BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pelaksanaan
Pendidikan Agama pada umumnya serta Pendidikan Agama Islam pada khususnya di
sekolah-sekolah umum semakin kokoh oleh berbagai terbitnya perundang-undangan
selanjutnya, hingga lahirnya UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang lebih menjamin pemenuhan pendidikan agama kepada peserta didik.
Dan diikuti dengan lahirnya peraturan-peraturan selanjutnya sampai dengan
terbitnya Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan
Agama Pada Sekolah.
Dengan
makin kuatnya posisi Pendidikan Agama Islam di dalam sistem pendidikan
Indonesia setelah mengalami masa pergulatan yang sangat panjang, tentunya
secara ideal telah menunjukkan hasil yang signifikan. Namun di dalam
kenyataan di lapangan, banyak sekali problematika yang muncul sehingga
berakibat tidak maksimalnya pendidikan Agama Islam di sekolah, baik di tingkat
SD, SMP, SMA dan SMK.
Sekolah
merupaka sarana dan tempat menuntut ilmu bagi para peserta didik, juga tempat
memperkaya dan memperluas keilmuan peserta didik. Pendidikan di
Indonesiadikatakan maju, hal ini bisa dilihat perkembangan sekolah yang semakin
lama semakin kreatif dalam menyiapkan peserta
didiknyauntuk menjadi manusia yang berguna kelak. Oleh sebab itu kita sebagai
calon guru harus mampu menggunakan segala kemampuan kita, sehingga peserta
didik bisa menyerap ilmu kita dengan baik.jadi kita sebagai calon guru harus
professional dalam sebagai hal ini misalnya metode yang digunakan harus baik,
sesuai dengan materi yang kita ajarkan, strateginya juga harus sesuai, yang
penting dan perlu dimiliki oleh seorang guru ialah mampu merespon peserta didik
yang mempunya banyak problem yang berbeda-beda. Guru harus bisa mengatasi
problem yang dihadapi peserta didik terutama menyikapi belajar anak didik kita.
Apalagi problematika pendidikan agama di sekolah pasti bannyak sekali
problem-problem itu. Untuk mengetahui problem apa sajakah yang ada hubungannya
dengan peserta didik beserta solusinya, kita akan membahas secara detail pada
bahasan selanjutnya.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian problematika pendidikan
agama di sekolah ?
2.
Bagaimana peranan pendidikan agama di
sekolah ?
3.
Apa saja problematika pendidikan agama
di sekolah ?
4.
Bagaimana upaya untuk mengatasi problematika pendidikan
agama di sekolah ?
5.
Bagaimana gambaran umum problematika pendidikan agama di
sekolah ?
C. Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian problematika
pendidikan agama di sekolah.
2.
Untuk mengetahui peranan pendidikan
agama di sekolah.
3.
Untuk mengetahui problematika pendidikan
agama di sekolah.
4.
Untuk mengetahui upaya untuk mengatasi problematika pendidikan
agama di sekolah.
5.
Untuk mengetahui gambaran umum problematika pendidikan agama di
sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Problematika Pendidikan Agama di Sekolah
Secara umum orang
memahami masalah (problem) sebagai kesenjangan antara kenyataan dan
harapan. Bisa juga dikatakan sebagai masalah yang dihadapi. Yang dimaksud
dengan problematika pendidikan agama dalam pembahasan ini ialah problematika
pendidikan agama Islam. Adapun pengertian dari pendidikan agama Islam adalah usaha
sadar dan terencana untuk membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik
jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak
didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam. Jadi, problematika pendidikan agama di
sekolah adalah masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan
agama Islam dalam suasana dan proses
pembelajaran dalam rangka pengembangan potensi seseorang menuju terbentuknya kepribadian yang
utama berdasarkan hukum-hukum islam. (Mochtar Buchori,
1994)
B.
Peranan Pendidikan
Agama di Sekolah
Diketahui bahwa agama
(Islam) dan pendidikan adalah dua hal yang satu sama lain saling berhubungan.
Melalui agama, manusia diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Proses pengembangannya adalah melalui pendidikan.
Karena dengan pendidikan orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu baik
dari segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya.
Pendidikan agama Islam di sekolah berperan
sebagai berikut :
1. Membentuk watak
serta peradaban bangsa dalam rangka membangun manusia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berperan sebagai :
a. Dalam aspek
individu, untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.
b. Dalam aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, untuk membimbing warga Negara Indonesia
menjadi warga Negara yang baik seekaligus umat yang taat menjalankan ibadahnya.
2. Menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa,
maksudnya adalah manusia yang selalu tunduk dan taat terhadap apa-apa yang
diperintahkan oleh Allah swt., dan menjauhi segala larangannya.
3. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Maksudnya
adalah sikap utuh dan seimbang antara kekuatan intelektual dan kekuatan
spiritual yang secara langsung termanifestasikan dalam bentuk akhlak mulia.
4. Menjadikan warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab, maksudnya adalah perwujudan dari iman dan takwa itu
dimanifestasikan dalam bentuk kecintaan terhadap tanah air. (Abdul Rahman
Saleh, 2006)
C.
Problematika
Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan Agama
Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga
hal. Pertama, Pendidikan Agama Islam sebagai lembaga; diakuinya
keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan
Islam sebagai mata pelajaran; diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu
pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga,
Pendidikan Islam sebagai nilai (value); yakni ditemukannya
nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. (Haidar Putra
Daulay, 2009) Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari
problematika yang muncul ketika diterapkan di sekolah. Diantara problem
tersebut adalah:
1.
Problem Anak Didik
Problem yang
berkaitan dengan anak didik perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dipecahkan,
karena anak didik merupakan pihak yang dibina untuk dijadikan manusia yang
seutuhnya, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun dalam masyarakat.
Pengertian anak
didik adalah anak yang belum mencapai kedewasaan, baik fisik maupun psikologis
yang memerlukan usaha serta bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa guna
dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba Tuhan serta sebagai bagian dari
masyarakat dan warga negara. Peserta didik dijadikan sebagai pokok persoalan
dalam semua gerak kegiatan dan pengajaran. Pendidik tidak mempuyai arti apa apa
tanpa kehadiran peserta didik sebagai subyek pembinaan.
Dalam perspketif pedagogis, peserta didik adalah sejenis makhluk yang
menhajatkan pendidikan.
Suwardi, menyatakan
bahwa sistem pendidikan Islam selama ini hanya mengandalkan kekuasaan
pendidikan, tanpa memperhatikan pluralisme subyek didik, yang sudah saatnya
harus dirubah agar tercipta masyarakat madani, yakni peserta didik yang aktif,
membiasakan berpendapat dengan penuh tanggung jawab serta membangun norma-norma
keberadaban.
Selama ini memang
dirasakan bahwa proses pendidikan Islam terkesan menganut asas subject matter
oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi yang kognitif
dan motorik yang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan
psikologi peserta didik.
(Hujair, 2003)
Adapun
problem-problem yang terdapat pada anak didik antara lain:
a. Problem kemampuan ekonomi keluarga.
b. Problem intelegensia.
c. Problem bakat dan minat.
d. Problem perkembangan dan pertumbuhan.
e. Problem kepribadian.
f. Problem sikap.
g. Problem sifat.
h. Problem kerajinan dan ketekunan.
i. Problem pergaulan.
j. Problem kesehatan.
(Ramayulis, 2004)
Dalam
rangka memenuhi keselarasan antara jasmani dan rohani peserta didik, maka
terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya problem bagi peserta didik yang
perlu diperhatikan. Faktor penyebab kesulitan belajar yang dirasakan oleh
peserta didik dikarenakan adanya pengaruh dari dalam diri peserta didik itu
sendiri, yang meliputi:
1) Intelengensi peserta didik
Setiap
peserta didik sejak lahirnya memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, antara satu
dengan yang lainya. Kemampuan peserta didik dalam kelas tidak sama, hal ini
mengakibatkan adanya hambatan bagi pendidik dalam menyampaikan pelajaran
(transfer knowledge). Jika pendidik hanya memperhatikan peserta didik yang
memiliki intelengensi yang tinggi, maka keadaan kelas tidak akan harmonis yang
pada akhirnya akan menimbulkan kecemburuan di hati peserta didik yang
berintelegensi rendah karena merasa tidak diperhatikan, sehingga pada akhirnya
tujuan intruksional khusus tidak tercapai. (Abu Ahmadi, 1997)
2) Minat peserta didik.
Minat
pada peserta didik dapat diartikan sebagai rasa senang atau tidak senang dalam
menghadapi suatu subjek pelajaran. Prinsip dasarnya ialah bahwa minat peserta
didik akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki rasa senang yang tinggi
dalam melakukan tindakanya. Minat peserta didik erat kaitannya dengan perhatian
yang diberikannya dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kefektifan suatu
proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh kualitas perhatian pendidik terhadap rangsangan.
3) Motivasi.
Motivasi
dapat diartikan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk belajar. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa hasil belajar
pada umumya meningkat jika motivasi belajar bertambah baik motifnya dari
intrinsik maupun ekstrinsik.
(Muhammad Surya, 2003)
Uraian
di atas menjelaskan bahwa perhatian merupakan salah satu faktor psikologis yang
dapat membantu terjadinya interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam
proses belajar-mengajar. Perhatian merupakan faktor terpenting dalam usaha
belajar mengajar pada peserta didik.
2. Problem Pendidik
Dalam
proses pendidikan khususnya pendidikan di sekolah, Pendidik memegang peranan
yang paling utama. Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan kata
muaddib, muallim dan murabbi. Gambaran tentang hakikat pendidik dalam Islam
adalah orang orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik
dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik, baik affektif, kognitif dan
psikomotorik.
Marimba
mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab sebagai pendidik
yaitu manusia dewasa yang mempuyai hak dan kewajiban dalam mendidik peserta
didik. Oleh karena itu, seorang pendidik memikul tanggung jawab yang bersifat
personal dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri,
kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap orang yang bertanggung jawab
atas pendidikan orang lain. Hal ini tercermin dalam firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ
غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahriim Ayat 6)
Pendidik
dalam lingkungan keluarga adalah orang tua, hal ini disebabkan karena secara
alami anak didik pada masa awal kehidupannya berada ditengah tengah ayah dan
ibunya. Sedangkan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah disebut dengan
guru/dosen.
Sebagai
Mu’allim, pendidik akan
melakukan transfer ilmu/pengetahuan/nilai ke dalam diri sendiri dan peserta
didiknya, serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk
mengamalkanya. Sebagai Muaddib seorang pendidik sadar bahwa eksistensi GPAI
memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa
depan melalui kegiatan pendidikan.
Diantara
problem seorang pendidik adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang
diajarkan. Dan jika muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar
agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian
guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk
menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan
lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan
sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran
pendidikan agama. Guru-guru agama di beberapa sekolah selain kurang mendalami
materi yang diajarkan, juga sering kali mengajar tanpa memperhatikan
didaktik-metodik dan psikologi anak. Agar pendidikan agama dapat mencapai hasil
sesuai tujuan yang diharapkan, maka setiap guru agama harus mengetahui dan
menguasai berbagai metode pembelajaran dan pendekatan. Namun pada kenyataannya,
pelajaran pendidikan agama di sekolah masih dominan menggunakan metode ceramah.
Selain
itu, problem sumber daya kependidikan secara umum yang merupakan masalah pokok
yang dihadapi pendidikan Islam adalah rendahnya kualitas tenaga pendidik.
Fazlur Rahman menyatakan Indonesia seperti halnya negeri-negeri muslim besar
lainnya juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan Islam yaitu
masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset,
dikarenakan pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan tambahan
di luar lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupanya tiap bulan.
Akibatnya, etos kerjanya sebagai pendidik agama di sekolah sangat menurun.
Pendidik
dalam pendidikan agama Islam dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme
dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan professional, bilamana pada
dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen
terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni
selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model model yang sesuai dengan
tuntutan zamanya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah
tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada masa zamanya. (Muhaimin,
2002)
Dalam
perspektif pendidikan Agama Islam di Sekolah, guru seringkali mengalami kendala
dalam menanamkan pembiasaan ajaran Islam di sekolah. Hal ini semata-mata disebabkan
karena guru tidak memiliki kompetensi yang matang, serta juga tidak didukung
oleh penguasaan konsep internalisasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum
oleh guru-guru bidang studi lainnya.
3. Problem Kurikulum
Kurikulum
merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem
pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan
dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan
tingkat pendidikan. Dalam Bahasa Arab kurikulum diistilahkan manhaj yang
berarti jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai kehidupan.
Sedangkan arti manhaj/kurikulum dalam pendidikam Islam sebagaimana yang
terdapat dalam kamus At-Tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang
dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan.
Definisi
tentang kurikulum juga telah dirumuskan oleh para pakar pendidikan, diantaranya
definisi yang dikemukakan oleh M. Arifin
yang memandang kurikulum sebagai seluruh mata pelajaran yang disajikan dalam
proses pendidikan dalam suatu institusional pendidikan. Nampaknya definisi ini
masih terlalu sederhana dan lebih terpaku pada materi pelajaran semata.
Sementara, Zakiah Daradjad menganggap kurikulum sebagai suatu program yang
direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah
tujuan pendidikan tertentu. Definisi kurikulum ini nampaknya lebih luas dari
definisi yang pertama, karena kurikulum tidak hanya mencakup pada materi
pelajaran semata namun juga mencakup seluruh program di dalam kegiatan
pelajaran. (Ramayulis, 2004)
Dalam
pandangan dunia pendidikan, keberhasilan program pendidikan sangat tergantung
pada perencanaan program kurikulum pendidikan tersebut, karena “kurikulum, pada
dasarnya berfungsi untuk menyediakan program pendidikan (bluefrint) yang
relevan bagi pencapaian sasaran akhir program pendidikan. Dengan kata lain,
Fungsi kurikulum adalah menyiapkan dan membentuk peserta didik agar dapat
menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan orientasi
kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program kurikulum
diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan
datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa akan
datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap calon-calon
penganggur pada masa yang akan datang. (Hujair, 2003)
Dalam
hal ini kurikulum pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek
korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan-hafalan teks keagamaan
yang sudah ada. Proses pendidikan agama Islam, seringkali dapat disaksikan
praktek pendidikan yang kurang menarik dari sisi materi dan metode penyampaian
yang diaplikasikan. Desain kurikulum pendidikan agama Islam sangat didominasi
oleh masalah yang sangat normative, apalagi materi pendidikan Islam yang
kemudian disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan atau menekankan
ortodoksi dalam pelajaran mata agama yang diidentikkan dengan keimanan, dan
bukan ortopraksis yaitu bagaimana mewujudkan iman dalam tindakan nyata
operasional. (Hujair, 2003)
Amin
Abdullah misalnya, salah seorang pakar keislaman non tarbiyah, juga telah
menyoroti kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang selama ini berlangsung
di sekolah, antara lain sebagai berikut:
a. Kurikulum Pendidikan Islam lebih banyak terkosentrasi pada
persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata.
b. Kurikulum Pendidikan Islam kurang konsen terhadap persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan nilai
yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara dan
media.
c. Kurikulum Pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada
aspek korespondensi tekstual, yang lebih menitikberatkan pada hafalan teks
keagamaan yang sudah ada
d. Sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam
menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut
mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna“ spiritual keagamaan yang fungsional
dalam kehidupann sehari hari. (Muhaimin, 2002)
4. Problem
Evaluasi
Evaluasi
merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang sangat penting. Dengan
evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran yang
dilaksanakan. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat mengukur segi
kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Kebanyakan evaluasi yang
dilakukan selama ini hanyalah mengukur kognitif siswa saja, sedang afektif dan
psikomotoriknya terabaikan. Hasil evaluasi kognitif tersebut dimasukkan ke
dalam raport siswa, maka kemungkinan akan terjadi penilaian yang kurang
obyektif. Adakalanya siswa yang rajin beribadah lebih rendah nilainya daripada
siswa yang malas beribadah.
Seharusnya
kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan
agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai
alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama
peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang
belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar. (Mochtar Buchori,
1994)
5. Problem Manajemen
Manajemen
merupakan terjemahan dari kata management yang berarti pengelolaan,
ketata-laksanaan. Management berakar dari kata to manage yang berarti mengurus,
mengatur, melaksanakan, atau mengelola.
Manajemen
pendidikan dapat diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan pengelolaan
proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, baik tujuan jangka
pendek, menengah, maupun jangka panjang. (Mulyasa, 2002)
Manajemen
atau pengelolaan merupakan komponen integral yang tidak dapat dipisahkan dari
proses pendidikan secara keseluruhan. Alasanya tanpa manajemen tidak mungkin
tujuan pendidikan dapat direalisasikan secara optimal, efektif dan efesien.
Manajemen
pendidikan Islam mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang
sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan. Dari kerangka inilah tumbuh kesadaran untuk melakukan upaya
perbaikan dan peningkatan kualitas menajemen pendidikan, baik yang dilakukan
pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Manajemen
pendidikan agama Islam merupakan tanggung jawab Departemen Agama, sehingga hal
ini mempuyai dampak pada pendanaan pendidikan. Artinya anggaran belanja negara
bidang pendidikan hanya dialokasikan kepada lembaga lembaga pendidikan umum
yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan pendidikan Islam
tidak diambil dari anggaran negara bidang pendidikan, tetapi dari anggaran
bidang agama, sehingga anggaran pembiayaan pemerintah untuk pendidikan Islam
jauh lebih kecil dibandingkan untuk pendidikan umum.
Upaya
lain adalah diundangkan UUSPN 1989 sebagai usaha untuk menngabungkan
(integrasi) sistem pendidikan yang lebih dikenal dengan istilah pendidikan satu
atap. Akan tetapi upaya ini semua sampai saat ini belum pernah selesai dan
terimplementasi dengan baik. Dengan kata lain dalam menajemen pendidikan di
Indonesia, pendidikan Islam belum mengalami transformasi posisi yang berarti
dan diberlakukan sacara sejajar oleh pemerintah dengan pendidikan umum di bawah
Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam
pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia, “posisi pendidikan Islam masih
dalam posisi marginal.
Inilah
realitas yang dihadapi, sehingga menjadikan pendidikan Islam secara umum kurang
diminati dan kurang mendapat perhatian. Hal ini didukung dengan materi
kurikulum dan manajemen pendidikan yang kurang memadai, kurang relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Lulusannya kurang memiliki ketrampilan
untuk bersaing dalam dunia kerja. Melihat kenyatatan ini, maka reformasi
manajemen pendidikan Islam menjadi suatu keharusan. Sebab dengan
langkah-langkah berusaha pembenahan dan peningkatan profesionalisme
penyelenggaran pendidikan akan mampu menjawab berbagai tantangan dan dapat memberdayakan
pendidikan Islam di masa depan. Dalam hal ini pendidikan agama Islam menerapkan
manajemen berbasis sekolah artinya pengelolaan pendidikan pendidikan mengarah
kepada pengelolaan kepada pengelolaan manajemen berbasis sekolah.
Penerapan
manajemen berbasis sekolah juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat
peserta didik, pendidik, serta kebutuhan masyarakat setempat.
Bank
dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatiakan dalam penerapan
manajemen berbasis sekolah. Faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah
yang menawarkan keluasan pengelolaan masyarakat, kebijakan dan prioritas
pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan berhak merumuskan kebijakan yang
menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan
mutu dan pemerataan pendidikan, peranan orang tua dan masyarakat perlu dihimpun
dalam satu badan sekolah yang dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
sekolah, peranan profesionalisme kepala sekolah, pendidik, administrasi dalam
mengoperasikan sekolah.
(Hujair, 2003)
6. Problem Sarana dan Prasarana
Sarana
pendidikan agama Islam adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung
dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan khususya proses belajar mengajar
seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta peralatan dan media pengajaran
yang lain. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas
yang secara tidak langsung menunjang jalanya proses pendidikan atau pengajaran
seperti kebun, halaman, taman sekolah, jalan menuju sekolah. (Muhammad Surya, 2003) Zakiah Deradjat menyamakan sarana
pendidikan dengan media pendidikan. Dalam hal ini, Gegne mendefinisikan sarana
pendidikan sebagai alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang
peserta didik untuk belajar.
Sarana
pendidikan Agama Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi secara optimal
dan berarti pada jalanya proses pendidikan Islam. Dengan demikian apabila
pendidikan Islam memanfaatkan dan menggunakan sarana pendidikan, maka peserta
didik akan memiliki pemahaman yang bagus tentang materi yang diperoleh, dan
juga diharapkan akan memiliki moral yang baik.
Sarana
dan prasarana pendidikan agama Islam yang baik, diharapkan dapat menciptakan
sekolah yang bersih, rapi dan indah sehingga menciptakan sekolah yang menyenangkan
bagi pendidik maupun peserta didik yang berada di sekolah. (Ramayulis, 2004)
7. Problem Lingkungan
Lingkungan
adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam kehidupan yang
senantiasa berkembang. Kondisi lingkungan mempengaruhi proses belajar dan hasil
belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik/ alam dan lingkungan
sosial.
Lingkungan
sosial mempuyai peran penting terhadap berhasil tidaknya pendidikan agama
karena perkembangan jiwa peserta didik sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkunganya.
Lingkungan akan dapat menimbulkan pengaruh positif dan negatif terhadap
pertumbuhan jiwanya, dalam sikap maupun perasaan keagamaan.
Problem
lingkungan ini mencakup:
a. Suasana keluarga yang tidak harmonis akan mengkibatkan pengaruh
yang kurang baik terhadap perkembangan peserta didik.
b. Lingkungan masyarakat yang tidak/kurang agamis akan menggangu
perjalanan proses belajar mengajar disekolah.
c. Kurangnya pemahaman orang tua akan arti nilai-nilai agama Islam
akan mempengaruhi terhadap pendidikan anak. (Sumardi Suryabrata, 2004)
D.
Upaya Mengatasi
Problematika Pendidikan Agama di Sekolah
Untuk
mengatasi problematika pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah dapat
diupayakan beberapa solusi yang diharapkan mampu meyelesaikan permasalahan yang
dihadapi sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Upaya Mengatasi Problematika Peserta Didik dalam Pendidikan
Agama Islam
Untuk
mengatasi berbagai problem peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Solusi terhadap problem yang terdapat pada peserta didik sangat
dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan
belajar baik siap dalam kondisi fisik atau psikis (jasmani atau mental)
individu yang memungkinkan dapat melakukan belajar.
b. Adanya motivasi terhadap peserta didik baik motivasi intrinsik
yaitu motivasi yang datang dari peserta didik atau motivasi ekstrintik yaitu
motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam hubungan
ini motivasi dapat dilakukan dengan jalan menimbulkan atau mengembangkan minat
peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya. Para pendidik diharapkan
mampu menumbuhkan dan mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan
kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian peserta didik akan memperoleh
kepuasan dan unjuk kerja yang baik. (Muhammad Surya,
2003) Untuk dapat menjamin belajar dengan baik peserta didik harus memiliki
perhatian terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya. Sebaliknya jika bahan
pelajaran tidak menarik, maka akan membosankan. Hal itu akan mengakibatkan
prestasi belajar peserta didik di sekolah akan jadi turun. Karena itu pendidik
harus mengusahakan agar bahan pelajaran yang diberikan dapat menarik perhatian
siswanya. Jika perlu diberi selingan dengan humor, agar peserta didik tidak
merasa jenuh menerima mata pelajaran
c. Mengingat adanya hambatan terhadap peserta didik tersebut maka
sebaiknya pendidik mengadakan test untuk mengetahui kemampuan peserta didik.
Apabila mayoritas peserta didik memiliki kemampuan intelegensi tinggi, maka
bagi peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan memberikan
pelajaran tambahan atau peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan
dengan cara jalan lain yaitu dengan menempatkan peserta didik pada kelas yang
memiliki kemampuan rata rata yang sama.
2. Upaya Mengatasi Problem Pendidik dalam Pendidikan Agama
Islam.
Dalam peningkatan etos kerja dan meningkatkan kualitas pendidikan agama
Islam di sekolah, maka yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
a. Penghasilan pendidik dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena
rendahnya gaji pendidik akan mengakibatkan terhambatnya usaha dalam
meningkatkan profesionalitas kualitas pendidik.
b. Seorang pendidik memahami tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta
didik.
c. Seorang pendidik harus mampu menggunakan variasi metode mengajar
dengan baik, sesuai dengan karakter materi pelajaran dan situasi belajar
mengajar. (Abu Ahmadi,
1997)
3. Upaya Mengatasi Problem Kurikulum dalam Pendidikan Agama
Islam
Dalam
mengatasi problem kurikulum, maka pembuatan kurikulum haruslah memperhatikan
kesesuaian kurikulum dengan perkembangan zaman pada masa kini serta masa-masa
yang akan datang, sehingga peserta didik memiliki bekal dalam menghadapi
kompetisi dalam kehidupan nyata yang cenderung hedonis dan materialis. Pembuatan
kurukulum juga harus menyeimbangkan antara teoritis dan praktis dalam
keagamaan. Peserta didik harus dilatih bagaimana ia mempraktikan teori yang ada
dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik mengerti bagaimana ia
nantinya harus mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasil
studi bank dunia, menyimpulkan bahwa salah satu komponen pendidikan yang ikut
menentukan baik-buruknya sistem pendidikan adalah kurikulum yang diberlakukan.
Badan moneter dunia ini juga mensyaratkan sistem pendidikan sebuah negara dapat
baik bilamana memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
Pertama,
kurikulum memenuhi sejumlah kompetensi untuk menjawab tuntutan dan tantangan
arus globalisasi. Kedua, kurikulum yang dibuat bersifat lentur dan
adaptif dalam menghadapi perubahan yang kompetitif. Ketiga, kurikulum
berkorelasi dengan pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat. (Muhaimin, 2003)
4. Upaya Mengatasi Problem Evaluasi dalam Pendidikan Agama Islam
Seharusnya
kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan
agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai
alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama
peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang
belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar. (Mochtar Buchori, 1994)
5. Upaya Mengatasi Problem Manajemen dalam Pendidikan Agama
Islam
Dalam
peningkatan mutu pendidikan di sekolah, seharusya terjalin hubungan antara
sekolah dengan orang tua peserta didik dimaksudkan agar orang tua mengetahui
berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah untuk
kepentingan peserta didik dan juga orang tua peserta didik mau memberi
perhatian yang besar dalam menunjang program program sekolah.
Terjalinya
sekolah dengan masyarakat bertujuan memelihara kelangsungan hidup sekolah dan
memproleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka mengembangkan
pelaksanan program program sekolah. (Sudarwan Danim, 2003).
6. Upaya Mengatasi Problem Sarana dan Prasarana dalam Pendidikan
Agama Islam
Sarana
pendidikan sangat menunjang dalam proses belajar mengajar, hal ini akan
menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
madrasah.diantaranya adalah :
a. Gedung sekolah yang memadai sehingga membuat peserta didik
senang dan bergairah belajar di dalam sekolah.
b. Sekolah harus memiliki perpustakaan dan dimanfaatkan secara
optimal baik oleh pendidik atau peserta didik.
c. Adanya alat alat peraga yang lengkap akan sangat membantu
pencapaian tujuan pendidikan.
d. Adanya alat sarana untuk ibadah.
7. Upaya Mengatasi Problem Lingkungan dalam Pendidikan Agama
Islam
a. Suasana keluarga yang aman dan bahagia, itulah yang diharapkan
akan menjadi wadah yang baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak didik yang
dibesarkan dalam keluarga.
b. Lingkungan masyarakat agamis akan dapat menunjang keberhasilan
pendidikan dan sebaliknya lingkungan yang tidak sehat akan dapat menyebabkan
terhambatnya dalam proses belajar mengajar.
c. Orang tua yang belum memahami arti nilai nilai agama Islam akan
mempengaruhi terhadap pendidikan anak.
E.
Gambaran Umum Problematika Pendidikan
Agama di Sekolah
Berikut akan disajikan gambaran
mengenai problematika pendidikan agama Islam dalam proses pembelajaran di
sekolah:
No
|
Ruang Lingkup/Aspek
|
Problematika
|
Solusi
|
1.
|
Al- Quran
|
1.
Kurangnya kemampuan siswa dalam
membaca dan menulis.
2.
Waktu yang tersedia tidak
mencukupi apabila pembelajaran al-Quran ditambah.
|
1.
Bekerjasama dengan TPQ di
lingkungan sekolah.
2. Dengan menambahkan pembelajaran al-Quran bagi siswa
dalam prog. Ekstrakurikuler.
|
2.
|
Al-Hadits
|
1.
Kurangnya materi hadits yang ada
di dalam kurikulum.
2.
Bersifat hafalan.
|
1.
GPAI mengembangkan materi hadits
sehingga hadits yang ditampilkan lebih beragam.
2. Mengaitkan materi hadits dengan kehidupan
sehari-hari(lebih aplikatif).
|
3.
|
Keimanan/Aqidah
|
1.
Lebih bersifat pendoktrinan.
2.
Bersifat kognitif.
|
1.
Mengaitkannya dengan kehidupan
nyata sehari-hari serta membuka dialog.
2. Memberikan pengalaman belajar langsung sehingga
mengesankan bagi siswa.
|
4.
|
Akhlak
|
1.
Lebih menekankan kepada kemampuan
kognitif.
2.
Contoh-contoh yang diberikan lebih
bersifat sosok ideal lama.
|
1.
Evaluasi harus diubah, yaitu lebih
menekankan kepada penerapan, misalnya dengan pembelajaran penerapan langsung.
2. Mengaitkannya dengan sosok/tokoh masa kini
|
5.
|
Fiqih
|
1.
Penilaian seringkali lebih
menekankan kemampuan kognitif.
2.
Kurangnya sarana prasarana.
|
1.
Evaluasi juga menekankan kepada
penerapan.
2.
Bekerjasama dengan lembaga
keagamaan di sekotar sekolah.
|
6.
|
SKI
|
1.
Seringkali hanya bersifat narasi
dan hafalan.
2.
Kurangnya minat siswa.
|
1.
Menekankan kepada pengambilan
hikmah.
2. Ditampilkan suasana yang menarik minat siswa, dengan
mengaitkannya kepada kehidupan sehari-hari siswa.
|
Beberapa
problematika dan solusi di atas hanya sebagian kecil dari problematika
Pendidikan Agama Islam di sekolah, serta hanya bersifat teknis pada segi
pelaksanaan pembelajaran. Namun pada kenyataannya, problematika yang
muncul tidak hanya pada sisi pembelajaran di dalam ataupun luar
kelas. Namun juga berkenaan dengan kebijakan sekolah, maupun pemerintah
daerah yang kadangkala dinilai kurang mendukung kesuksesan Pendidikan Agama
Islam di sekolah. (Zuhairini
dan Abdul Ghafir, 2004) Demikian pula keadaan guru
Pendidikan Agama Islam di daerah yang masih banyak belum menguasai teknologi,
sehingga pembelajaran cenderung bersifat tradisional. Hal tersebut juga
akan mempengaruhi perhatian siswa dalam mengikuti pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Problematika pendidikan agama di
sekolah adalah masalah yang dihadapi oleh dunia
pendidikan agama dalam suasana
dan proses pembelajaran dalam rangka pengembangan potensi seseorang baik secara
umum maupun khusus.
Pendidikan agama Islam di sekolah berperan
sebagai berikut : Membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka membangun
manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan
mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Problematika
pendidikan agama di sekolah : Problem
Anak Didik, problem Pendidik,
problem Kurikulum, problem Evaluasi, problem Manajemen, problem Sarana dan
Prasarana, problem Lingkungan.
Dari beberapa problem-problem dalam pendidikan
agama di sekolah, adapun upaya untuk mengatasi problematika pelaksanaan
pendidikan agama Islam di sekolah tersebut yang diharapkan mampu meyelesaikan permasalahan yang
dihadapi.
2 komentar:
Terima kasih bisa bantu menyelesaikan tugas kuliah. daftar pustakanya kok disertakan pula...
ada Daftar Pustakanya gk ?
Posting Komentar