BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini
merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat
luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi
pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan
kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang
layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah,
filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno,
ciri dari filsafat Yunani kuno adalah kosmosentris, yakni ditujukannya
perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna
menemukan asal mula (arche) terjadinya gejala-gejala. Kedua, adalah
zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris.
Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat
dogma-dogma agama Kristiani. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof
zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak
filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Pada zaman abad modern
ini timbul beberapa aliran filsafat, diantaranya Rasionalisme, Empirisme, dan
Kritisme. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris,
artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
filsafat modern itu?
2.
Apa
sajakah Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern?
3.
Penjelasan
mengenai aliran-aliran tersebut?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
tentang filsafat pada zaman modern.
2.
Mengetahui
aliran-aliran pokok yang muncul dalam filsafat zaman abad modern.
3.
Mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan aliran-aliran tersebut.
4.
Sebagai tugas
kelompok untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Filsafat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Modern
Filsafat
modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa
modern adalah kefilsafatan yang bercorak tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat
dengan cara-cara lama”. Makna modern (sesuatu yang baru), mencakup segenap
sendi-sendi kehidupan social dan budaya manusia yang terkait dengan dimensi
materil dan spiritualnya pada seputar bagaimana cara mengetahui yang benar, kevalidan
sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri dan implementasi nilai-nilai yang
terkandung dalam pengetahuan manusia.[1]
Para filosof zaman modern ini
menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman
ini lazim disebut antroposentris. Dengan demikian, filsafat barat modern
memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan
itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada
Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan
dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada
kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat
oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri
yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta
Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.[2]
Dengan
demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan berdasarkan
waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar
metodologi dan kerakteristiknya.
B.
Aliran-aliran Pokok dalam Filsafat Modern
1.
Rasionalisme
a.
Pengertian
Pokok
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran filsafat ilmu yang
berpandangan bahwa otoritas rasio (akal) adalah sumber dari segala pengetahuan.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad
ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Keyakinan yang
berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap
mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat
dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, dan terhadap apa saja yang
tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan serta anggapan-anggapan yang
tidak rasional.[3]
Dengan
kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih
sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan
terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam
bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara apriori suatu sistem keputusan
akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan
kemampuan akal inilah dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.
Sumbangan
Rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang
didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Produk teknologi era
industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil besar rasionalisme
untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.[4]
b.
Tokoh-tokoh
Rasionalisme
1) Rene Descartes ( 1596- 1650 M )
Descartes
disamping tokoh rasionalisme juga dianggap sebagai bapak filsafat. Ia ahli
dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia yang mendirikan aliran
Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah
akal. Ia memaknai akal budi sebagai sejenis perantara khusus yang dengan
perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan sebagai suatu teknik yang
dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran, artinya
dengan melakukan penalaran.[5]
Descartes tidak puas dengan filsafat scholastik karena pada filsafat tersebut tidak
ada metode berpikir yang pasti. Scholastic tidak dapat memberi keterangan yang
memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu dan sering kali
bertentangan satu sama lain.
Descartes
mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Seakan- akan ia membuang
segala kepastian, karena ragu-ragu itu suatu cara berpikir. Ia ragu- ragu bukan
untuk ragu-ragu, melainkan untuk mencapai kepastian. Adapun sumber kebenaran
adalah rasio. Hanya rasio sejarah yang dapat membawa orang kepada kebenaran.
Rasio pulalah yang dapat memberi pemimpin dalam segala jalan pikiran.
Menurut Descartes, substansi adalah
“apa yang ada sedemikian rupa”, sehingga
keberadaannya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Substansi model
ini, oleh Descartes, disebut sebagai ”substansi absolut”, dan hanya satu, yaitu
Tuhan sebagai causa sui atau penyebab bagi dirinya sendiri yang sempurna
adanya. Descartes juga mengandaikan substansi lain, yang ia sebut sebagai
”substansi relatif (substansi buatan)”. Macamnya ada dua, yaitu substansi
jiwa/roh yang bersifat bebas, aktif dan mental serta substansi materi/bendawi
yang bersifat fisis dan berjalan menurut hukum-hukum fisika. Eksistensi
substansi ini semata-mata tergantung bantuan substansi absolut. Oleh karenanya,
pengertian substansi relatif tidak dapat disamakan dengan pengertian substansi
absolut.[6]
2) Spinoza (1632- 1677 M)
Spinoza dilahirkan
pada tahun 1632 M. Ia adalah seorang keturunan Yahudi di Amsterdam. Ia lepas
dari segala ikatan agama maupun masyarakat, ia mencita-citakan suatu sistem
berdasarkan rasionalisme untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia. Menurut
Spinoza aturan atau hukum yang terdapat pada semua hal itu tidak lain dari
aturan dan hukum yang terdapat pada idea.[7]
Spinoza juga berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Allah. Dan satu
substansi itu meliputi semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat
jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat
rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri
melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Itulah
sebabnya pendirian Spinoza ini disebut Panteisme; Allah disamakan dengan segala
sesuatu yang ada. Ia beranggapan pula bahwa satu substansi itu mempunyai
ciri-ciri yang tak terhingga jumlahnya dan setiap ciri mengekspresikan hakekat
Allah seluruhnya.[8]
3) Leibniz
Gottfried
Eilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Ia
filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai
pemerintahan, pembantu pejabat tinggi Negara. Leibniz
mengemukakan argumennya bahwa kesemuanya, kecuali pemahaman berawal dari
persepsi indera, menurutnya pemahaman datangnya dari rasionalitas, yang mana
rasionalitas tersebut didapatkan dari proses berfikir serta anugerah Tuhan.
Sama seperti
pendahulunya, Descartes dan Spinoza, maka Leibniz juga memfokuskan
teori-teorinya kepada aspek ontologis, yakni permasalahan substansi. Kalau
seorang Descartes menyebutkan bahwa di alam ini substansi mewakili tiga hal,
yakni tuhan, jiwa dan materi. Spinoza mengemukakan bahwa berkembangnya suatu
eksistensi serta substansi jiwa adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan. Maka
Leibniz terkesan mempunyai pendapat lebih sempurna ketimbang Spinoza, ia
menyatakan bahwa suatu substansi yang membentuk daya hidup alam ini tidak
berasal dari pondasi satu substansi saja, akan tetapi pondasinya berasal dari
eksistensi yang plural yang menjadikannya hidup.
2.
Empirisme
a.
Pengertian
Pokok
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi/pengindraan. Pengalaman merupakan faktor
fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
Empirisme berasal dari kata Yunani “empiris” yang berarti pengalaman indrawi.
Karena itu, Empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia.
Dalam aliran Empirisme, bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah
oleh akal, sedangkan yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena
pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta.
Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui
pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui
pengalaman. Empirisme juga berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang
sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau bersumber dari
panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata
lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Sehingga
kebenarannya bersifat aposteriori.[9]
Namun demikian, aliran ini banyak memiliki kelemahan karena indra
sifatnya terbatas, indra sering menipu, objek juga menipu, seperti
ilusi/fatamorgana.
b.
Tokoh-tokoh
Empirisme
1.
Francis
Bacon (1210 -1292)
Menurut Francis Bacon, Pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Ilmu yang benar adalah
yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh
sentuhan inderawi.
2.
Thomas
Hobbes ( 1588 -1679)
Sebagai penganut Empirisme, pengenalan atau pengetahuan menurut
Hobbes diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala
pengetahuan. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan
demikian hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lain.
Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lain.
Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita yang
menyebabkan adanya suatu gerak didalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke
otak dan dari otak diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah suatu
reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Penginderaan disebabkan oleh
karena tekanan objek atau sasaran. Selanjutnya ia berpendapat bahwa pengalaman
inderawi adalah sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat
disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual
(rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.[10]
3.
John
Locke ( 1632 -1704)
Ia adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Ia
menerima keraguan yang diajarkan Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang
digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan
menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau disebut dengan
induksi. Bahkan John Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran
matematis yang pasti.
Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai lembaran
kertas putih yang seluruh isinya berasal dari pengalaman, hal tersebut mirip
sekali dengan fitrah dalam filsafat islam yang didasarkan atas pernyataan Al
Qur’an surat ke-30 Al Rum ayat ke-30. Fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir
yang didalamnya terkandung tiga potensi dengan fungsinya masing-masing.
Pertama, potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenal Tuhan, Meng- Esakan Tuhan,
dan mencintainya. Kedua, potensi syahwat yang berfungsi untuk menginduksi
obyek-obyek yang menyenangkan. Ketiga, potensi ghodlob yang berfungsi untuk
menghindari segala yang membahayakan. Ketika manusia dilahirkan, ketiga potensi
ini telah dimilikinya, agar potensi-potensi tersebut beraktualisasi perlu ada
bantuan dari luar dirinya. Dalam filsafat islam, kedua orang tua anak yang
terlahir itulah yang pertama-tama berkewajiban memberikan pengetahuan untuk
mengoptimalisasikan potensi-potensi tersebut. Dengan kata lain orang tualah
yang menggoreskan tulisan diatas lembaran putih si anak yang terlahir itu.[11]
3.
Kritisisme
a.
Pengertian
Pokok
Filsafat yang dikenal dengan Kritisisme adalah filsafat yang
diintrodusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai perjalanannya dengan
menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.
Oleh karena itu, Kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern
sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari
Kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan
estetika.[12]
Ciri-ciri Kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1)
Menganggap
bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.
2)
Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejala atau fenomenanya saja.
3)
Menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsur apriori yang berasal dari rasio dan peranan unsur aposteriori
yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
b.
Tokoh
Kritisisme
Tokoh aliran kritisisme adalah
Immanuel Kant (1724-1804 M), ia lahir di Konisgberg, Persia Timur, Jerman. Filsafat
kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara
kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun
Empirisme belum berhasil memberikan sebuah pengetahuan yang pasti berlaku umum
dan terbukti dengan jelas. Jadi, kedua aliran itu memiliki kelemahan.
Menurut kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin
dalam putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana
predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek. Memang mengandung
kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru.
Sedangkan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme bersifat sintetik-aposteriori,
yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk kedalam subyek. Meski
demikian, sintetik-apesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun
sifatnya tidak tetap, sangat bergantung pada ruang dan waktu. Jadi, kebenaran
di sini sangat bersifat subyektif.
Dengan melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan tersebut, serta
kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya dalam suatu bentuk putusan yang
bersifat umum-universal, dan pasti di dalamnya, “akal budi dan pengalaman
indrawi dibutuhkan serentak”[13]
Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis
terhadap rasio murni, Immanuel Kant mewujudkan pemikirannya tersebut ke dalam
beberpa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik. Karya-karyanya antara
lain berjudul:
1. Kritik atas Rasio Murni
Kant menyadari bahwa
pengetahuan pengetahuan manusia itu penuh dengan keterbatasan. Keterbatasan
tersebut mengilhami Kant dalam melihat realitas. Menurut Kant, realitas selalu
memiliki hal yang empiris dan transendental. Keduanya bagai edua sisi mata
uang, jika satu tak ada yang lain pasti musnah. Sesuatu yang transendental
adalah sesuatu yang pasti benar, yang transendent ini berada di luar batas pengetahuan
kita. Sesuatu yang transenden biasa juga disebut sebagai noumena atau das ding
an sich. Akan tetapi, transenden ini memiliki hal-hal yang terbuka untuk
dipelajari melalui refleksi empiris, dengan melihat apa yang nampak atau yang
bisa diketahui.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan
ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah
Kant sendiri rasio murni. Akan tetapi, disamping rasio murni terdapat pula apa
yang disebut rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita
lakukan, atau dengan kata lain rasio yang memberi perintah terhadap apa yang
kita kehendaki. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah
yang mutlak yang disebut sebagai imperatif kategori. Misalnya, bila kita meminjam
barang kepunyaan orang lain, maka kita harus mengembalikan kepada pemiliknya.
Bagian ini berbicara
mengenai moral. Filsafat moral adalah cabang filsafat yang melalui kegiatannya
dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah manusia bebas? Bagaimana perbedaan baik
dan buruk? Bagaimana etika bisa nir-mustahil? Tujuan hakiki filsafat moral
adalah membantu kita menjadi orang yang lebih baik. Dalam Critique of Practical
Reason, Kant menunjukkan bagaimana kebebasan manusia dan hukum moral membentuk
garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak demi tindakan moral.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik ini lebih
berkaitan dengan estetika. Pertanyaan-pertanyaan yang biasa muncul adalah
adakah standar objektif bagi keindahan dan apa pedoman pasti yang bisa kita
gunakan untuk menimbang sesuatu yang salah dan benar?
Secara umum kita
menganggap penimbangan seni didasarkan pada pendapat pribadi belaka. Dalam
bukunya Critique of Judgment, kita akan menyaksikan penimbangan kehendak
menurut Kant. Kant menyatakan bahwa kritik ini merupakan jembatan antara dua
kritik sebelumnya, teoetis dan praktis. Sudut pandang ketiga ini harus bebas
(dengan penimbangan moral seperti kritik kedua) sekaligus juga harus berdasar
pada sense indrawi (sebagaimana kritik pertama). Kritik ketiga ini lebih pada
aspek pengalaman yang tidak dapat kita tafsirkan secara langsung dengan
menggunakan pengetahuan ilmiah atau praktik moral. Mengenai keindahan, Kant memberikan catatan bahwa rasa estetik
yang dialami dari suatu objek yang dinilai indah harus tanpa kepentingan.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat modern,
adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa
modern adalah kefilsafatan yang bercorak tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat
dengan cara-cara lama”. filsafat barat modern memiliki corak yang berbeda
dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas
kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan
mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern
otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Pada
masa filsafat modern, lahirlah beberapa aliran pokok, diantaranya 1)Aliran
Rasionalisme, 2)Aliran Empirisme, dan 3)Aliran Kritisisme. Aliran rasionalisme faham atau aliran filsafat ilmu yang berpandangan bahwa otoritas
rasio (akal) adalah sumber dari segala pengetahuan. Tokoh-tokohnya adalah Rene
Descartes, Baruch de Spinoza, dan leibniz.
Aliran kedua yaitu
Empirisme, yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, karena
pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta..
Tokoh-tokohnya yaitu Francis Bacon , Thomas
Hobbes, dan John Locke.
Aliran yang ketiga yaitu Kritisisme, yang merupakan aliran Filsafat
yang diintrodusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai perjalanannya dengan
menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.
Oleh karena itu, Kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern
sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat
dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. 2009. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Warsito, Khoiril. Pengantar
Filsafat. 2011. Surabaya: IAIN SA Press.
Sudarsono. Ilmu Filsafat.
1993. Jakarta: Rineka Cipta.
Syafi’ie, Kencana. Pngantar
Filsafat. 2004. Bandung: PT. Refika Aditama.
S.Praja, Juhaya. Aliran-aliran
Filsafat dan Etika. 1997. Bandung: Yayasan PIARA.
Bertens. Ringkasan
Sejarah Filsafat. 1998. Yogyakarta: Kanisius.
Sudarsono. Ilmu filsafat Suatu
Pengantar. 1993. Jakarta: Rineka Cipta.
[2] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), h. 59.
[3]
Ibid., h. 73.
[4] Drs. Loekisno
Choiril Warsito, Pengantar Filsafat, (Cet: I; Surabaya: IAIN SA Press,
2011), h. 111.
[5] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Cet: IX; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2004), h.135.
[6]
Ridho Yahya, “Rene Descartes”, diakses pada tanggal 22 Noember 2011, dalam http://ridhoyahya89.blogspot.com/2010/09/hobbes-spinoza-dan-leibniz-menanggapi.html
[7] Kuwat pamuji,
“Filsafat Kita”, diakses pada tanggal 20 Nopember 2011, dalam http://kuwatpamuji.blogspot.com/2009/01/rasionalisme.html
[8] Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat,
(Cet: XV; Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 48.
[9] Bramanti
Kusuma, “rasionalisme, empirisme, dan kritisme”, diakses pada tanggal 20
Nopember 2011, dalam http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/26/rasionalisme-empirisme-dan-kritisisme/
[10] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat
& Etika, (Cet: II; Bandung: Yayasan PIARA, 1997), h. 71.
[11]
Ibid., h. 74.
[12]
Ibid., h. 76.
[13]
Ali Maksum, Pengantar
Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Cet: II; Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), h. 141-142.
[14]
Ibid., h. 146-147.
0 komentar:
Posting Komentar