerlukan penjelasan sunnah. Hadits itu
adalah:
أَلَا إِنِّى أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ
مَعَهُ أَلَا يُوْشِكَ رَجُلٌ شَعْبَانُ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُوْلُ عَلًيْكُمْ بِهَذَا
الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوْهُ وَمَا وَجَدْتُمْ
فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوْهُ (رواه أحمد و أبو داود)
Artinya:
“Ingatlah sesungguhnya aku diberikan kitab dan yang sepadan dengannya. Ingatlah
seorang laki-laki yang bertelekan berkata, “kalian harus berpegang kepada
al-Quran! Sesuatu yang halal yang kalian temukan di dalamnya, maka halalkanlah.
Sesuatu yang haram yang kalian temukan di dalamnya, maka haramkanlah.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Oleh
sebab itu, Nabi menganjurkan agar kita menyampaikan dan menyebarkan sunnah,
seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi berikut:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا
فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ (رواه الترمذى)
Artinya: “Allah akan merahmati orang yang mendengar sesuatu dariku
lalu menyampaikannya (kepada orang lain) sebagaimana ia mendengar dariku.
Sedikit sekali orang yang hafal hadits daripada pendengarnya.” (HR.
Al-Tirmidzi)
3.
Ijma’
Sahabat dan Generasi Sesudahnya
Para
sahabat telah sepakat atas kehujjahan sunnah Nabi. Mereka menjadikannya sebagai
referensi cara pandang keagamaan mereka, serta menjadikannya sebagai sumber
hukum syara’ setelah Al-Qur’an. Tradisi ini kemudian diwarisi dan dilestarikan
oleh khulafa al-rasyidin dan generasi sesudahnya.
Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, seorang nenek datang kepadanya meminta
bagian harta peninggalan cucunya. Abu Bakar berkata, “wahai nenek! Aku tidak
mendapatkan bagianmu dalam Al-Qur’an, aku juga tidak tahu apakah Rasulullah SAW
menyebutkan demikian. “kemudian, Abu Bakar bertanya kepada orang-orang. Al-Mughirah
berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. Memberi si nenek bagian satu per enam.
“Abu Bakar berkata, “siapakah saksimu? Al-Mughirah lalu mendatangkan Muhammad
bin Maslamah sebagai saksinya. Abu Bakar lalu memberikan bagian satu per enam
kepada nenek tadi.
Umar
bin Khattab pernah menulis surat untuk seorang hakim di kota Kuffah:
“Lihat!
Apa yang tampak jelas dalam Kitabullah. Tak usah kau bertanya lagi ke
seseorang, apabila masih belum jelas ikuti sunnah Rasulullah SAW, belum kunjung
jelas juga, pergunakan ijtihadmu (berpikir secara sungguh-sungguh dan
mendalam). Hendaknya engkau selalu bersama ahli ilmu dan orang-orang saleh!”
Itulah
jalan yang ditempuh Abu Bakar dan Umar. Ketika tidak ada dalil yang jelas dalam
Al-Qur’an, mereka (khulafa al-rasyidin) kemudian merujuknya dalam
sunnah. Kalau tidak mengetahui dari Al-Qur’an dan Sunnah, segera mereka
bertanya kepada umat Muslim.
C.
SUNNAH: SUMBER FIQH
Sudah
menjadi kebenaran yang aksiomatik dan tidak dipertentangkan lagi bahwa grand
thema diskursus fiqh di berbagai madzhab adalah mencari ketetapan atau
pembenarannya di dalam sunnah. Seandainya kita meniadakan sunnah dari
pembahasan fiqh dan kita mencari ketetapan dan hukum dalam tradisi fiqh, maka
sebenarnya tradisi dan khazanah fiqh itu tidak akan pernah ada.
D.
SUNNAH: PERSPEKTIF MADZHAB RA’YU
Dalam
tradisi dan khazanah fiqh, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai salah satu madzhab
sekaligus pentolan madzhab ra’yu. Walaupun demikian, tidak benar apabila ia
dikatakan meninggalkan sunnah dalam proses penetapan suatu hukum fiqh. Para
imam madzhab ini merujuk sunnah dalam meneyelesaikan banyak masalah sebagaimana
kita saksikan dalam literatur mereka yang begitu banyak.
Sebagai
contoh, kitab Al-Hidayah karya Al-Marghinani dan syarahnya, Fath Al-Qadir, yang
disusun oleh seorang muhaqqiq madzab Hanafi, Al-Mujtahid Kamaluddin bin
Al-Hamam. Didalamnya kita akan mendapatkan wawasan yang luas dan kaya tentang
hadits dalam setiap pembahasan.
Masih
banyak lagi ahli hadits sekaligus huffadz dari madzhab Hanafiyah.
Menurut Al-‘Alamah Asy-Syaikh Muhammad Zahid Al-Kautsari dalam mukadimah Nahsbu
Ar-Rayah, ada sekitar seratus sembilan ahli hadits madzhab Hanafi. Menurut
Al-Hasan bin Ziyad, Abu Hanifah meriwayatkan sekitar empat ribu hadits. Dua
ribu dari gurunya, Hammad, dua ribu sisanya dari gurunya yang lain.
Salah
seorang dari madzhab hanafi, Ibrahim An-Nakha’i pernah berkata:
لَايَسْتَقِيْمُ رَأْيٌ إِلَّا بِرِوَايَةٍ
وَلَا رِوَايَةٌ إِلَّا بِرَأْيٍ
Artinya: “
Ra’yu (fiqh) saja tanpa bantuan riwayah (hadits) tidak akan benar, begitu pula
sebaliknya, riwayat tanpa ra’yu.”
E.
SUNNAH: LANDASAN HUKUM PARA FUQAHA
Semua
ahli fiqh dari berbagai madzhab dalam memperkuat pendapatnya berpegang kepada
sunnah, berhukum dengannya, serta menjadikannya sebagai rujukan hukum. Sebab,
mereka memahami dan meyakininya sebagai bagian agama Allah. Dalam hal ini tidak
ada perbedaan antara madzhab ra’yu (akal) dengan madzhab riwayah atau hadits.
F.
ALASAN IMAM FIQH TIDAK MENGAMALKAN SUNNAH TERDAHULU
Berdasarkan
asas yang disepakati bersama, tidak pernah tergambarkan apabila madzhab fiqh
atau imam mujtahid secara sengaja meninggalkan hadits sahih, jelas petunjuk
hukumnya (sharih ad-dilalah) serta tidak ada pertentangan di dalamnya.
Maksudnya, hadis itu menurut penilaiannya bukan menurut penilaian orang lain-sahih,
serta jelas petunjuk hukumnya.
Ada
tiga sebab mengapa sebagian ulama fiqih meninggalkan hadits-hadits tertentu,
yaitu:
1.
Keyakinan
bahwa Rasulullah SAW, tidak mengucapkan hal itu
2.
Keyakinan
bahwa masalah itu tidak ada hubungannya dengan hadits Nabi
3.
Keyakinan
bahwa hukum tersebut mansukh.
Dari
ketiga sebab pokok ini terbagi lagi menjadi beberarapa sebab lainnya, yaitu:
1.
Adakalanya
suatu hadits belum sampai kepadanya. Orang yang belum menerima suatu hadits
tidak dibebankan untuk mengetahui hukum yang dikandungnya. Apabila suatu hadits belum sampai, sementara
dalam suatu masalah, ia telah menghukuminya dengan zahir ayat Al-Qur’an, hadits
lain, atau dengan metode qiyas dan istishhab, ada kemungkinan
penghukumannya sesuai dengan suatu hadits, tetapi bertentangan dengan hadits
lain.
2.
Mungkin
saja hadits itu telah sampai kepadanya, tetapi menurutnya belum ada kepastian
apakah itu benar-benar merupakan hadits, karena salah satu rawinya dinilai
majhul, muttaham, atau lemah hapalannya. Atau hadits tersebut sudah sampai
kepadanya, tetapi tanpa melalui sanad bersambung, atau terputus sanadnya.
3.
Ia
menilai dengan ijtihadnya lemah terhadap suatu hadits, tetapi penilainnya itu
bertentangan dengan penilaian ulama lainnya.
4.
Ia
menentukan syarat-syarat tertentu bagi hadits ahad yang syarat-syarat itu
ditolak oleh imam selainnya.
5.
Mungkin
saja hadits telah sampai kepadanya, dan ia pun menilainya sebagai hadits
shahih, tetapi mungkin ia lupa. Ini bisa terjadi, baik terhadap ayat Al-Qur’an
maupun As-Sunnah.
6.
Ia
tidak mengetahui makna kandungan (dalalah) hadits. Adakalanya karena matan
haditsnya asing (gharib) menurutnya. seperti hadits berikut:
لاَطَلاَقَ وَلاَعَتاَقَ فِى غِلَاقٍ
Artinya: “tidak
ada talak dan tidak ada pembebasan ketika ighlaq”
Sebagian
imam mengartikan ighlaq dengan paksaan, sementara sebagian imam yang lain tidak
mengenal penjelasan semacam ini.
7.
Adanya
keyakinan bahwa dalalah (petunjuk) suatu hadits tidak dapat diterima. Perbedaan
antara sebab ini dengan yang sebelumnya adanya bahwa pada kasus pertama,
seorang imam sama sekali tidak mengetahui dalalah hadits, sedangkan pada kasus
kedua, ia mengetahui maksud petunjuknya (dalalah), tetapi ia meyakini bahwa
dalalah itu tidak sahih berdasarkan kaidah pokok yang dianutnya.
8.
Petunjuk
hadits sudah dapat dipahami, tetapi muncul pemahaman baru yang menegasikan
pemahaman awal.
9.
Suatu
hadits ditinggalkan karena dha’if, dinasakh, atau ditakwil
karena bertentangan sengan sesuatu yang disepakati kebenarannya seperti ayat
atau hadits lain atau ijma’.
10.
Suatu
hadits dinilai oleh seorang imam dha’if, dinasakh atau ditakwil,
sedangkan imam lainnya tidak menilai demikian; atau memang hadits itu sendiri
bertentangan dengan yang lebih unggul kualitasnya.
G.
SUNNAH SEBAGAI PEDOMAN SULUK
Seperti halnya fuqaha yang mendasarkan
pemahamannya pada sunnah dan menjadikannya sebagai sumber rujukan kedua setelah
Al-Qur’an dalam menggali dan menetapkan suatu hukum, setiap ulama pun demikian.
Contohnya, ulama tasawuf menjadikan sunnah sebagai sumber rujukan dan petunjuk
jalan menuju Allah SWT. (suluk)
Terkadang, dari sebagian ulama
tasawuf ditemukan ungkapan-ungkapan yang mengindikasikan bahwa mereka
meninggalkan ilmu sunnah atau ilmu lainnya. seperti ungkapan: “Apabila anda
mendengar seorang sufi mengatakan akhbarana dan haddatsana, cucilah
tanganmu.”
Sufi lainnya mengatakan, “Untuk apa
engkau pergi untuk menemui Abd Ar-Razzaq dan mendengar hadits darinya? Mengapa
tidak mendengar langsung dari Sang Pencipta?”.
Namun, pernyataan-pernyataan
tersebut dan semisalnya tidak bisa dianggap mewakili para sufi secara
keseluruhan.
H.
SUFI GENERASI AWAL BERPEGANG TEGUH TERHADAP SUNNAH
Sebagian
pemuka sufi tidak menyetujui pernyataan yang mengindikasikan ketidak butuhan
terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sini kami sertakan kutipan dari ibnu
Qayyim dalam Madarij al-Salikin tentang sufi besar yang moderat dan guru
para sufi, al-Junaid bin Muhammad al-Baghdady: “Setiap jalan menuju Allah
ditutup bagi setiap makhluk, kecuali bagi orang yang mengikuti jejak-jejak
Rasulullah SAW.” ia pun berkata: “Janganlah mengikuti orang-orang yang tidak
hafal al-Quran dan tidak menulis hadits, karena ilmu ini (tasawwuf) sangat
bergantung pada kitabullah dna sunnah Rasulullah.” Ia pun berkata “Madzhab kami
diikat dengan fondasi al-Kitab dan al-Sunnah.”
Alasan
dilakukannya pembahasan ini adalah karena banyak hadits dhaif dan munkar
beredar dikalangan sufi, bahkan hadits palsu. Mereka hanya memiliki sedikit
wawasan tentang ilmu hadits, sehingga tidak dapat membedakan antara hadits yang
sahih dan yang tidak.
Sebagian
sufi menganngap sahih suatu hadits dengan cara kasyfah dan ilham,
walaupun pendapat mereka ini dianggap lemah oleh para imam hadits, atau
dikatakan tidak ada usul-usulnya, atau hadits palsu,seperti riwayat yang
dikatakannya sebagai hadits Qudsy.
كُنْتُ كَنْزًامَخْفيًا فَاَحْبَبْتُ
اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ ليَعْرفُوْنىْ
Artinya: “Pada mulanya Aku adalah rahasia yang terpendam, tetapi
Aku senang apabila dikenal. Maka aku ciptakan makhluk agar mereka mengenali Ku”
Menurut mereka, hadits ini sahih
dengan jalan kasyf walaupun secara sanad tidak demikian. Pernyataan ini
ditolak mentah-mentah oleh kesepakatan ulama karena standar yang digunakan
untuk menerima atau menolak hadits dalam pembicaraan ini mencakup sanad dan matan
suatu hadits.
I.
SUNNAH: SKETSA RINCI KEHIDUPAN ISLAM
Sunnah,
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi menggambarkan
secara rinci metode terciptanya kehidupan Islami, individu, keluarga, jama’ah,
hingga negara Islami.
Apabila
al-Quran berisikan kaidah-kaidah umum, dasar-dasar universal, sunnah berusaha
merinci ketetapan yang masih global dalam al-Quran, menjelaskan yang masih
samar, dan manifestasi langsung kehendak al-Quran. Al-Quran dimisalkan sebagai
peraturan (dustur), sedangkan sunnah sebagai undang-undang (qanun),
yang menerjemahkan dan menjelaskan peraturan tersebut. Oleh karena itu, dalam
sunnah, kita dapati perincian tentang iman kepada Allah SWT., malaikat, kitab,
rasul, hari akhir, dan qadar, baik dan buruknya. Semua Muslim sepakat
menjadikan sunnah sebagai petunjuk pasti dari Rasulullah SAW.
Kita
mendapati sunnah merinci masalah ibadah syar’i yang bersifat amali, seperti
ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji. Uraian-uraian seperti di atas terhimpun dalam
beberapa kitab sunnah, bahkan hampir ada pada satu kitab seperti al-Jami’
al-Shohih karya al-Bukhori.
Kita
pun akan menemukan bimbingan tentang akhlak Islami, sebagai misi utama Allah
SWT. mengutus Muhammad, yakni untuk menyempurnakan akhlak sebagai pondasi bagi
kehidupan yang lebih baik.
Sunnah
pun mencakup apa yang disebut sebagai akhlak rabbani, yang merupakan tiang
kehidupan rohani, seperti cinta Allah, kembali kepada-Nya, pasrah, ikhlas, dan
lain sebagainya.
Kita
pun akan menemukan penjelasan sunnah tentang etika atau tata krama Islam
menyangkut kehidupan Muslim sehari-hari, sehingga tercipta rasa kebersamaan dan
tata krama yang disepakati dan dipertahankan komunitas Muslim.
Kita
juga akan mendapatkan penjelasan sunnah tentang cara membangun kehidupan
keluarga yang baik. Selain itu, sunnah juga membahas hukum yang berhubungan
dengan muamalah dan hubungan sosial antar sesama Muslim.
J.
KADAR PERINCIAN SUNNAH TIDAK SAMA
Kadar
perincian sunnah terhadap berbagai aspek di atas tidaklah sama. Perincian
terhadap ibadah tidak sama dengan perincian terhadap muamalah. Begitu pula
urusan keluarga tidak sama dengan perincian urusan kenegaraan. Aspek kehidupan
yang sifatnya tetap dan langgeng serta berhubungan dengan inti kehidupan
manusia seperti ibadah, akhlak, etika, dan urusan keluarga mendapat porsi
penjelasan dan perinciannya lebih banyak dibanding dengan aspek lain.
Aspek
yang memiliki karakter berubah-ubah seperti masalah administrasi, politik,
peradilan, dan lainnya mendapat porsi perincian yang agak sedikit dibanding
yang lainnya, karena dalam masalah ini manusia diberi kesempatan oleh Allah
untuk memikirkannya sesuai dengan konteks yang ada.
K.
HUBUNGAN SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Para
peneliti setidaknya menemukan tiga hubungan sunnah dengan Al-Qur’an, yaitu:
1.
Penguat
kandungan isi al-Qur’an, tanpa memberikan perincian atau penjelasan seperti
hadits tentang berbuat baik kepada kedua orang tua, ancaman durhaka pada orang
tua, dan lain sebagainya.
2.
Sebagai
penjelas (mubayyin) al-Qur’an, baik dengan cara merinci yang masih global,
mengkhususkan ketentuan yang masih umum, atau memberikan syarat bagi ketentuan
yang masih mutlak, dan sebagainya. Misalnya rincian bilangan sahalat sehari
semalam, waktunya, jumlah rokaatnya, dan tata cara pelaksanaanya.
3.
Menunjukkan
suatu hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur'an, tidak pula dinegasikan, dan
tidak pula ditetapkan, seperti hadits:
تَقْضى الْحَائِضُ الصَلَاةَ وَلَا
تَقْضى الصَوْمَ
Artinya:
“wanita haid wajib mengkadha shalat, tetapi tidak untuk puasa”
Fungsi
sunnah ketiga ini, menurut Ibnu Qayyim, sama sekali tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dari sisi manapun. Isinya merupakan ketetetapan hukum dari Nabi yang wajib
diikuti dan tidak dibenarkan membangkangnya.
0 komentar:
Posting Komentar