A. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam
proses belajar. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang
dapat disediakan oleh sekolah, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat
tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru paling tidak dapat
menggunakan alat yang murah dan efisien meskipun sederhana dan bersahaja tetapi
merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan.
Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk
dapat mengembangkan keterampilan membuat media pengajaran yang akan
digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Untuk itu guru harus
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pengajaran.
Alat / Media merupakan sarana yang membantu proses
pembelajaran terutama yang berkaitan dengan indera pendengaran dan penglihatan,
bahkan adanya alat / media tersebut dapat mempercepat proses pembelajaran murid
karena dapat membuat pemahaman murid lebih cepat pula. Penggunaan media
pengajaran dalam proses pengajaran sangat dianjurkan untuk mempertinggi
kualitas pengajaran.
Media pembelajran itu sendiri, sebenarnya sudah ada
dan diaplikasikan sejak zaman Rasulullah saw. Rasulullah adalah sosok
pendidik yang agung bagi umat manusia. Beliau dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada sahabat-sahabatnya tidak lepas dari adanya media sebagai sarana
penyampaian materi ajarnya. Seperti pada hadits yang akan kami bahas dimana
Rasulullah menggambar dan membuat garis-garis ketika sedang menyampaikan
ajarannya kepada para sahabatnya. Hal ini membuktikan bahwa kebenaran tentang
adanya media pembelajaran sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu sejak zaman
Rasulullah saw.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Media Pendidikan
Kata media berasal dari bahasa
Latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”, “perantara” atau
“pengantar”. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara ( وسا ئل ) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan.
Grlach dan Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila
dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan, atau sikap. Secara laebih khusus, pengertian media dalam proses
belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis,
atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali inforasi
visual atau verbal.[1] media
pembelajaran adalah sebagai penyampai pesan dari beberapa sumber saluran ke
penerima pesan.
Media pembelajaran meliputi berbagai jenis, antara
lain: pertama, media grafis atau media dua dimensi, seperti gambar,
foto, diagram. Kedua, media model solid atau media tiga dimensi, seperti
model-model benda ruang dimensi tiga, diorama, dan sebagainya. Ketiga,
media proyeksi, seperti film, filmstrip, OHP. Keempat, media informasi,
computer, internet. Kelima, lingkungan.[2]
2. Landasan Media Pendidikan
Pandangan al-Qur’an
terhadap media dan alat pembelajaran, antara lain dapat dilihat dalam kandungan
surat al-Maidah ayat 31:
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي
الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا
أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي
فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31)المائدة
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak
menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka
aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara
orang-orang yang menyesal.”
Sebagian
mufassir menjelaskan bahwa setelah “Qobil”[3]
mengamati apa yang dilakukan oleh burung gagak dan mendapatkan pelajaran
darinya, dia berkata:” Aduhai celaka besar, mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak itu, lalu menguburkan mayat saudaraku (untuk menutupi bau
busuk yang ditimbulkannya)?. Karena itu dia menjadi orang yang menyesal akibat
kebodohannya, kecuali sesudah belajar dari peristiwa gagak.[4] Peristiwa
ini menjadi indikasi bahwa telah terjadi proses pembelajaran yang menggunakan
media belajar berupa fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat,
karakteristik dan perilaku alam.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa sejak masa Nabi Adam as. (manusia pada saat awal
kehadirannya) proses pembelajaran sudah menggunakan media belajar yang telah
sampai pada tahap praeksplorasi fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali
sifat, karakteristik dan perilaku alam.
Proses
pembelajaran yang menggunakan media belajar berupa fenomena alam juga dapat
kita amati dalam surat al-Imran ayat 190-191:
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ
(190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
(191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal.” (190) “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka.” (191)[5]
Dalam
ayat 190 menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam tatanan langit dan bumi serta
keindahan perkiraan dan keajaiban ciptaan-Nya juga dalam silih bergantinya
siang dan malam secara teratur sepanjang tahun yang dapat kita rasakan langsung
pengaruhnya pada tubuh kita dan cara berpikir kita karena pengaruh panas
matahari, dinginnya malam, dan pengaruhnya yang ada pada dunia flora dan fauna
merupakan tanda dan bukti yang menunjukkan keesaan Allah, kesempurnaan
pengetahuan dan kekuasaan-Nya. Dan dari situlah dapat diperoleh berbagai
pengalaman belajar.[6]
Pada
ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya dan berpikir
tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang mau menggunakan
pikirannya, mengambil faedah, hidayah dari apa yang telah diciptakan oleh Allah.
Ia selalu mengingat Allah (berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik di
waktu ia beridiri, duduk atau berbaring. Jadi dijelaskan dalam ayat ini bahwa
ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki maupun perempuan yang terus menerus
mengingat Allah dengan ucapan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi. [7]
Dari
keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah, sedangkan
objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti
pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu, Sedang pengenalan
alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan
seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan
dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw:
حدثنا
الصائغ نا مهدي بن جعفر الرملي نا علي بن ثابت عن الوازع بن نافع عن سالم عن بن عمر
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تفكروا في آلآء الله- يَعْنِي عَظَمَتَهُ
- ولاتتفكروا في الله- الطبراني
“”
Penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, terkadang malam terasa
begitu panjang dan sebaliknya. Musim pun silih berganti. Musim dingin, panas,
gugur, dan semi. Demikian juga hujan dan panas. Dari berbagai fenomena itulah
kita diperintah untuk berpikir mengenai berbagai gejala alam yang terjadi.
Kemudian dari hasil berpikir tersebut, manusia hendaknya merenungkan dan
menganalisa semua yang ada di alam semesta ini, sehingga akan tercipta ilmu
pengetahuan.
Rasulullah
saw. ketika pertama kali menerima wahyu, beliau telah diajarkan oleh Allah melalui
malaikat Jibril mengenai strategi dan metode pembelajaran, yang salah satunya
dengan menggunakan alat atau media belajar. Hal ini bisa kita perhatikan dalam
pernyataan al-Alaq ayat 1-5:
اقرأ
باسم ربك الذي خلق(1)خلق الإنسان من علق(2)اقرأ وربك الأكرم(3)الذي علم
بالقلم(4)علم الإنسان ما لم يعلم(5) العلق
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Iqra’
terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari makna ini lahir beragam
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tulis maupun tidak tertulis. Ayat ini tidak
menjelaskan obyek yang harus dibaca. Ini berarti al-Qur’an menghendaki umat
yang beriman kepadanya supaya membaca seluruh fenomena alam ini, selama
pembacaan tersebut dilakukan “bismi Rabbik”, dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan. Obyek pembacaan bisa berupa alam semesta, tanda-tanda zaman,
sejarah maupun diri sendiri.[8]
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa untuk
mendapatkan kecakapan membaca dan wawasan yang baru, maka perlu adanya strategi
atau metode khusus, yaitu proses pembacaan harus dilakukan secara
berulang-ulang. Kontiunitas pembacaan haruslah tetap dalam kerangka bismi
Rabbik (Demikian pesan dari pernyataan Iqra’ wa Rabbuka al-Akram). Selanjutnya
diperoleh isyarat pula bahwa untuk memperoleh hasil belajar/ ilmu dapat
ditempuh melalui dua cara. Cara pertama yakni pembelajaran dengan menggunakan alat
atau media, dan cara kedua yakni proses pembelajaran dengan tanpa menggunakan
alat. Walaupun berbeda, namun ke dua cara itu sama-sama bersumber dari Allah.
Telah
dijelaskan pula dalam ayat ini bahwa القلم
(pena) adalah salah satu alat atau media pembelajaraan, yang mana alat tersebut
dapat membantu manusia untuk memperoleh pengalaman belajar/ilmu. Lafadz القلم
di sini tidak hanya dimaknai sebagai pena/pensil yang telah diketahui manusia
lain sebelumnya, akan tetapi juga termasuk dalam pengertian berbagai alat tulis
yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar..
Dalam
konteks proses pembacaan dengan landasan “bismi Rabbik”, maka landasan iman
hendaknya dijadikan sebagai tumpuan utama. Dengan begitu maka motivasi belajar
akan selalu diniatkan karena mejalankan perintah Allah (ikhlas) dan ilmu yang
diperopleh senantiasa diorientasikan kepada kemaslahatan mansia. Ilmu dan
teknologi memberi banyak manfaat dan menawarkan kenyamanan hidup, sedangkan iman
memberikan arah dan makna hidup. Perapaduan keduanya akan mengantar manusia
menempati predikat unggul, sebab hidupnya mendapat ridla Allah dan senantiasa
memberi manfaat pada orang lain.
[1]Azhar
Arsyad, Media Pembelajaran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 3.
[2]Trianto,
MENDESAIN MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF-PROGRESIF: konsep, Landasan, dan
Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Kencana
Prenada Media Group, 2009), h. 235.
[3]
Qobil putra Nabi Adam AS, yang telah membunuh saudaranya sendiri bernama
“Habil”.
[4]
Lihat Quraish Shihab, Prof. Dr. Tarsir al-Mishbah…. Vol. hal. 97 dan 98
[5]Departemen
Agama, Kitab Suci Alqur’an, Alqur’an dan Terjemahannya
[6]Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al Maragi Juz IV, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), Cet 2, h. 288.
[7]M.
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah,(Jakarta, Lentera Hati, 2002), h. 308.
[8]
M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998) h. 433
4 komentar:
mksh kasih neng, q butuh ini
Sama2
Semoga bermanfaat.
syukran katsiran...izin ngambil
Deneng ora ana kesimpulane pak..
Posting Komentar