RSS

Sunnah Nabi (Fiqhul Hadits)




A.      SUNNAH NABI: SEMUANYA BENAR, TIDAK ADA KEBATILAN
Sudah menjadi kebenaran yang aksiomatik bahwa sunnah Nabi sedikit pun tidak menyangkut perkara batil yang dilarang Allah SWT. perbuatan, perkataan, dan ketetapan beliau telah dijamin kebenarannya oleh Allah. Karena Nabi adalah suri tauladan semua umat manusia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب: 21)
Artinya: “Sesungguhnya pada Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik bagimu.”

Abdullah bin Amr bin al-‘Ash selalu setia mencatat segala sesuatu yang didengarnya dari Rasulullah, sampai-sampai orang Quraisy membentaknya seraya berkata, “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Muhammad, padahal Muhammad adalah manusia biasa yang juga berbicara dalam keadaan marah dan ridha, hentikan kegiatanmu itu!” Amr lalu bertanya kepada rasulullah tentang tuduhan orang Quraisy itu. Rasulullah kemudian menunjuk mulutnya sambil bersabda:
اُكْتٌبْ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَايَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ (رواه أبو داود و أحمد)
Artinya: “Tulislah (apa yang engkau dengar). Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah keluar darinya (Muhammad) kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Sunnah adalah berbagai hal tentang Nabi yang turun dari Allah melalui wahyu, seperti hadits yang berisi tentang Allah, malaikat, dan lainnya yang termasuk kategori di luar alam kasat mata (ghoib), termasuk juga hadits tentang berita dari Allah bahwa Dia mewajibkan anu, mengharamkan anu, atau memakruhkan anu. Ada hadits yang menjelaskan hal itu, seperti hadits Iyadh bin Himar:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ (رواه مسلم و أبو داود وابن ماجه)
Artinya: “Allah telah membisikkan (mewahyukan) kepadaku agar kalian bersikap rendah diri, hingga di antara kalian tak ada seorang pun merasa sombong, atau bersikap zalim terhadap orangg lain” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Adapun sebagian perbuatan Nabi seperti mencela beberapa perbuatan sebagaimana dalam qishat al-asra (kasus penarikan tebusan dari tawanan), kisah Zainab dan lainnya, hal itu lebih sebagai perbuatan yang khilaful aula (tidak termasuk yang paling utama) dan termasuk kategori hasanati al-abrar, sayyiati al-muqarrabin (kebaikan orang-orang yang berbuat baik, tetapi keburukan orang-orang yang sangat dekat dengan  Allah).
Oleh karena itu, para ulama menamai al-Quran sebagai wahyu al-matluw (wahyu yang tertulis), sedangkan sunnah sebagai al-wahyu ghair al-matluw (wahyu yang tidak tertulis).
Termasuk ke dalam sunnah adalah hasil ijtihad Nabi. Fakta membuktikan bahwa Nabi pernah melakukan ijtihad pada kebanyakan situasi dan kondisi dengan metode qiyas dan i’tibar, atau menjaga kemaslahatan (mashalihul mursalah) atau seperti pernyataannya kepada penanya. Adapun jika hasil ijtihad beliau salah, Allah tentu tidak akan mendiamkannya sehingga diikuti oleh manusia, Allah akan menjelaskan kepada Nabi mana yang benar.
Adapun orang yang tidak menerima adanya ijtihad Nabi menggunakan dalil:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. al-Najm: 3-4)

Padahal yang dimaksud di dalam ayat ini adalah al-Qur’an, bukan perkataan Nabi. Kalau kita sepakat bahwa yang dimaksud dengan wahyu di sini bukan al-Quran semata, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah melakukan ijtihad.



B.       URGENSI DAN KEHUJJAHAN SUNNAH
Dalam Islam, sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber referensi atau pandangan hidup. Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh kandungan Al-Qur’an
1.    Dalil Al-Qur’an
Allah selain mewajibkan umat Islam taat kepada-Nya, juga mewajibkan taat kepada rasul-Nya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء: 59)  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisa’: 59)

Selain itu, Allah juga menyamakan antara taat kepada Nabi sebagai bentuk taat kepada Allah:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (النساء: 80)
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (al-Nisa’: 80)

Ketaatan itu dapat menimbulkan petunjuk dan hidayah:
وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (الأعراف: 158)
Artinya: “Dan ikutilah dia supaya kalian mendapat petunjuk” (al-A’raf: 158)

2.    Dalil Sunnah
Ada banyak hadits yang mewajibkan kita taat kepada Rasul. Sebagai contoh adalah hadits riwayat Abu Hurairah berikut ini:
Rasulullah bersabda:
كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَاِنْى فَقَدْ أَبَى (رواه البخارى)

Artinya: “Semua umatku akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau. Dikatakan kepada beliau, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Siapa yang taat kepadaku ia akan masuk surga, dan orang yang tidak taat kepadaku adalah orang yang tidak mau masuk surga.” (HR. Al-Bukhori)

Ada juga hadits senada yang dikatakan Nabi ketika sedang haji wada’, yakni riwayat Ibnu Abbas yang dinilai shohih oleh al-Hakim serta disepakati al-Dzahabi:
قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه الحاكم)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat, yakni Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya” (HR. Hakim)

Kami anggap penting di sini menyebutkan hadits yang berisi peringatan terhadap ingkar sunnah, yaitu mereka yang dalam beragama memiliki anggapan cukup menggunakan al-Quran saja tanpa memerlukan penjelasan sunnah. Hadits itu adalah:
أَلَا إِنِّى أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوْشِكَ رَجُلٌ شَعْبَانُ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُوْلُ عَلًيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوْهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوْهُ (رواه أحمد و أبو داود)
Artinya: “Ingatlah sesungguhnya aku diberikan kitab dan yang sepadan dengannya. Ingatlah seorang laki-laki yang bertelekan berkata, “kalian harus berpegang kepada al-Quran! Sesuatu yang halal yang kalian temukan di dalamnya, maka halalkanlah. Sesuatu yang haram yang kalian temukan di dalamnya, maka haramkanlah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Oleh sebab itu, Nabi menganjurkan agar kita menyampaikan dan menyebarkan sunnah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi berikut:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ (رواه الترمذى)
Artinya: “Allah akan merahmati orang yang mendengar sesuatu dariku lalu menyampaikannya (kepada orang lain) sebagaimana ia mendengar dariku. Sedikit sekali orang yang hafal hadits daripada pendengarnya.” (HR. Al-Tirmidzi)

3.    Ijma’ Sahabat dan Generasi Sesudahnya
Para sahabat telah sepakat atas kehujjahan sunnah Nabi. Mereka menjadikannya sebagai referensi cara pandang keagamaan mereka, serta menjadikannya sebagai sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an. Tradisi ini kemudian diwarisi dan dilestarikan oleh khulafa al-rasyidin dan generasi sesudahnya.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, seorang nenek datang kepadanya meminta bagian harta peninggalan cucunya. Abu Bakar berkata, “wahai nenek! Aku tidak mendapatkan bagianmu dalam Al-Qur’an, aku juga tidak tahu apakah Rasulullah SAW menyebutkan demikian. “kemudian, Abu Bakar bertanya kepada orang-orang. Al-Mughirah berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. Memberi si nenek bagian satu per enam. “Abu Bakar berkata, “siapakah saksimu? Al-Mughirah lalu mendatangkan Muhammad bin Maslamah sebagai saksinya. Abu Bakar lalu memberikan bagian satu per enam kepada nenek tadi.
Umar bin Khattab pernah menulis surat untuk seorang hakim di kota Kuffah:
“Lihat! Apa yang tampak jelas dalam Kitabullah. Tak usah kau bertanya lagi ke seseorang, apabila masih belum jelas ikuti sunnah Rasulullah SAW, belum kunjung jelas juga, pergunakan ijtihadmu (berpikir secara sungguh-sungguh dan mendalam). Hendaknya engkau selalu bersama ahli ilmu dan orang-orang saleh!”
Itulah jalan yang ditempuh Abu Bakar dan Umar. Ketika tidak ada dalil yang jelas dalam Al-Qur’an, mereka (khulafa al-rasyidin) kemudian merujuknya dalam sunnah. Kalau tidak mengetahui dari Al-Qur’an dan Sunnah, segera mereka bertanya kepada umat Muslim.


C.      SUNNAH: SUMBER FIQH
Sudah menjadi kebenaran yang aksiomatik dan tidak dipertentangkan lagi bahwa grand thema diskursus fiqh di berbagai madzhab adalah mencari ketetapan atau pembenarannya di dalam sunnah. Seandainya kita meniadakan sunnah dari pembahasan fiqh dan kita mencari ketetapan dan hukum dalam tradisi fiqh, maka sebenarnya tradisi dan khazanah fiqh itu tidak akan pernah ada.
D.      SUNNAH: PERSPEKTIF MADZHAB RA’YU
Dalam tradisi dan khazanah fiqh, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai salah satu madzhab sekaligus pentolan madzhab ra’yu. Walaupun demikian, tidak benar apabila ia dikatakan meninggalkan sunnah dalam proses penetapan suatu hukum fiqh. Para imam madzhab ini merujuk sunnah dalam meneyelesaikan banyak masalah sebagaimana kita saksikan dalam literatur mereka yang begitu banyak.
Sebagai contoh, kitab Al-Hidayah karya Al-Marghinani dan syarahnya, Fath Al-Qadir, yang disusun oleh seorang muhaqqiq madzab Hanafi, Al-Mujtahid Kamaluddin bin Al-Hamam. Didalamnya kita akan mendapatkan wawasan yang luas dan kaya tentang hadits dalam setiap pembahasan.
Masih banyak lagi ahli hadits sekaligus huffadz dari madzhab Hanafiyah. Menurut Al-‘Alamah Asy-Syaikh Muhammad Zahid Al-Kautsari dalam mukadimah Nahsbu Ar-Rayah, ada sekitar seratus sembilan ahli hadits madzhab Hanafi. Menurut Al-Hasan bin Ziyad, Abu Hanifah meriwayatkan sekitar empat ribu hadits. Dua ribu dari gurunya, Hammad, dua ribu sisanya dari gurunya yang lain.
Salah seorang dari madzhab hanafi, Ibrahim An-Nakha’i pernah berkata:
لَايَسْتَقِيْمُ رَأْيٌ إِلَّا بِرِوَايَةٍ وَلَا رِوَايَةٌ إِلَّا بِرَأْيٍ
Artinya: “ Ra’yu (fiqh) saja tanpa bantuan riwayah (hadits) tidak akan benar, begitu pula sebaliknya, riwayat tanpa ra’yu.”


E.       SUNNAH: LANDASAN HUKUM PARA FUQAHA
Semua ahli fiqh dari berbagai madzhab dalam memperkuat pendapatnya berpegang kepada sunnah, berhukum dengannya, serta menjadikannya sebagai rujukan hukum. Sebab, mereka memahami dan meyakininya sebagai bagian agama Allah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara madzhab ra’yu (akal) dengan madzhab riwayah atau hadits.
F.       ALASAN IMAM FIQH TIDAK MENGAMALKAN SUNNAH TERDAHULU
Berdasarkan asas yang disepakati bersama, tidak pernah tergambarkan apabila madzhab fiqh atau imam mujtahid secara sengaja meninggalkan hadits sahih, jelas petunjuk hukumnya (sharih ad-dilalah) serta tidak ada pertentangan di dalamnya. Maksudnya, hadis itu menurut penilaiannya bukan menurut penilaian orang lain-sahih, serta jelas petunjuk hukumnya.
Ada tiga sebab mengapa sebagian ulama fiqih meninggalkan hadits-hadits tertentu, yaitu:
1.    Keyakinan bahwa Rasulullah SAW, tidak mengucapkan hal itu
2.    Keyakinan bahwa masalah itu tidak ada hubungannya dengan hadits Nabi
3.    Keyakinan bahwa hukum tersebut mansukh.
Dari ketiga sebab pokok ini terbagi lagi menjadi beberarapa sebab lainnya, yaitu:
1.         Adakalanya suatu hadits belum sampai kepadanya. Orang yang belum menerima suatu hadits tidak dibebankan untuk mengetahui hukum yang dikandungnya.  Apabila suatu hadits belum sampai, sementara dalam suatu masalah, ia telah menghukuminya dengan zahir ayat Al-Qur’an, hadits lain, atau dengan metode qiyas dan istishhab, ada kemungkinan penghukumannya sesuai dengan suatu hadits, tetapi bertentangan dengan hadits lain.
2.         Mungkin saja hadits itu telah sampai kepadanya, tetapi menurutnya belum ada kepastian apakah itu benar-benar merupakan hadits, karena salah satu rawinya dinilai majhul, muttaham, atau lemah hapalannya. Atau hadits tersebut sudah sampai kepadanya, tetapi tanpa melalui sanad bersambung, atau terputus sanadnya.
3.         Ia menilai dengan ijtihadnya lemah terhadap suatu hadits, tetapi penilainnya itu bertentangan dengan penilaian ulama lainnya.
4.         Ia menentukan syarat-syarat tertentu bagi hadits ahad yang syarat-syarat itu ditolak oleh imam selainnya.
5.         Mungkin saja hadits telah sampai kepadanya, dan ia pun menilainya sebagai hadits shahih, tetapi mungkin ia lupa. Ini bisa terjadi, baik terhadap ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
6.         Ia tidak mengetahui makna kandungan (dalalah) hadits. Adakalanya karena matan haditsnya asing (gharib) menurutnya. seperti hadits berikut:
لاَطَلاَقَ وَلاَعَتاَقَ فِى غِلَاقٍ
Artinya: “tidak ada talak dan tidak ada pembebasan ketika ighlaq”

Sebagian imam mengartikan ighlaq dengan paksaan, sementara sebagian imam yang lain tidak mengenal penjelasan semacam ini.
7.         Adanya keyakinan bahwa dalalah (petunjuk) suatu hadits tidak dapat diterima. Perbedaan antara sebab ini dengan yang sebelumnya adanya bahwa pada kasus pertama, seorang imam sama sekali tidak mengetahui dalalah hadits, sedangkan pada kasus kedua, ia mengetahui maksud petunjuknya (dalalah), tetapi ia meyakini bahwa dalalah itu tidak sahih berdasarkan kaidah pokok yang dianutnya.
8.         Petunjuk hadits sudah dapat dipahami, tetapi muncul pemahaman baru yang menegasikan pemahaman awal.
9.         Suatu hadits ditinggalkan karena dha’if, dinasakh, atau ditakwil karena bertentangan sengan sesuatu yang disepakati kebenarannya seperti ayat atau hadits lain atau ijma’.
10.     Suatu hadits dinilai oleh seorang imam dha’if, dinasakh atau ditakwil, sedangkan imam lainnya tidak menilai demikian; atau memang hadits itu sendiri bertentangan dengan yang lebih unggul kualitasnya.

G.      SUNNAH SEBAGAI PEDOMAN SULUK
Seperti halnya fuqaha yang mendasarkan pemahamannya pada sunnah dan menjadikannya sebagai sumber rujukan kedua setelah Al-Qur’an dalam menggali dan menetapkan suatu hukum, setiap ulama pun demikian. Contohnya, ulama tasawuf menjadikan sunnah sebagai sumber rujukan dan petunjuk jalan menuju Allah SWT. (suluk)
Terkadang, dari sebagian ulama tasawuf ditemukan ungkapan-ungkapan yang mengindikasikan bahwa mereka meninggalkan ilmu sunnah atau ilmu lainnya. seperti ungkapan: “Apabila anda mendengar seorang sufi mengatakan akhbarana dan haddatsana, cucilah tanganmu.”
Sufi lainnya mengatakan, “Untuk apa engkau pergi untuk menemui Abd Ar-Razzaq dan mendengar hadits darinya? Mengapa tidak mendengar langsung dari Sang Pencipta?”.
Namun, pernyataan-pernyataan tersebut dan semisalnya tidak bisa dianggap mewakili para sufi secara keseluruhan.
H.      SUFI GENERASI AWAL BERPEGANG TEGUH TERHADAP SUNNAH
Sebagian pemuka sufi tidak menyetujui pernyataan yang mengindikasikan ketidak butuhan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sini kami sertakan kutipan dari ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin tentang sufi besar yang moderat dan guru para sufi, al-Junaid bin Muhammad al-Baghdady: “Setiap jalan menuju Allah ditutup bagi setiap makhluk, kecuali bagi orang yang mengikuti jejak-jejak Rasulullah SAW.” ia pun berkata: “Janganlah mengikuti orang-orang yang tidak hafal al-Quran dan tidak menulis hadits, karena ilmu ini (tasawwuf) sangat bergantung pada kitabullah dna sunnah Rasulullah.” Ia pun berkata “Madzhab kami diikat dengan fondasi al-Kitab dan al-Sunnah.”
Alasan dilakukannya pembahasan ini adalah karena banyak hadits dhaif dan munkar beredar dikalangan sufi, bahkan hadits palsu. Mereka hanya memiliki sedikit wawasan tentang ilmu hadits, sehingga tidak dapat membedakan antara hadits yang sahih dan yang tidak.
Sebagian sufi menganngap sahih suatu hadits dengan cara kasyfah dan ilham, walaupun pendapat mereka ini dianggap lemah oleh para imam hadits, atau dikatakan tidak ada usul-usulnya, atau hadits palsu,seperti riwayat yang dikatakannya sebagai hadits Qudsy.
كُنْتُ كَنْزًامَخْفيًا فَاَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ ليَعْرفُوْنىْ       
Artinya: “Pada mulanya Aku adalah rahasia yang terpendam, tetapi Aku senang apabila dikenal. Maka aku ciptakan makhluk agar mereka mengenali Ku”

Menurut mereka, hadits ini sahih dengan jalan kasyf walaupun secara sanad tidak demikian. Pernyataan ini ditolak mentah-mentah oleh kesepakatan ulama karena standar yang digunakan untuk menerima atau menolak hadits dalam pembicaraan ini mencakup sanad dan matan suatu hadits.
I.         SUNNAH: SKETSA RINCI KEHIDUPAN ISLAM
Sunnah, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi menggambarkan secara rinci metode terciptanya kehidupan Islami, individu, keluarga, jama’ah, hingga negara Islami.
Apabila al-Quran berisikan kaidah-kaidah umum, dasar-dasar universal, sunnah berusaha merinci ketetapan yang masih global dalam al-Quran, menjelaskan yang masih samar, dan manifestasi langsung kehendak al-Quran. Al-Quran dimisalkan sebagai peraturan (dustur), sedangkan sunnah sebagai undang-undang (qanun), yang menerjemahkan dan menjelaskan peraturan tersebut. Oleh karena itu, dalam sunnah, kita dapati perincian tentang iman kepada Allah SWT., malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qadar, baik dan buruknya. Semua Muslim sepakat menjadikan sunnah sebagai petunjuk pasti dari Rasulullah SAW.
Kita mendapati sunnah merinci masalah ibadah syar’i yang bersifat amali, seperti ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.  Uraian-uraian seperti di atas terhimpun dalam beberapa kitab sunnah, bahkan hampir ada pada satu kitab seperti al-Jami’ al-Shohih karya al-Bukhori.
Kita pun akan menemukan bimbingan tentang akhlak Islami, sebagai misi utama Allah SWT. mengutus Muhammad, yakni untuk menyempurnakan akhlak sebagai pondasi bagi kehidupan yang lebih baik.
Sunnah pun mencakup apa yang disebut sebagai akhlak rabbani, yang merupakan tiang kehidupan rohani, seperti cinta Allah, kembali kepada-Nya, pasrah, ikhlas, dan lain sebagainya.
Kita pun akan menemukan penjelasan sunnah tentang etika atau tata krama Islam menyangkut kehidupan Muslim sehari-hari, sehingga tercipta rasa kebersamaan dan tata krama yang disepakati dan dipertahankan komunitas Muslim.
Kita juga akan mendapatkan penjelasan sunnah tentang cara membangun kehidupan keluarga yang baik. Selain itu, sunnah juga membahas hukum yang berhubungan dengan muamalah dan hubungan sosial antar sesama Muslim.
J.        KADAR PERINCIAN SUNNAH TIDAK SAMA
Kadar perincian sunnah terhadap berbagai aspek di atas tidaklah sama. Perincian terhadap ibadah tidak sama dengan perincian terhadap muamalah. Begitu pula urusan keluarga tidak sama dengan perincian urusan kenegaraan. Aspek kehidupan yang sifatnya tetap dan langgeng serta berhubungan dengan inti kehidupan manusia seperti ibadah, akhlak, etika, dan urusan keluarga mendapat porsi penjelasan dan perinciannya lebih banyak dibanding dengan aspek lain.
Aspek yang memiliki karakter berubah-ubah seperti masalah administrasi, politik, peradilan, dan lainnya mendapat porsi perincian yang agak sedikit dibanding yang lainnya, karena dalam masalah ini manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk memikirkannya sesuai dengan konteks yang ada.
K.      HUBUNGAN SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Para peneliti setidaknya menemukan tiga hubungan sunnah dengan Al-Qur’an, yaitu:
1.    Penguat kandungan isi al-Qur’an, tanpa memberikan perincian atau penjelasan seperti hadits tentang berbuat baik kepada kedua orang tua, ancaman durhaka pada orang tua, dan lain sebagainya.
2.    Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, baik dengan cara merinci yang masih global, mengkhususkan ketentuan yang masih umum, atau memberikan syarat bagi ketentuan yang masih mutlak, dan sebagainya. Misalnya rincian bilangan sahalat sehari semalam, waktunya, jumlah rokaatnya, dan tata cara pelaksanaanya.
3.    Menunjukkan suatu hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur'an, tidak pula dinegasikan, dan tidak pula ditetapkan, seperti hadits:
تَقْضى الْحَائِضُ الصَلَاةَ وَلَا تَقْضى الصَوْمَ
Artinya: “wanita haid wajib mengkadha shalat, tetapi tidak untuk puasa”

Fungsi sunnah ketiga ini, menurut Ibnu Qayyim, sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dari sisi manapun. Isinya merupakan ketetetapan hukum dari Nabi yang wajib diikuti dan tidak dibenarkan membangkangnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 Neng Ingin Berbagi. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates