BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Filsafat,
terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7
S.M..Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan
keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan
diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak
yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta
sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang
Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang
di pesisir barat Turki.
Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar
karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada
sejarah filsafat.
Periode
Yunani kuno ini lazim di sebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian karena
pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah
dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati disekitarnya. Merekamembuat
pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan
akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas pertama dari
alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada dibelakang segala
sesuatu yang serba berubah.
Suatu pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan
teoritis tidak pernah melayang-layang di udara. Setiap pemikiran teoritis
mempunyai hubungan erat dengan lingkungan dimana pemikiran itu dijalankan. Itu
benar juga bagi permulaan pemikiran teoritis, yaitu lahirnya filsafat di Yunani
dalam abad ke-7 SM. Supaya jangan ada salah faham, dengan segera harus ditambah
disini bahwa bagi seorang Yunani filsafat tidak merupakan suatu ilmu dissamping
ilmu-ilmu lain, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiah. Tanah yunani
adalah tempat persemaian dimana pemikiran ilmiah mulai bertumbuh. Kiramya sudah
jelas bahwa lahirnya filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani tidak dapat
dimengerti tanpa sekedar mengetahui sedikit kebudayaan Yunani.
Alam pikiran Yunani sebenarnya tidak asing bagi
kita. Kalau kita memandang pemikiran Yunani, kita tidak meninjau reruntuhan
yang sudah lama ditinggalkan, melainkan kita menghadapi unsur-unsur yang
sebagian besar menjadi batu bangunan untuk kultur modern. Misalnya, jika kita
menuntut jalan pikiran yang logis, kita tidak membuat lain daripada meneruskan
tradisi yang kita warisi dari orang Yunani. Dan betapa banyak kategori pikiran
kita pakai, dengan tidak menyadari bahwa itu berasal dari kebudayaan Yunani.
Lagi pula, bagaimana dapat kita membayangkan kultur modern, tanpa peranan yang
dimainkan oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi ? padahal, seperti yang sudah
kita lihat, pemikiran ilmiah merupakan suatu penemuan Yunani.
B.
TUJUAN :
1.
Menjelaskan perkembangan filsafat padamasa Yunani
2.
Menjelaskan filosof-filosof pertama pra Sokrates
BAB II
ISI/PEMBAHASAN
A. Perkembangan filsafat pada masa Yunani
1. Sejarah filsafat Yunani
Dipandang
dalam sejarah filsafat seluruhnya, maka masa filsafat Yunani kuno mempunyai
kedudukan istimewa, karena disini kita menemui timbulnya filsafat sendiri.
Mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Dari sebab
itu sebenarnya tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal daripada studi
mengenai pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Seorang filosof
modern pernah mengatakan mengenai plato: “All Western philosophy is but a
series of footnote to Plato”[1]
(Alfred Whitehead). Diterima secara harfiah, tuturan ini tentu melebih
lebihkan. Tetapi tidak sukar menangkap kebenarannya. Pada Plato dan umumnya
dalam seluruh filsafat Yunani kita berjumpa dengan problem-problem filsafat
yang masih dipersoalkan sampai pada hari ini. Tema-tema filsafat Yunani,
seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”,
“pengenalan”, “Allah”, “dunia”, merupakan tema-tema pula bagi sejarah filsafat
seluruhnya. Dan daftar ini pasti tidak lengkap. Filsuf-filsuf Yunanisatu kali
untuk selamanya menjuruskan pemkiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat
sekatang masih tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama
kalinya dikemukakan dalam kalangan mereka.
Dalam
pada itu tidak boleh disembunyikan bahwa ilmu sejarah mengalami
kesulitan-kesulitan yang bukan main dalam menghadapi filsafat Yunani kuno.
Orang yang wataknya sedikit skeptis mungkin akan mengatakan bahwa banjir
publikasi-publikasi yang disebut di atas, sebetulnya tidak mengherankan, karna
justru dalam bidang ini ketidakpastian begitu besar. Sampai-sampai tentang
periode sejarah filsafat ini sudah pernah dikatakan: “The early Greek period is
more a field for fancy than for fact”.[2]
Kesulitannya berasal dari keadaan sumber-sumber, dimana pikiran filsuf-filsuf
bersangkutan disimpan bagi kita. Ada filsuf Yunani yang tidak menulis satu
barispun (Thales, Pythagoras, Sokrates). Untuk menetapkan pikiran mereka,
terpaksa kita harus mempercayakan diri kepada kesaksian orang lain yang
membicarakan ajaran mereka. Lalu ada filsuf yang memang menulis satu karangan
atau lebih, tetapi tulisan itu sudah hilang dan mau tidak mau kita harus merasa
puas dengan bebrapa fragmen yang misalnya dikutip oleh pengarang lain atau
dengan kesaksian-kesaksian tentang ajaran mereka. Tetapi disini persoalan
muncul, atas cara bagaimanakah kita sanggup menentukan bahwa kesaksian
sedemikian itu dapat dipercaya. Kesulitan mengenai sumber-sumber terutama
terdapat pada filsuf-filsuf yang mendahului Sokrates dan karenanya dinamakan “filsuf-filsuf
pra Sokratik”. Berkenaan dengan masalah ini sarjana jerman yang bernama Hermann
Diels (1848-1922) mempunyai jasa besar sekali. Ia menulis dua karya yang sangat
meringankan tugas sejarawan dalam bidang filsafat Yunani. Karya pertama
berjudul Die Fragmente de Vorsokratiker (Berlin,
1903) dan mengumpulkan semua fragmen tentang folsuf-filsuf pra sokratik. Karya
kedua bernama Doxographi Graeci (Berlin,
1879) dan mempelajari secara kritis semua kesaksian yang ditemui pada
pengarang-pengarang kuno tentang ajaran filsuf-filsuf Yunani.
B. Filsuf-filsuf pertama pra Sokrates
1. Thales
Thales
(624-546 SM ), orang Miletus itu, digelari bapak filsafat karena dialah orang
yang mula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan karena ia mengajukan
pertanyaanyang amat mendasar, yang jarang diperhatikan orang, juga zaman
sekarang : What is nature of the world stuff? (Mayer, 1950:18) Apa sebenarnya
bahan alam semesta ini? Tak pelak lagi, pertanyaan ini amat mendasar. Terlepas
dari apa pun jawabannya, pertanyaan ini saja telah mampu mengangkat namanya
menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Jawaban ini sebenarnya amat sederhana, dan belum tuntas. Belum
tuntas karena dari apa air itu? Thales mengambil air sebagai asal alam semesta
barang kali karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam
kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapuang diatas air. (Mayer,
1950:18)
Lihatlah jawabanya amat sederhana; pertanyaan
yang jauh lebih berbobot dibanding dengan jawabannya. Thales menjadi filsuf
karena ia bertanya. Pertanyaan itu ia jawab menggunakan akal, bukan menggunakan
agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya ialah karena air penting bagi
kehidupan. Disini akal mulai digunakan, lepas dari sebuah keyakinan.
2.
Anaximander
Anaximander
mencoba menjelaskan bahwa subtansi pertama itu bersifat kekal dan ada dengan
sendirinya (Mayer, 1950: 19), Anaximender mangatakan itu udara. Udara merupakan
sumber segala kehidupan, demikian alasanya. Pembicaraan ketiga filosof ini saja
telah memperlihatkan bahwa di dalam
filsafat dapat terdapat lebih dari satu kebenaran tentang satu
persoalan. Sebabnya ialah kebenaran
teori dalam filsafat terletak pada logis atau tiadaknya argumen yang digunakan,
bukan terletak pada kongkulasi. Di sini sudah kelihatan bibit relativisme yang
kelak dikembangkan dalam filsafat sofisme.
3. Anaximenes
Menurut
Anaximenes, prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dalam
satu-satunya sifat yang disimpan dari karyanya ia mengatakan bahwa seperti jiwa
menjamin kesatuan tubuh kita, demikian pun udara melingkup segala-galanya. Jiwa
sendiri juga tidak lain daripada udara saja, yang dipupuk dengan bernafas.
Karenanya Anaximenes adalah pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara
tubuh manusiawi dan jagat raya. Tema ini kemudian sering kali akan kembali lagi
dalam sejarah filsafat Yunani. Tubuh adalah mikrokosmos
(dunia kecil) dan seakan-akan mencerminkan jagat raya yang merupakan makrokosmos (dunia besar). Tetapi
Anaximenes sendiri belum mempergunakan istilah-istilah itu.
Udara
melahirkan sebuah benda dalam alam semesta karena suatu proses “pemadatan dan
pengenceran” (condensation and rarefaction). Kalau udara semakin bertambah kepadatannya,
maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah dan akhirnya batu. Sebaliknya,
kalau udara itu menjadi lebih encer, yang timbul ialah api.
Ada
sejarawan yang menyangka bahwa ajaran Anaximenes merupakan kemunduran, jika
dibandingkan dengan pemikiran Anaximander. Alasannya bahwa pemikiran
Anaximander itu lebih subtil serta spekulatif.
Tetapi
ada sejarawan lain yang berpendapat bahwa ajaran Anaximenes harus dianggap
sebagai kemajuan. Alasan yang mereka kemukakan ialah bahwa karena proses
pemadatan dan pengenceran itu untuk pertama kalinya suatu hukum fisis dikenakan
pada alam semesta, sebagai pengganti hukum moral (keadilan) dari Anaximander.
Dengan demikian perbedaan-perbedaan alam semesta dianggap bersifat kuantitatif
belaka. Anggapan ini membuka perspektif-perspektif luas untuk penyelidikan
ilmiah.
Pandangan
Anaximenes tentang susunan jagat raya pasti merupakan kemunduran, dibandingkan
dengan Anaximender. Menurut Anaximenes bumi (yang berupa “meja bundar”,
katanya) melayang diatas udara. Demikianpun matahari, bulan dan
bintang-bintang, “laksana sehelai daun”. Badan-badan jagat raya itu tidak
terbenam dibawah bumi, sebagaimana agaknya dipikirkan Anaximander, tetapi
mengelilingi bumi yang datar itu. Matahari lenyap pada waktu malam, karena
tertutup dibelakang bagian-bagian tinggi.
4. Heraclutus
Ia
lahir di Ephaus, sebuah kota perantauan di Asia kecil dan merupakan kawan dari
Pithagoras dan Xenophones, akan tetapi lebih tua. Ia mendapat julukan si gelap,
karena untuk menelusuri gerak fikiranya sangat sulit. Hanya dengan melihat
fragmen-fragmenya, ia mempunyai kesan berhati tinggi dan sombong, sehingga ia
mudah mencela kebanyakan manusia untuk mengatakan jahat dan bodoh, juga mencela
orang-orang terkemuka dinegeri Yunani.
Pemikiran filsafatnya terkenal dengan
filsafat menjadi. Ia mengemukakan bahwa segala sesuatunya (yang ada itu) sedang
menjadi dan selalu berubah. Sehingga ucapanya yang terkenal: Panta rhei kai uden menci, artinya
segala sesuatunya mengalir bagaikan sungai dan tak satu orang pun dapat masuk
ke sungai yang sama dua kali. Alasanya, oleh karena air sungai yang ppertama
telah mengalir, berganti dengan yang berada dibelakangnya. Demikian juga
dengansegala yang ada, tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Akhirnya
dikatakan bahwa hakikat dari segalah sesuatu adalah menjadi.
Heraclitos mengemukakan pendapatnya,
bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang terjadi. Ia mempercayai bahwa
arche (asas alam semesta) adalah api. Api ddianggapnya sebagai lambang
perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada dan
mengubahnya sesuatu itu menjadi abu atau asap
Meurut pendapatnya, di alam arche
terkandug sesuatu yang hidup (seperti roh) yang disebutnya sebagai logos (akal
semacam wahyu). Logos inilah yang menguasai dan sekaligus mengendalikan
keberadaan segala sesuatu. Hidup manusia akan selamat apabila sesuai dangan
logos.
5. Parmenides
a. Riwayat hidup
Parmenides
adalah seorang tokoh relativisme yang penting, kalau bukan yang terpenting.
Parmindes lahir kira-kira tahun 450 SM dikatakan logikawan pertama dalam
sejarah filsafat, bahkan dapat disebut filosof pertama dalam pengertian modern.
Sistemnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi logis, tidak seperti
Heractlitus, misalnya, yang menggunakan metode intiusi, Pernyataan Plato amat
menghargai metode Parmanides itu, Plato lebih banyak mengambil dari Parmindes
dibandingkan dengan filosof lain pendahulunya.
b. Karya
Parmenides
mengarang filsafatnya dalam bentuk puisi. Di kemudian hari Empedokles akan
meniru bentuk literer ini, tetapi selain itu puisi tidak dipilih lagi oleh
orang Yunani untuk membahasan pikiran filsafat.
Syair
Parmenides terdiri dari prakata dan dua bagian, yang masing-masing disebut jalan kebenaran dan jalan pendapat. Prakata dan bagian pertama hampir komplit disimpan,
yaitu 111 ayat. Dari bagian kedua kita hanya mempunyai 42 ayat saja: menurut
dugaan H. Diels itulah sepersepuluh dari teks asli. Dengan meniru gaya bahasa
yang lazim dalam Orfisme, dalam prakata ia melukiskan bagaimana ia dihantar ke
istana Sang Dewi., dengan itu ia berbalik dari kegelapan menuju terang. Sang
Dewi menyatakan segala-galanya kepadanya dengan melukiskan kedua jalan
tersebut.
Dalam
the way of truth Parmanides bertanya:
apa standar kebenaran dan apa ukuran realitas? Bagaimana hal itu dapat
dipahami? Ia menjawab: ukuranya adalah logika yang konsisten. Perhatikanlah
contoh berikut. Ada tiga cara berpikir tentang Tuhan: (1) ada, (2) tidak ada,
dan (3) ada dan tidak ada. Yang benar ialah ada (1) Tidak mungkin meyakini yang tidak ada (2) sebagai
ada karena yang tidak ada pastilah tidak ada. Yang (3) pun tidak mungkin karena tidak mungkin
Tuhan itu ada dan sekaligus tidak ada.
Jadi,
benar tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Disinilah masalah muncul.
Bentuk ekstrem pernyataan itu ialah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia.
6. Zeno
a. Riwayat
hidup
Zeno
lahir di Elea sekitar tahun 490. Ia adalah murid setia Parmendes. Sebagaimana
gurunya, ia pun mempunyai peranan dalam politik koElea. Ia mengarang bebrapa
buku yang semua sudah hilang. Plato menceritakan bahwa bukunya yang terkenal
dikarang pada usia muda. Dalam buku ini ia membela ajaran gurunya Parmenides,
agaknya melawan kaum Pythagoras.
b. Ajaran
Aristoteles
mengatakan bahwa Zeno menemukan dialektika. Aristoteles memaksudkan dengannya
suatu cabang logika yang mempelajari perihal argumentasi yang bertititk tolak
dari suatu hipotesa atau pandangan. Ia mulai dengan mengemukakan suatu
hipotesa, yaitu salah satu anggapan yang dianut oleh pelawan-pelawan Parmendes.
Lalu ia menunjukkan bahwa dari hipotesa itu harus ditarik kesimpulan-kesimpulan
yang mustahil. Jadi, ternyata hipotesa semula tidak benar. Dan itu berarti
bahwa kebalikannya harus dianggap benar. Menurut metode ini Zeno membuktikan
bahwa adanya ruang kosong, pluralitas dan gerak sama-sama mustahil.
7. Pythagoras
a. Riwayat hidup
Pythagoras
lahir di pulau samos yang termasuk daeah Ionia. Tahun kerahirannya tidak
diketahui. Dalam tradisi Yunani diceritakan bahwa ia banyak bepergian (antara
lain ke Mesir), tetapi tentang ini tidak ada kepastian apa pun. Kira-kira pada
tahun 530 ia berpindah ke kota Kroton di Italia Selatan. Menurut kesaksian
Aristoxenos – seorang murid Aristoteles – sebabnya karena ia tidak setuju
dengan pemerintahan tyrannos Polykrates.
Dalam kota ini Pythagoras mendirikan suatu tarekat beragama yang sifat-sifatnya
akan dibicarakan di bawah ini. Menurut suatu kesaksian tertentu ia menetap di
situ selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya Pythagoras bersama
pengikut-pengikutnya berpindah ke kota Metapontion karena alasan-alasan politik
dan ia meninggal di sana.
b. Tarekad Pythagoras
Tarekat
yang didirikan Pythagoras bersifat religius, bukan politik, sebagaimana pernah
diperkirakan. Pythagoras dijunjung tinggi dalam kalangan mereka. Kewibawaannya
tampak antara lain dengan semboyan lazim pada kaum Pythagorean: autos epha = ia sendiri (Pythagoras)
telah mengatakan begitu. Perkataan ini sanggup menyelesaikan setiap diskusi.
Kita
telah melihat bahwa filsuf-filsuf dari Miletos mempraktekkan filsafat
berdasarkan keingintahuan yang ilmiah. Nah, kaum Pythagoras tidak berfilsafat
karena alasan-alasan ilmiah saja, melainkan mereka mempraktekkan filsafat
sebagai “a way of life”. Buat mereka, filsafat (dan ilmu pengetahuan) merupakan
suatu cara bagaimana manusia menjadi tahir, sehingga ia dapat luput dari
lingkaran perpindahan jiwa terus-menerus. Cara berfilsafat ini berpengaruh atas
filsafat Yunani selanjutnya.
Di
antara pengikut-pengikut Pythagoras di kemudian hari berkembanglah dua aliran.
Yang pertama disebut akusmatikoi (akusma = api yang telah didengar;
peraturan): mereka mengindahkan penyucian dengan mentaati semua peraturan
secara saksama. Yang edua disebut mathematkoi
(mathesis = ilmu pengetahuan):
mereka mengutamakan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pasti.
Setelah
Pythagoras meninggal, dan sebenarnya sudah selama hidupnya, kaum Pythagoras
tersebar dalam pelbagai kota di Italia Selatan. Kira-kira pada tahun 450 mereka
diusir dari kroton dan dari hampir semua kota Italia lainnya dan mulai berpusat
di kota Thebai dan Phleios (dekat Korinthos) di daratan Yunani. Seorang Pythagoras
yang terkenal di Thebai adalah Philolaos. Lama-kelamaan beberapa orang
Pythagoras yang baru adalah kota Taras, yang juga disebut Tarentum. Pada akhir
abad ke-4 kita tidak mendengar lagi mengenai keaktifan mazhab Pythagorean.
c. Ajaran tentang jiwa
Menurut
Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia jiwanya
berpindah kedalam hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi, dan
seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya jiwa bisa diluputkan dari nasib
reinkarnasi itu. Penyucian itu dihasilkan dengan berpantang jenis makanan
tertentu, seperti daging hewan dan kacang. Memenuhi peraturan-peraturan semacam
itu adalah unsur penting dalam kehidupan kaum Pythagoras. Dan, seperti sudah
dikatakan di atas, mereka juga mempraktekkan filsafat (dan ilmu pengetahuan
pada umumnya) sebagai jalan menuju ke penyucian.
d. Ajaran tentang bilangan-bilangan
Penemuan
Pythagoras ini mempunyai konsekuensi besar, karena disini untuk pertama kalinya
dinyatakan bahwa suatu gejala fisis – yakni nada-nada – dikuasai oleh hukum
matematis. Itu berarti bahwa kenyataan atau realitas dapat dicocokkan dengan
kategori-kategori matematis dan rasio manusia. Ilmu pengetahuan modern sama
sekali bersandar pada prinsip ini. Galilei akan mengatakan bahwa alam ditulis
dalam bahasa matematika.
Pythagoras
berpendapat bahwa segala-galanya adalah bilangan. Agaknya kesimpulan ini
ditarik dari kenyataan bahwa nada-nada musik dapat dijabarkan ke perbandingan
antara bilangan-bilangan. Oleh karena itu, dapat ditanyakan mengapa hal yang
sama tidak berlaku pula untuk segala-galanya yang ada. Kalau segala-galanya
adalah bilangan, itu berarti bahwa unsur-unsur atau prinsip-prinsip bilangan
merupakan juga unsur-unsur yang terdapat dalam segala sesuatu.
e. Kosmologi
Teori
mazhab Pythagoras tentang susunan kosmos tentu
mengherankan, karena untuk pertama kalinya dinyatakan bahwa bukan bumi yang
merupakan pusat jagat raya. Menurut mazhab Pythagoras pusat jagat raya adalah
api (hestia).[3] Yang
beredar sekeliling api sentral itu berturut-turut: kontra bumi (antikhtom), bumi, bulan, matahari,
kelima planet (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter Saturnus) dan akhirnya langit
dengan bintang-bintang tetap. Demikianlah sepuluh badan jagat raya beredar
sekeliling api sentra sebagai suatu tetraktys
raksasa.
8. Gorgias
Gorgias
datang ke Athhena pada tahun 427 SM dari Leontini. Ada tiga proposisi yang
diajukan oleh Gorgias. Pertama, tidak ada yang ada; maksudnya, realitas itu
sebenernya tidak ada. Menurut Gorgias, pemikiran lebih baik tidak menyatakan
apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada maka ia tidak akan dapat
diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya,
penginderaan itu sumber ilusi. Akal menurut Gorgias, tidak juga mampu
meyakinkan kita tentang bahan semesta ini karena kita telah didukung oleh
dilema subjektif. Kita berfikir sesuai
dengan kemauan, ide kita, yang kita terapkan pada fenomena. Proses ini
tidak akan menghasilkan kebenaran. Proporsi ketiga Gorgias ialah, sekalipun
realitas otu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beri tahujkan kepada
orang lain. Disini ia memperlihatkan kkekurangan bahasa untuk mengomunikasikan
pengetahuan kita itu. Semantik modern mengatakan bahwa kata-kata tidak
mempunyai pengertian absolut, kata-kata hanya mhempunyai pemgertian yang
relatif.
BAB
III
KESIMPULAN
Filsafat
Yunani kuno mempunyai kedudukan istimewa, karena disini kita menemui timbulnya
filsafat sendiri. Mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran
filsafat. Dari sebab itu sebenarnya tidak ada pengantar filsafat yang lebih
ideal daripada studi mengenai pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani.
Beberapa filsuf Yunani pada masa sebelum Sokrates diantaranya adalah Thales,
Anaximander, Anaximenes, Heraclutus, Parmenides, Zeno, Pythagoras, Gorgias.
Mereka saling mengemukakan teori filsafat pendapatnya sendiri-sendiri.
1.
Thales (624-546
SM ), orang Miletus itu, digelari bapak filsafat karena dialah orang yang
mula-mula berfilsafat. Menurutnya bahan alam semesta adalah air, karena ia
melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam kehidupan, dan menurut
pendapatnya bumi ini terapuang diatas air. Dan juga alasannya ialah karena air
penting bagi kehidupan.
2.
Anaximander
menjelaskan bahwa subtansi pertama itu bersifat kekal dan ada dengan sendirinya
(Mayer, 1950: 19), Anaximender mangatakan itu udara. Udara merupakan sumber
segala kehidupan, demikian alasanya.
3.
Filsuf ketiga yakni Anaximenes yang teorinya hampir
sama dengan Anaximander. Menurut Anaximenes, prinsip yang merupakan asal usul
segala sesuatu adalah udara. Dalam satu-satunya sifat yang disimpan dari
karyanya ia mengatakan bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh kita,
demikian pun udara melingkup segala-galanya.
4.
Heraclutus,
pemikiran filsafatnya terkenal dengan filsafat menjadi. Ia mengemukakan bahwa
segala sesuatunya (yang ada itu) sedang menjadi dan selalu berubah. Sehingga
ucapanya yang terkenal: Panta rhei kai
uden menci, artinya segala sesuatunya mengalir bagaikan sungai dan tak satu
orang pun dapat masuk ke sungai yang sama dua kali.
5.
Parmenides menyatakan bahwa benar tidaknya suatu
pendapat diukur dengan logika yang konsisten. Bentuk ekstrem pernyataan itu
ialah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia.
6.
Menurut metode
hipotesa atau pandangan yang dilakukan oleh Aristoteles, yakni Zeno membuktikan
bahwa adanya ruang kosong, pluralitas dan gerak sama-sama mustahil.
7.
Pemikiran dari Pythagoras
adalah, substansi dari semua benda adalah
bilangan dan segala gejala alam merupakan ungkapan inderawi dari
perbandingan-perbandingan matematis. Kemudian pandangannya terhadap alam
semesta ialah satu keseluruhan yang teratur, sesuatu yang harmonis seperti
dalam musik.
8.
Inti ajaran Gorgias
yakni, pertama, tidak ada yang ada :
artinya realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua
bila sesuatu itu ada, ia tidak akan dapat diketahui. Ketiga sekalipun realitas itu dapat diketahui, ia tidak akan dapat diberitahukan kepada orang lain.
[2] “Masa filsafat Yunani kuno adalah suatu bidang yang lebih
cocok untuk menjalankan fantasi daripada menemukan fakta” F. Cleve,
Understanding the Presocratics: philological and philosophical reconstruction, International Philosophical Quarterly, 3(1963),
p. 446.
[3] Hestia sebenarnya berarti: perapian,
tungku. Sebagaimana perapian merupaan pusat rumah, demikian juga api merupakan
pusat jagat raya.
0 komentar:
Posting Komentar